Selamat Datang

Jumat, 08 Desember 2017

PERSIAPAN TRAVELING

PERSIAPAN TRAVELING YANG AMAN, NYAMAN, DAN MENYENANGKAN
Oleh: Ujang Nurochmat

Berwisata/traveling atau bahasa gaulnya nge-trip tentu dilakukan dalam rangka bersenang-senang. Nge-trip dapat dilakukan sendiri, bersama keluarga, atau rombongan. Agar tujuan bersenang-senang tercapai, tentu suasana kurang berkenan atau bikin bete sedapat mungkin dihindari. Triknya dengan cara memperhatikan penyebabnya. Adapun faktor penyebabnya lebih sering berasal dari diri sendiri di samping faktor alam, dan faktor sosial.
Faktor alam misalnya bencana dan cuaca, faktor sosial seperti keterlambatan transfortasi, kurang kordinasi, penipuan, kendaraan mogok, kecelakaan, macet lalu lintas, perubahan kebijakan dan lain-lain. Semoga tidak terjadi.
Sementara, faktor pribadi umumnya digolongkan menjadi dua. Pertama, sikap, dan kedua persiapan. Sikap seorang traveler akan berpengaruh terhadap suasana batin dirinya dan orang lain. Sikap kurang hati-hati, egois, sombong atau meremehkan penduduk lokal termasuk merendahkan pedagang, tidak sabaran, enggan antre, jorok, manja, lelet, buang sampah sembarangan, pelit, sampai makan pun ngumpet, eksis, tetapi Selfi bukan pada tempatnya. Tindakan tersebut selain terkesan norak, kadang mengancam nyawa. Ratu/raja update sehingga seperti pamer. Vandalisme, merusak alam, atau properti umum. Untuk itu, berusahalah menghindari sikap mental demikian.
Sedangkan secara fisik, kita harus menjaga kesehatan, hak istirahat bagi tubuh, mengonsumsi asupan atau nutrisi yang baik. Hindari makanan ekstrim, minumlah jika harus seperlunya, agar tidak beser. Begitu pula bagi yang tidak biasa sarapan, tidak perlu memaksakan diri. Bungkus saja untuk dimakan pada saatnya. Tidak asyik kan kalau sebentar-sebentar harus mampir di SPBU. Dan bagaimana jadinya jika panggilan alami itu datang saat berada di tempat yang tidak ada MCK? Hal lain yang tidak kalah pentingnya, hindari sikap over acting selama nge-trip, terutama bagi Anda yang tidak muda lagi. Umur tidak bisa dibohongi, asam urat, rematik, mudah capek, mudah lelah, daya tahan sudah tidak fit lagi.
Berikutnya yang perlu diperhatikan sebelum berangkat, kenali destinasi yang akan dikunjungi, berapa lama, naik apa, menginap di mana, menggunakan travel tidak, dengan siapa. Hal ini penting agar segalanya dapat berjalan dengan lancar, berhasil maksimal.
Adapun keberhasilan nge-trip lebih banyak ditentukan oleh persiapan. Apa saja yang perlu dibawa, jangan sampai ada yang diperlukan tidak terbawa, sementara yang tidak diperlukan malah terbawa.
A.      Peralatan
1.       Kabel rol
2.       Charger
3.       Powerbank
4.       Smartphone
5.       Kamera
6.       Earphone
7.       Senter
8.       Kompas
9.       Tongsis
10.   Pisau lipat
11.   Alat tulis
12.   Peralatan makan praktis
B.      Pakaian
1.       Pakaian kasual
2.       Pakaian basah-basahan/ renang
3.       Pakaian tidur
4.       Sarung
5.       Sajadah tipis
6.       Jaket
7.       Sarung tangan
8.       Kupluk
9.       Sandal antiselip
10.   Handuk
11.   Kaos kaki
12.   Sepatu nyaman
13.   Mantel hujan
C.      Kesehatan dan Keselamatan
1.       P3K pribadi
2.       Alat mandi
3.       Sunblock, autan, minyak angin
4.       Kacamata baca, kacamata hitam
5.       Selotip dan tali rafia
6.       Kantong keresek multifungsi
7.       Kartu identitas
8.       Kartu ATM
9.       Uang cash berbagai pecahan
10.   Tisu basah dan kering
11.   Gel antikuman
12.   Travel lock
D.      Makanan
1.       Roti tawar
2.       Air mineral
3.       Termos kopi
4.       Permen mint/ permen karet
Terakhir, semua itu adalah petunjuk standar. Tadi di atas sudah disarankan agar mengenali destinasi dan lamanya traveling. Maksudnya agar persiapan dapat disesuaikan. Misalnya, kalau wisatanya ke Singapura, tentu saja berbeda perlengkapan yang dibawa jika berwisata ke gunung. Begitu pula bagi Anda yang nonmuslim, tidak ada manfaatnya membawa sajadah.
Satu hal yang ingin saya tambahkan, bahwa di manapun kita berada, jangan melupakan fungsi kita sebagai hamba Alloh, Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat menikmati traveling Anda, semoga berhasil.

