Selamat Datang

Jumat, 21 April 2023

Teks Tanggapan berupa Esai

Esai

Pengantar Buku Antologi Puisi TARIAN MALAM:

KETIKA MALAM MENARIKAN GAIRAHNYA

 Oleh: Ujang Kasarung
Koordinator KGPS


Alangkah berbahagianya bila seorang profesional memiliki hasrat, bakat, dan sempat untuk menulis. Aktivitas kesehariannya akan menjadi ladang subur bahan kepenulisannya. Sementara di lain pihak, tidak sedikit penulis yang harus menyediakan waktu, tenaga, biaya untuk mencari bahan tulisannya. Mungkin pernah mendengar seseorang bepergian ke suatu tempat/ daerah dalam jangka waktu tertentu. Di tempat tersebut dia mencatat, merekam, memotret, mendata sejarah, fakta, dan peristiwa yang akan dibawa pulang jadi oleh-oleh untuk bahan tulisannya. Di situlah saya mengatakan betapa bahagianya bagi seseorang yang berprofesi dalam suatu bidang, tentara misalnya, yang memiliki hasrat, bakat, dan sempat untuk menulis. Dengan pengalamannya bergulat dengan profesinya tersebut Nugroho Notosusanto memiliki bahan tulisan yang otentik tanpa harus menyediakan waktu, tenaga, dan biaya khusus untuk mengumpulkan bahan. Dari tangannya lahirlah buku kumpulan cerpen Hujan Kepagian yang sangat memilukan.

Dalam buku antologi KGPS kali ini terhimpun sebanyak 17 guru yang masih tekun meramaikan penulisan tahun ini. Mereka inilah yang tergolong penulis beruntung yang memiliki tiga hal tadi, yaitu hasrat, bakat, dan sempat. Ada anggota KGPS yang memiliki bakat/ potensi menulis puisi dengan baik, tetapi merasa tidak sempat karena kesibukan rutinitas kerja, apalagi didapuk mengalami promosi jabatan, atau disebabkan kewajiban dalam rumah tangga. Ada yang punya kesempatan berharga dengan keleluasaan waktu, tetapi jika tidak berhasrat, sudah pasti tidak akan dapat mengirimkan karyanya. Begitupun bila ada hasrat, dan sempat tetapi pikiran buntu, merasa sulit menemukan tema, gagasan atau topik. Kondisi seperti ini pun akan sama nasibnya, mandul karya untuk sementara. Dan yang jarang terjadi, ada kesempatan, ada bakat, ada hasrat tetapi tidak rela berkorban. Saya kira yang terakhir ini tidak banyak, itupun terhadang skala prioritas saja.

Guru atau tenaga profesional yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan pembelajaran yang turut berperan serta dalam hajatan kali ini termasuk orang yang beruntung. Sepatutnya bahagia karena memiliki wawasan, dan jejak yang dapat diolah, dikemas jadi karya yang bermanfaat dalam dunia kepenulisan. Keberuntungan itu muncul dengan syarat tiga hal tadi. Jika tidak memiliki ketiga hal itu, sebagaimana diilustrasikan sebelumnya, jangan harap jejak rekam pengalaman jadi materi yang dapat diolah dan dikemas jadi karya tulis. Dan tidak sedikit pengalaman baik yang mengesankan, atau bermuatan renungan, amanat, dan nilai kebaikan yang hadir dalam sejarah hidup seseorang, lalu melintas begitu saja, tertimbun waktu, dan terlupakan.

Sebenarnya ketiga hal tadi tidak perlu dipikirkan terlalu serius. Apalagi dijadikan penyebab mampatnya saluran kreativitas. Semua dapat disiasati. Misalkan masalah sempat. Saya anjurkan pandai-pandailah membagi waktu. Ada sebuah kalimat motivasi yang mengatakan, Jika seseorang tenggelam dalam kesibukan kerja, pertanda ia tidak sukses dalam pekerjaannya itu. Maksudnya, orang sukses itu adalah orang yang efektif dalam mengelola waktu. Rasanya tidak ada orang bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu. Dari penjelasan ini, dapat dimaknai bahwa kesempatan, kitalah yang mengatur. Pada sebuah tayangan sosial media ada dr. Soesmeyka Savitri, SpKJ. Mengatakan bahwa “Tidak ada waktu yang tepat untuk menjadi penulis, kecuali, sekarang!”.

