Selamat Datang

Rabu, 19 Oktober 2011

HAIKU DAN TANKA

Di Jepang ada bentu puisi yang terikat yaitu Haiku dan Tanka. Haiku adalah puisi tiga baris dengan baris pertama 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata dan baris ketiga 5 suku kata tau formasi 5-7-5. Sedangkan Tanka formasinya 5-7-5-7-7. Berikut contohnya:

         Haiku


Semut berjanji
Membawa kepedihan
Ranting pun  luka

         Tanka


Aku tenggelam
Dalam genangan rindu
Kutikam senyap
Yang menahan bayangmu
Lalu batu harapku.


Cisarua, 15 Oktober 2011

RENUNGAN KESAKTIAN PANCASILA

MASIH SAKTIKAH PANCASILAKU?
oleh: U. Nurochmat


Bulan Oktober merupakan salah satu bulan yang monumental bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tanggal 1 Oktober. Pada tanggal tersebut bangsa Indonesia memeringatinya sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian pancasila terinspirasi oleh peristiwa Penyerbuan pasukan Kostrad ke tempat pembantaian para jenderal TNI AD oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Lubang Buaya. Para Jenderal yang dituduh membentuk Dewan Jenderal dan akan melakukan kudeta itu dibantai lalu dimasukkan ke dalam lubang sumur pada 30 September 1965 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Peristiwa G 30 S? PKI. Sementara tuduhan pihak TNI AD, PKI berjuang menerapkan komunisme di Tanah Air dan berusaha menumpas pihak-pihak yang loyal terhadap Pancasila. Sejak itulah setiap tanggal 1 Oktober Bangsa Indonesia memeringatinya sebagai hari Kesaktian Pancasila. Bahkan pada era pemerintahan Orde Baru, peringatan Hari Kesaktian pancasila sangat meriah. Media massa menayangkan film dokumenter tentang peristiwa G30S/PKI.
Add caption
Namun seiring dengan perkembangan politik di Tanah Air, peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu tidak lagi semeriah dulu. Bahkan anak-anak sekolah sekarang banyak yang tidak mengetahui bila 1 Oktober itu merupakan hari bersejarah bagi bangsanya. Sementara generasi pendahulunya cenderung masa bodoh terhadap momen tersebut. Kondisi seperti ini bisa melahirkan beragam sikap. Ada yang menganggap sebagai sebuah kemajuan hasil perjuangan para reformis, terutama pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan isu G30S/PKI. Ada juga yang  merasa prihatin karena hasil perjuangannya dahulu – saat turut menumpas PKI – tidak dihargai bangsanya.
Sikap berbeda seperti itu tentu saja sah-sah saja, karena selain hak asasi, juga interes yang melandasinya berbeda-beda. Yang perlu kita renungkan justru Kesaktian Pancasilanya itu. Masih saktikah Pancasila saat ini? Saat Bangsa Indonesia sedang “sakit” didera penyakit korupsi akut, adu kedigdayaan para pejabat untuk mempertahankan atau bahkan memaksakan pandangan yang menurutnya paling benar, adu ketangkasan bersilat lidah dalam upaya mengamankan golongan dan organisasi, membudayanya tindakan koruptif, lemahnya fungsi hukum, timpangnya keadilan sosial, terpuruknya perekonomian, ruwetnya penyelenggaraan pemerintahan, atau anarkis dan beringasnya masyarakat.
Masalah-masalah tersebut bukan lagi berita baru dan anyar. Setiap hari masyarakat membaca, mendengar, dan mengunduh carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ya, bangsa yang bernegara berlandaskan Pancasila.
Sejak Era Reformasi lahir, Bangsa Indonesia berharap banyak terhadap perubahan tatanan negeri ini. Bangsa Indonesia sudah terlalu lelah dijajah bangsa asing, dan dibohongi dan dibebani para pemimpinnya. Namun kenyataannya pemerintahan era Reformasi ini tidak ada bedanya dengan era Orde Baru kalau tidak mau dikatakan lebih parah.
Penyelenggaraan berbangsa dan bernegara Indonesia tidak lagi berasas Pancasila. Etika moral para pemimpin bangsa sudah tidak tahu malu, tidak takut hukum, bahwan terhadap Tuhan pun setengah hati (meminjam istilah Cak Nun). Mereka berpoya-poya janji saat pemilihan, namun begitu hemat pada saat melaksanakan janji-janjinya. Akibatnya hampir setiap sektor yang dibebankan pada kas negara 50% dana yang disediakan dari hasil pajak mengalir pada rekening-rekening mereka. Koruptor sudah membudaya dari para langitan hingga akar rumput. Para pejabat sibuk mengatur retorika untuk mengamankan golongan atau organisasinya dengan cara menuduh orang lain. Lalu di mana pandangan hidup pancasila dalam kasus-kasus penyelewengan uang negara? Bila demikian, siapakah yang patut diteladani oleh bangsa yang haus figur teladan ini? Rasanya tidak ada lagi.
Sistem perekonomian jelas-jelas menggunakan pasar bebas ala negara sekuler. Bangsa Indonesia yang besar ini hanya jadi konsumen. Lemah tak berdaya. Sungguh ironis, negara agraris, negara maritim, harus blingsatan karena harga cabe rawit naik, impor kedelai justru dari negara industri – AS, bahkan ada pemikiran untuk mengimpor garam. Apakah yang terjadi pada negeri ini? Di mana kesaktiannya Pancasila?  Jika perekonomian begara ini mudah terombang-ambing dan mudah digertak. Padahal sejak dulu bangsa Indonesia sudah memiliki sistem perekonomian yaitu sistem koperasi.
Dalam tatanan bermasyarakat, ternyata bangsa Indonesia saat ini sangat memrihatinkan. Jangankan berbeda pulau atau provinsi, dalam satu wilayah yang hanya terpisahkan rel kereta api saja, sudah berpotensi untuk perang kampung. Sekolah-sekolah yang hanya berbeda nomor tidak lagi memiliki rasa kasih sayang dan rasa kekeluargaan sebagai sesama pelajar. Bangsa ini menjadi bangsa vandal, beringas, anarkis. Tidak segan-segan mereka akan menggunakan apa saja baik itu klub sepakbola atau perkumpulan agama. Atribut hanya jadi alat gagah-gagahan. Bangsa Indonesia sudah menjurus menjadi bangsa yang barbar, suka main hakim sendiri. Lupa olah rasa, olah hati, olah pikir dan olah iman. Tipikal seperti ini jangan harap mengamalkan Pancasila, memahami atau mengerti pun perlu dipertanyakan.
Itulah yang terjadi saat ini. Pancasila sudah kehilangan kesaktiannya. Karena Pancasila tidak lagi dipersonifikasikan dalam prilaku kehidupan bangsa Indonesia baik dalam berbangsa dan bernegara. Jika demikian, siapakah yang salah bila Pancasila tidak lagi mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu perlu ada perenungan dan kesadaran kembali pada kesaktian Pancasila.*) = NUR