Tentang ide, atau gagasan, pancaindera kita akan menjadi jendela dunia untuk meraup sebanyak-banyaknya gagasan dari pengalaman, pengamatan, dan imajinasi, serta opini. Kita ambil contoh Joko Pinurbo. Atas kepekaannya, dia berhasil mengangkat kaleng Khong Guan jadi ide buku puisinya. Kita juga boleh menyimak karya-karya Sapardi Djoko Damono. Dari hal sepele seperti bangkau curut di selokan, bisa dijadikan media renungan mendalam bagi pembacanya.

Terakhir, yang menurut saya paling bertanggung jawab terhadap tidak produktifnya seseorang dalam menulis adalah hasrat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hasrat/has·rat/ n keinginan (harapan) yang kuat. Berbicara keinginan yang kuat, jelas ini dipengaruhi dorongan dari dalam dan atau dari luar. Artinya menulis tidak sekadar dikatakan ingin saja. Tanpa ada dorongan yang kuat, hasrat yang sekadar muncul di lisan tidak akan terwujud. Barangkali inilah permasalahan yang paling krusial di dunia literasi negeri ini. Masih banyak orang berpotensi, berkesempatan, tetapi belum memilihi hasrat yang kuat. Dalam situasi seperti ini, saya pikir memberi motivasi untuk menulis adalah sikap bijaksana. KGPS telah, sedang, dan akan selalu mendorongnya.

Hajatan menulis antologi puisi kali ini, KGPS mencoba mengembangkan teknik menulis dengan cara menggiring peserta menulis sesuai dengan tema. Ada lima tema yang ditawarkan yang nantinya dipilih 3 untuk dibukukan. Kelima tema tersebut adalah Lingkungan hidup, Keragaman budaya/tradisi di kampung halaman, Kondisi sosial saat ini, Pengalaman inspiratif, dan Objek wisata dalam negeri yang pernah dikunjungi. Adapun panjang puisi dibatasi maksimal 25 baris termasuk judul dan nama penulis. Sedangkan tiap baris dipastikan tidak melebihi 50 karakter termasuk spasi. Ketentuan ini sengaja diterapkan agar peserta mulai terbiasa memperhatikan aturan main yang berlaku. Hasilnya, ya, namanya juga belajar, masih ada yang belum memahami. Sedihnya lagi belum memahami memang karena belum membaca aturannya! Ini indikasi kegiatan literasi di negara kita memang perlu ditingkatkan.

Melihat tema-tema yang disodorkan, jelas KGPS mengharap ada keragaman karya tanpa harus bersusah payah mencari materi. Tema-tema yang disodorkan tidak lepas dari keseharian dan pengalaman penulis. Dan hasilnya, sudah mulai ada penampakan kemajuan baik dari yang sederhana pemilihan tema khusus, pemilihan judul, pemanfaatan diksi, gaya penyajian, gaya bahasa, rima, irama, dan bahkan ada yang mencoba dengan tipografi tengah.

Kita perhatikan kutipan puisi Yoga Angelia berikut

MEMOAR SEBUAH PESISIR

 

Manakah yang lebih menggetarkan

Deburan ombak yang pecah

Atau kerinduan yang membuncah?

Senjanya yang menyiratkan sebuah pesan

Antara mengubur kenangan

Atau membangun angan?

 

Judul kutipan puisi tersebut buat saya cukup memesona. Alasanya saya tidak meduga bila ada guru yang sudah memiliki gaya dalam menentukan judul sudah memiliki batas mana judul karya ilmiah, mana judul karya fiksi. Pesona ini baru sebatas membaca judulnya sebagai pewajahan, belum lagi menyelami isinya. Memoar Sebuah Pesisir dan juga dua puisi lainnya, sudah memiliki karakter sendiri. Puisi-puisi Yoga sudah memamerkan kekayaan dalam kiprahnya menggauli karya bernas para penyair. Yoga tidak hanya membaca, dia juga sepertinya sudah mempelajari dan menikmati puisi-puisi yang sudah beredar di masyarakat sastra.

Peserta lain juga sudah ada beberapa yang menyadari bila ini judul karya fiksi bukan artikel ilmiah. Kalau boleh saya sebut misal Rantangan, Siap, Pak! Dan Donokerto, Turi. Itu contoh judul-judul yang menarik.

Bahkan Donokerto, Turi karya Daman Surachman saya pikir sebagai karya yang sudah matang. Mari kita simak puisinya secara utuh!

DONOKERTO, TURI

Buat: Dedi-Bandung

 

Jalanan sepi memanjang berliku

aroma daun salak dan bau tanah

mengudara bersama asap tungku

dari rerumahan tepi pematang

senja jatuh lebih cepat

Waktu sore begitu tua dan pucat

- Berilah aku sinar

agar lancar jalanku

Gerimis turun tak lama

- Makanlah salak ini, nak

Jika rutin, mencegah diabetes -

 

Di ujung jalan

perempuan ½ baya

melambai-lambaikan tangannya

entah untuk siapa

 

Sleman, 2011

 

Silakan perhatikan subjudulnya! Puisi ini dipersembahkan kepada Dedi di Bandung. Kalau bukan ditulis oleh penulis berpengalaman, sepertinya analoginya akan mengarah kepada seseorang sesuai dengan lokasi kejadian atau peristiwa. Apalagi puisi ini ternyata ditulis tahun 2011. Tentang isinya? Wah, ini puisi terasa lembut dengan kesederhanaannya. Tidak ada benturan-benturan atau akrobat bahasa yang adigung yang dapat menebah pembacanya. Apa yang dapat kita renungkan dari puisi dengan tifografi rata tengah ini? Bagaimana pikiran kita saat Daman menggunakan diksi rerumahan sebagai deskripsi ketenangan di pedusunan, dan kebun salak. Dan yang membuat saya tercengang adalah setelah selesai membaca bait kedua

Di ujung jalan

perempuan ½ baya

melambai-lambaikan tangannya

entah untuk siapa

Kalau kata anak sekarang mahAnjir! Keren kale puisinya!”. Jelas ini merupakan hasil pengamatan dan pengalaman penulis yang diendapkan dalam perasaan lalu “diadukan” pada pikiran untuk menciptakan sajian yang mewakili nilai dan pesan yang akan disampaikan. Bila ingin mengkaji lebih dalam, mengapa Daman menggunakan angka ½ bukan kata /setengah/, misalnya. Kayanya kalau dikaji di sini perlu waktu dan tempat. Yang saya tahu Daman adalah guru Matematika.

Berbicara tentang nilai dan pesan, ada baiknya kita mengamati gaya penulis menyampaikan nilai atau pesan berpuisi. Mari kita simak karya Emi Priyanti berikut. Puisi ini menyampaikan pesannya lewat kritik dengan menunjukkan perbedaan kondisi dulu dengan sekarang.

 

YANG MEREKA TINGGALKAN

 

Sungai tempat dulu kita berenang

Kini hitam, pekat, dan bau

 

Sungai tempat dulu kita berendam

Kini berperahu pun tak mau

 

Pabrik-pabrik itu membuang limbah

Tak pernah peduli dan tak mau tahu

 

Pabrik-pabrik itu kini pindah

Menyebar ke berbagai daerah

Pergi mencari tempat baru

Pergi mencari korban baru

 

Patutkah hal seperti ini dilakukan oleh seorang penulis (puisi)? Mengapa tidak? Selama masalahnya faktawi, apalagi ini merupakan dampak dari keegoisan manusia berkuasa, serta disampaikan dengan cara yang tepat. Manurut penelusuran saya, dua puisi Emi kali ini memang bermuatan kritik terhadap kepincangan pengelolaan alam. Dia semakin peka. Kelihatannya Emi semakin berkembang dalam memanfaatkan media puisi sebagai alat menyampaikan nilai dan pesan. Emi sudah tidak gegabah memuja, memuji keindahan alam. Dia sudah mulai menoleh pada lambaian alam yang gering atau merana oleh kezoliman manusia yang didapuk sebagai makhluk paling sempurna. Emi semakin realistis.

Memang puisi bukanlah karya sastra yang hanya menggantungkan nasibnya pada nilai dan pesan. Suasana puisi merupakan elemen yang menjadi sentral pengkajian. Suasana puisi dibangun oleh pemilihan diksi, majas, irama dan lain-lain seperti yang saya sebutkan pada bagian sebelumnya. Unsur-unsur puisi tersebut akan membentuk suasana puisi yang acapkali dinikmati atau diapresiasi oleh pembaca dengan beragam sikap.  Untuk itu, saya coba kutipkan puisi karya Daraspane berjudul Lubuk Nabolon berikut

Ini kisah tentangmu

Ketika nyanyian merdumu

Masih terus menetes tiada berjarak

Dari sela bebatuan yang membawamu

Sampai ke tepian pematang

Memberi sejumput harap petani

Bulir-bulir tangkai keemasan

Sampai ke lumbung di samping perapian

 