Senin, 04 April 2011

MAJAS

Majas perbandingan

  1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
  2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
  3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
  4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
  5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
  6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
  7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
  8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
  9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
  10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
  11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
  12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
  13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
  14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
  15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
  16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
  17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
  18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
  19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
  20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
  21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
  22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
  23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
  24. Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.

Majas penegasan

  1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
  2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
  3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
  4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
  5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
  6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
  7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
  8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
  9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
  10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
  11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
  12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
  13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
  14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
  15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
  16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
  17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
  18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
  19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
  20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
  21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
  22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
  23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
  24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
  25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
Majas pertentangan
  1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
  2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
  3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
  4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
  5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.

Majas sindiran

  1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
  2. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
  3. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
  4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
  5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

Sabtu, 02 April 2011

MUSIKALISASI PUISI KARYA SISWA

MUSIKALISASI PUISI, APA ITU?
Sebenarnya kita -peserta didik- tidak dituntut untuk mendalami teori musikalisasi puisi. Bagi peserta didik, yang penting, ada puisi, lalu dinyanyikan, bila kebetulan ada alat musik, ya, silakan dimanfaatkan. yang penting, jangan sampai alat musik itu justru mengurangi suasana yang diusung puisi. Contohnya musikalisasi puisi yang dibawakan oleh anak-anak SMP Negeri 1 Jakarta ini. Mereka "hanya menggunakan dua pianika. Ternyata puisi sederhana yang dinyanyikannya terdukung oleh penggunaan alat musik tersebut. Kedua pemain pianika memahami kord-kord yang cocok untuk nada-nada yang membangun musikalnya. Lebih menarik lagi, puisi tersebut dinyanyikan dengan dua atau tiga suara (sopran, mezosopran, dan alto). Sungguh keren. Coba simak, musikalisasi ini jarang ditemukan, dalam arti penekanan pada makna puisinya. Satu lagi yang patut diacungi jempol, adalah ekspresi para pelantunnya yang menghayati isinya. Walaupun pada bagian akhir, perpaduan tiga warna suaranya kurang klop, tetap ini merupakan fenomena keberhasilan sebuah kreativitas. Selamat dan sukses. Ingin mendengarkan? Silakan klik videonya!

Rabu, 12 Januari 2011

Malam Tahun Baru

Kumelolong riskan pada cakrawala yang pekat.
Gadis lusuh hadir menawarkan derita.
Haruskah kuberlari,
jika lenguhku bertebaran di dadanya?


1 Januari 2011
U. Nurochmat