Puisi ini begitu berasa suasananya. Penulis berpihak kepada objek (Lubuk Nabolon) dengan merasakan keprihatinan akan kisahnya saat ini. Semua itu terasa karena penulis memanfaatkan majas personifikasi, litotes, metafora, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa majas amat perlu dalam puisi sekaligus memastikan bahwa ini karya fiksi. Dalam puisi ini Daraspane berhasil mengusung tema yang diajukan KGPS. Penulis sanggup mengolah pengamatan, pengalaman dan daya imaji menjadi sebuah puisi yang menggambarkan sebuah proses yang, lagi-lagi, dampak ulah manusia. Daraspane sudah mulai pintar mengambil jarak antara subjek dengan objek karyanya.

Untuk membahas daya imaji dan diksi, saya sodorkan puisi karya Rr Ari Nugrahaningsih berikut. Perhatikan pilihan katanya. Ari jujur, bersahaja dalam merangkai kata. Ia tidak meraut kata-kata agar terkesan mengawang-awang. Dia pilih kata seperti apa yang dilihat, didengar, dan dirasanya. Sehingga pembaca hanyut, ikut berada dalam suasananya.

TARIAN LEDHEK

 

Kisah masa lalu

Tarian Ledhek untuk bersyukur panen tiba

Tarian penuh makna

Pesta desa luapkan rasa bangga

 

Gong dipasang siapkan iringan tarian

Dlang tak tung…dlang tak tung

Bunyi suara tabuh gamelan

Gendang bertalu pertanda Ledhek meliuk memesona

 

Apa yang ada dalam benak kita (pembaca) saat membaca puisi tersebut, terutama saat sampai pada larik kedua bait kedua: dlang tak tung … dlang tak tung? Indra audial kita akan langsung berimajinasi pada suara khas gamelan Jawa. Boleh dicari dalam KBBI, tidak akan ditemukan kata [dlang tak tung] di sana. Bahkan dalam kamus Boso Jowo sekalipun. Inilah keberanian Ari bersikap jujur menyampaikan kesan indrawinya dengan memanfaatkan onomatope dengan tepat. Puisinya berhasil menciptakan suasana ingar bingar gamelan Jawa tradisional sebagai backsound Tari Ledhek. Jika kita lanjutkan membacanya pada bait-bait berikutnya, citra penglihatan akan ikut diajak menyaksi. Ini dia lanjutannya

Gerakkan tangan lincah ikuti irama

Gelengkan kepala kiri dan kanan

Sampur merah melambai dilempar pakai ujung kaki

Kibaskan ke samping kiri dan kanan

Ugel  lentik jemari tangan

Lenggang-lenggok gemulai tarianmu

 

Suara gamelan semakin nyaring

Dlang tak tung…dlang tak tung

Gamelan bertalu

Iringi liukan tarian Ledhek sampur merah

Liukan gemulai tarian sambil lantunkan lagu merdu

Tahankan lelah demi rupiah.

 

Ada asumsi bila penulis ini bukan sekadar tahu dari hasil pengamatan atau rajin baca tentang tari, melainkan dia sepertinya telah ikut terjun mengalami pementasan tarian tersebut. Mari kita data adakah kata khusus yang disisipkan dalam puisi tersebut? /Sampur merah/, atau /ugel/. Kalau sekadar tahu, kayaknya sulit diterima bila sampur merah itu dilambaikan dengan menggunakan ujung kaki. Inilah yang saya maksud profesi bisa jadi bahan puisi yang bermutu. Dengan demikian pembaca disuguhi suasana puisi yang kaya citraan. Pesan tersampaikan tanpa menggurui, atau menyorong pembaca. Sebagai penyama, saya hadirkan puisi karya Ujang Kasarung, Tarian Malam. Apakah Ujang kasarung juga patut dicurigai memiliki pengalaman sebagai penari dalam puisi tersebut? Atau seperti malam yang menarikan gairahnya?

 

 

TARIAN MALAM

 

Turun turun sintren
Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Kembange putri mahendra
Widadari temurunan

 

Ketika ranggap dibuka sang dalang

Gadis bergaun penari dan berkacamata hitam

Panjak siap dengan musik pengiring sejak tari dimulai

Sinden bersenandung melebur sintren beraroma mistis

 

Menyisipkan idiom, frasa, klausa, ungkapan atau bahasa daerah dalam sebuah karya sastra, dibolehkan selama tindakan itu diniatkan dan disadari manfaatnya. Biasanya ditujukan untuk meningkatkan intensitas.

Selain daya imaji dan diksi, struktur puisi juga dipengaruhi oleh sajak atau rima (rijm, Belanda). Rima artinya persamaan bunyi. Banyak jenis dan macamnya. Sebagai contoh saya kutip dari dua puisi Salimah Sahal berjudul Aku dan Kamu dan Pemulung Kecil

Ada namamu dalam doaku

Adakah namaku dalam doamu?

Ada dirimu dalam pikiranku

Adakah diriku dalam pikiranmu?

 

Pada bait puisi tersebut Salimah menyusun puisinya selain menggunakan kalimat tanya retorik juga menggunakan anafora /ada/ dan sajak akhir dengan pola a-b-a-b. Sedangkan dalam kutipan sajak keduanya di bawah ini, Salimah menampilkan sajak a-a-b-b.

 

Tubuh kecil berlari terengah

Mengikuti  jejak  bunda melangkah

Karung  plastik di pundak bergelantung

Untuk rongsokan hasil memulung

 

Dalam kasus ini Salimah tentu tidak ngasal dalam memilih majas disadari atau tidak. Dia sudah melewati proses pencarian estetik. Pembaca akan sertamerta menikmati alunan iramanya saat membaca sebelum memetik makna isi, nilai, dan pesannya. Itulah puisi, selain isinya, ternyata cangkangnya juga sebaiknya lezat.

Berbeda dengan Salimah, Budi Suci Nurani cenderung melukiskan apa yang ditangkap oleh pancaindera dengan yang direspons oleh rasa dituangkan dalam deskripsi suasana yang ingin ditayangkan. Perhatikan kutipan bait awal dari puisi BSN berikut

Bersih berseri begitu wajahmu tampak

Gending gending halus mengalun syahdu

Di antara hiruk pikuknya jaman yang ada

Tetap cantik dalam pembawaanmu

                                      (Solo Hadiningrat)

 

Terkesima mata menatapmu

Indah gemulai menusuk kalbu

Kau gerakkan tangan dengan lembut

Mengiring gamelan bertabuh

                                      (Wayang Orang)

BSN mengungkapkan paradoks zaman yang mungkin merupakan keprihatinan dirinya secara individual terhadap perubahan zaman. Anak muda tidak lagi respek terhadap budaya adiluhung negerinya yang secara nyata tidak dimiliki bangsa lain. Maka dari itu, BSN dengan bijak mengajak generasi muda untuk tetap mencintai dan melestarikan seni budaya bangsa di tengah serbuan budaya asing.

Sementara penulis Expi Yuliana Putri lebih cenderung memamerkan renungan-renungannya saat bersenggama dengan alam. EYP memiliki channel khusus yang dapat menikmati sentuhan lebut dan dekapan hangat alam yang baginya selalu ekspresif mendampingi setiap dialognya. Dan hasil bercintanya EYP sajikan pada tiga puisinya. Saya kutipkan salah satunya secara utuh

MERPATI TIDAK PERNAH INGKAR JANJI

 

Tiga hari di sudut kota itu

Kumenanti seberkas cahaya cerah

`ntuk mengubah hidup lebih berarti

Sebekal janji menuai harapan terang

Seindah pelangi di bukit menoreh

Cinta dan harapan…..

 

Ku berkhayal nanti …..

Dapat menaiki tangga kehidupan

Bagai mengapa awan yang berkejaran

Berlomba di titik kebenaran nan hakiki

Semoga rajutan itu menjadi nyata

Atas karunia yang Engkau berikan

Aamiin Ya Allah …..

 

Walaupun, maaf, saya kurang puas dengan judulnya. Sebenarnya berpuisi bebas-bebas saja, sih, selama tidak melukai SARA. Namun yang menjadi persoalan, sejak awal kita sayogyanya berusaha untuk tidak mengunakan idiom, frasa, klausa yang sudah basi, jenuh, dan populer. Termasuk untuk judul. Klausa Merpati tidak pernah Ingkar janji saya yakin sudah dikenal oleh Generasi Baby Boomers dan Generasi X yang lahir tahun 60-70-an sebagai judul film saat Rano Karno dan Yessi Gusman masih lajang. Terlepas dari itu, saya tetap menghargai sebagai sikap lisensi puitika. Lagipun semua penyair pun pernah melewati fase ini. Namun tidak ada salahnya bila mencari idiom atau klausa yang lebih segar sesuai isi puisi.

Diluar dari permasalahan judul, puisi ini menunjukkan bahwa tahap mencapaian EYP berdialog dengan alam. Lagi-lagi EYP sudah betah dengan gayanya yang romantis dalam mengeksekusi setiap pengalaman. Bagi EYP semua indah, semua nikmat, kalau ada masalah, tetap mudah, dan jika sulit, tinggal mengadu kepasa Allah. Semoga mindset seperti ini dipertahankan sebagai senjata hidup dan kehidupan.

Lain halnya dengan Nurhayati. Puisi baginya adalah media bercerita, media sejarah, media catatan perjalanan, buku harian, tempat memuji, dan berkeluh. Kita simak kutipan puisinya berikut.

KE PEKAN BARU DI MASA PANDEMI

 

Dua tahun kami membatasi diri

Bepergian ke luar daerah sangat dinanti

Tiba saatnya keluarga mengundang

Perhelatan pernikahan putranya

Kami dan sanak saudara menghadiri

Begitu berliku dengan syarat yang ketat

Imbas pandemi konon prokes dipatuhi

PCR bagi anak usia di bawah 12 tahun

Rapid antigen bagi orang dewasa

Kami patuh baik pergi dan pulangnya

Bagaimana? Begitu transparannya Nurhayati menuangkan pengalamannya, sehingga terkesan telanjang, tidak ada yang disembunyikan. Pembaca tidak membutuhkan waktu untuk menggamit isi ceritanya karena semuanya kelihatan. Mungkin Nurhayati lupa bahwa dalam penyajian puisi semestinya dibedakan dengan menulis prosa walaupun sama berupa cerita. Lagi-lagi, itu hak dari gaya setiap penulis. Bagi sebagian pembaca, bisa jadi justru yang terang-benderang seperti inilah yang dicarinya. Sekali lagi, puisi tidak dapat dimonopoli oleh satu idealisme. Gaskeun lah!

Di sisi lain, bagi penulis pemula kadang-kadang kebingungan ketika ditantang untuk menulis puisi dengan tema yang ditentukan. Pemula sendiri ada tingkatannya bergantung jam terbangnya”. Ada yang belum pernah sama sekali, ada yang sudah pernah tetapi belum berhasil, ada yang pernah dan sudah dianggap berhasil. Bagi yang saya sebut terakhir, saya kira sebuat tema dapat dia gali dengan berbagai macam bahan. Saya ambilkan contoh, Sri Margawati dengan puisinya berjudul Rantangan. Berikut cuplikannya

RANTANGAN

 

Mengembang senyum paras kemenangan

Menapak pasti di pematang

Rantangan menuju tetua dan kerabat

Esok hari raya hadir menyapa

 

Malam munggahan menggema

Kepulan wangi aroma nasi dan daging semur

Sambal kentang, tape uli juga dodol tersaji

Bakti yang muda kepada tetua

 

Ini salah satu contoh kreativitas penulis ketika ditantang dengan tema tradisi atau budaya. Sri Margawati tidak terkurung untuk mengungkapkan apa itu tradisi atau apa itu budaya. Dia begitu menghujam langsung pada subtema yang jauh lebih spesifik sehingga dapat mengungkapkannya dengan gamblang tradisi mengirim makanan menyongsong Idul Fitri di malam takbiran. Sri Margawati diam-diam berhasil beringsut dari tempatnya yang sumpek menuju dunia kreativitas. Dari ketiga puisinya, saya berani mengatakan bila Sri Margawati sudah ajeg dalam berkarya sastra.

Tidak jauh berbeda, ada Tri Rejeki dalam Kebiadaban. Semoga saja tema puisi ini bukan pengalaman pribadi. Kalau pengalaman pribadi, saya sendiri merinding merasa ngeri. Saya seperti menonton peristiwanya dalam suasana yang samar. Keberhasilan Tri menciptakan panggung, saya angkat topi. Ini benar-benar penulis ingin menunjukkan jalurnya sendiri walau dalam bentuk puisi yang konvensional. Upayanya sudah tampak pada muatan yang diusung, dan ada malah kata yang belum umum seperti kata /terkelepai/. Adakah yang sudah akrab dengan kata tersebut?

….

Kukibaskan tangan kekuasaan dan kemurkaan

Kutantang mata liarnya seakan berkata:

“Aku lawanmu!”

Kuhampiri imbas dari kebiadaban

Tubuh mungil tanpa daya

Terkulai

Terkelepai

Menatap mengiba

Ketegarannya menghilang

Hanya tampak kepasrahan

Pasrah pada keputusan hati

Hati istri yang terzalimi

Membakar

Membara

Kan melibas keangkaramurkaan

Dengan ketegaran

 

Tampil beda memang sepatutnya dipertimbangkan oleh seorang penyair. Maka penyair seperti Tri Rejeki layak diapresiasi atas keberaniannya menampilkan karyanya yang tidak biasa-biasa saja. Dan keberanian ini tampaknya dilakukan juga oleh Nurjanah. Yuk, kita simak kutipan puisinya berikut ini!

Ketika aku berbincang denganmu...

Amat indah janjimu...

Dingin menjadi panas...

Dibawah teriknya matahari...

 

Dirimu belum hadir disaat aku belum mengenalmu...

Suatu ketika kau menghampiri aku

Untuk meminta segelas air minum...

Sampai aku mengambil gelas yang berisi air

Untuk memberikan minum...

 

Apa yang berbeda kutipan dari puisi Candamu Menjadi Rindu tersebut? Ya, penggunaan tanda tiga titik (…) secara beruntun pada hampir setiap baris. Dalam hal ini yang sangat mengerti maksudnya mungkin hanya penulis. Kita hanya mereka-reka semata. Itulah hebatnya puisi, bebas berimajinasi. Soal keindahan, kita serahkan kepada pembaca.

Kebebasan berpuisi, selain, bentuk, dan gaya, bebas pula memilih kata (diksi). Mau bukti? Kita perhatikan kutipan puisi Titin Gumiati yang berjudul Sebenarnya hanya Panggung Sandiwara berikut

Kulihat arunika telah hadir

Pertanda dunia akan disibukan

Disibukkan dengan manusia-manusia pengejar dunia

Dunia yang fana ini

 

….

 

Sejak arunika hadir

Hingga muncul swastamita

Manusia tak lelah mengejar dunia

Hingga azal menjemputnya

 

Sengaja saya kutipkan bait pertama dan terakhir agar kita bisa melihat dua kata yang dipilih Titin dalam puisinya ini jelas berbeda. Ya, betul kata /arunika/ dan /swastamita/ menarik perhatian pembaca karena ketidakumumannya. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan memilih kata, bahkan kata yang diserap dari bahasa daerah atau asing sekalipun. Itulah gaya Titin dalam berpuisi.

Pemilihan kata dalam puisi ada yang didasari untuk mencari kesamaan rima (rijm) sehingga diperoleh keindahan bunyi. Kiat ini saya kira paling tampak pada puisi-puisi Suprayitno. Dua puisinya yang disertakan dalam antologi kali ini seperti pada galibnya Bang Yitno –demikian saya memanggil – akan menampilkan puisi-puisi kaya repetisi. Majas repetisi memberi kekuatan pada makna yang hendak disampaikan penulis. Mari kita cermati puisi berjudul Siap, Pak! Yang dikutip utuh di bawah ini

Dering di pagi hari

Ya, Pak!

Siap, Pak!

Dering di siang hari

Ya, Pak!

Siap, Pak.

Dering di sore hari

Ya, Pak!

Siap, Pak!

Dering di malam hari

Baik, Pak!

Siap, Pak!

Dering di tengah larut

Baik, Pak!

Siap, Pak!

Takkah kau sadari

sebuah kedzoliman telah terjadi?

Keheningan hati terunggah paksa

Kejernihan pikir terseret dera

Karena sebuah tirani!

Kemerdekaan mulai punah,

Kemandirian mulai jengah.

Ayo, sadarlah!

 

Frasa Ya, Pak! Dan Siap, Pak! Yang bertanda seru (!) menuntun pembaca pada sebuah suasana tertindas oleh instruksi yang disampaikan melalui telepon (dering) tidak kenal waktu atas nama jabatan struktural. Bentuk puisi yang melibatkan suasana batin seperti ini umumnya dimanfaatkan oleh penulis yang mengalami peristiwa secara langsung. Semoga saja tidak demikian karena bisa jadi hasil pengamatan terhadap midlemanager yang ada di sekitarnya. Wallohu alam.

Sebenarnya penulis yang identik dengan gaya repetisi bukan hanya Suprayitno, karena ada seorang penulis lagi yakni Sri Masrifah. Namun kali ini  saya amati puisinya amat longgar. Sri mulai berani mengendorkan ikatan sajaknya, bahkan kepadatan klausa-klausa pada setiap larik dan baitnya. Satu hal yang masih dia pegang teguh yakni keterikatan dengan profesinya. Saya yakin hal itu karena kebanggaannya sebagai guru bukan tidak punya pilihan tema lain. Ini dia kutipan puisinya.

Profesi yang menyala terang

Tak kenal padam diterpa topan

Terus belajar tingkatkan kompetensi diri

Kekurangan diri dibalut dengan belajar

Kekurang diri dipoles dengan membaca

Buku dan internet hiasan melekat di hadapannya

Demi ilmu, takkan malu belajar pada muridnya

 

Profesi yang kadang dipandang sebelah mata

Namun tak luntur, tak mundur selangkah pun

 

Kutipan puisi tersebut dipetik dari puisi berjudul Guru, Profesi Pilihanmu? Untung Sri masih sadar bahwa ini adalah karya fiksi sehingga masih memanfaatkan klitika /-mu/ dan tanda tanya (?). Jika tidak, akan semakin terasa kakunya sebagai karya nonfiksi. Dari kutipan ini saja, sangat meyakinkan bila penulis sangat mencintai profesinya sebagai guru, pendidik, dan pengajar. Sikap yang patut diteladani oleh generasi muda.

Berikut ini sosok guru muda yang sudah kelihatan “jendela”-nya. Dia sudah sanggup menggasak wilayah sosial dari sudut pandang orang yang punya hati. Kerennya lagi, dia tidak melupakan di mana bumi dipijak. Dia sadar sedang berdiri di bumi puisi. Kata demi kata dirangkai tetap puitis tanpa kehilangan makna dari sebuah kritik sosial yang patut direnungkan. Dialah Vina Fitriyani. Jika rajin mengasah diri dengan terus mengikuti panggung percaturan sastra umumnya, puisi khususnya, sosok Vina besar kemungkinan menjadi guru yang nyastra. Untuk lebih jelasnya mari kita simak kutipan puisinya dari puisi berjudul Sosok Puan.

….

 

Puan, layak untuk dilindungi

Tetap saja ada sosok yang tidak tahu diri

Dengan seenaknya mengobras harga diri

Hingga puas, lalu puan trauma dan mati

 

Puan, Puan, Puan, lalu patriaki

Penuh lubang hitam, kemudian terabaikan

Puan perawan atau tidak perawan, mari lawan

Yang merampas hak seorang menjadi puan

 

Bagaimana? Berasa gahar suasananya, dan berasa pula gairah melawan terhadap kesewenang-wenangan gender tuan yang menjajah puan. Puisi perlawanan seperti ini banyak memang tetapi tidak ditulis oleh penyair wanita muda yang lembut, pemalu, dan ramah. Inilah yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca bahwa Vina sosok wanita seperti itu pada suatu saat dia melepas kepribadiannya dan tampil sebagai /aku/ naratif yang lain. Kita perhatikan juga  puisi maskulinnya tentang pecandu rokok. Bila terus diasah dengan pengalaman, maka besar kemungkinan Vina akan semakin menam-pakkan jati dirinya di kancah sastra dengan syarat dia tetap gairah dalam menulis. Kebetulan dia punya bekal waktu yang cukup panjang jika dilihat dari umur.

Dua penulis berikutnya yang kebetulan bernama depan sama yaitu Sri Purwanti dan Sri Tresnowati membimbing pembaca untuk terbuai pada reportase indrawi, Keduanya jujur tentang alam yang dicintainya. Bacalah kutipan puisi mereka berikut

Dari balik kaca jendela

Dan rimbun hijau dedaunan

Tersimpan berjuta kenangan indah

Pada taman teduh penuh cahaya

Meneduhi anak-anak zaman

Menyemai benih-benih harapan

                                       (Sri Purwanti: Rindu)

Kawasan Kali Gua dengan tempat indahnya

Embun pagi menyapaku

Kabut tebal menyelImuti 

mentari kadang enggan menyapa

                                       (Sri Tresnowati: Kali Gua)

 

Itulah ulasan saya selaku koordinator terhadap puisi-puisi yang hadir di sini. Tiada kesempurnaan bagi manusia karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Di akhir kalam ini saya ucapkan terima kasih atas kerja sama kita, mohon maaf atas segala kekurangan, dan selamat atas terbitnya buku antologi puisi bersama keenam ini dengan judul Tarian Malam. Semoga kita kembali kompak dalam mengasah hasrta dan mengasuh sastra pada antologi berikutnya. Salam puisi.

Jakarta, 11 Maret 2023

Ujang Kasarung