Minggu, 15 Oktober 2017

Kata Pengantar Buku Kawin Perak

Romantika Kawin Perak
DIRO ARITONANG
Presiden HaikuKu Indonesia


Puisi adalah apa kata hati, keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan manusia. Puisi dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi kehidupan manusia. Ungkapan eksistensi manusia dalam kehidupannya, baik cinta dan kematian.
Lewat puisi manusia membawa kita kepada pemahaman atas nilai-nilai kehidupan dengan melibatkan kita untuk menyingkap keberadaan alam kehidupan ini dengan penciptanya. Puisi dapat mengkomunikasikan semua itu dengan Tuhan sebagai penciptanya.
Membaca buku Sepilihan Puisi “Kawin Perak” karya Ujang Nurochmat ini, kita dibawa larut dalam perjalanan memorial yang panjang selama 25 tahun, sejak ia mengucapkan “Ijab Kabul”:


Dengan bismillah
Kupetik kuntum bunga merekah
Mentari lembut merengkuh
Yang hangat melepas sauh
Bahtera cinta atas nama Sang Maha


Ungkapan puitik ini lahir pada Senin, 5 Oktober 1992 Pukul 10.00 di Jakarta hingga pada puisi terakhirnya “Kado Ulah Tahun” perkawinan peraknya selam 25 tahun:

Saatnya tak dapat kupungkiri
perasaan malu karena tak mampu
membungkus kado sepertimu
Sering coba kubungkus gairah
Seperti caramu melingkarkan lengan
Di leher dan bahuku

Sampai aku lupa sebait syair
Yang kusiapkan sejak subuh
Sebagai rasa terima kasih pada
Gayamu menghargai pengalamanku

-- Mau diulang?
+ Ini ulang tahunmu.
-- Aku sudah tua!
+ Kau perkasa.

Pucuk-pucuk suji menari pagi hari.



Ditulisnya puisi tersebut di kamar kita, Mentengjaya, Jakarta, 27 Juli 2017. Dapat dibayangkan puisi-puisi ini bak berbagai macam bunga yang tumbuh di halaman hati penyair yang diberikan pada istrinya tercinta Irmawati.
Jelas puisi pernikahan “Kawin Perak” ini identik dengan kebahagiaan. Ruang kebahagiaan yang sedang dialami oleh sepasang insan yang telah menempuh liku-liku kehidupan perkawinannya yang kaya suasana romantis.
Puisi-puisi jenis ini sudah banyak diciptakan para penyair besar, seperti puisi-puisi Kahlil Gibran dalam “On Marriage”, Juga WS Rendra dalam “4 Kumpulan Sajak”, Puisi-puisi Arifin C. Noer Buat Jajang dan banyak lagi penyair yang menulis romantika percintaan dan perkawinannya.
Menikah adalah dambaan setiap pasangan yang dimabuk asmara. Betapa tidak, pernikahan adalah pintu menuju kebersamaan yang halal secara agama serta resmi secara legal pemerintah. Ketika seseorang menikah, maka dari norma apapun, jiwa raga telah menjadi milik pasangan pengantin tersebut. Namun dalam perjalanan pernikahan tentu ada saja pertengkaran dan kesalahpahaman, namun semua itu bisa diatasi dengan saling pengertian dan rasa cinta yang mendalam di antara pasangan. Ujang Nurochmat menangkap dalam pemaknaan setiap liku-liku perjalanannya, seperti salah satu puisinya yang ditulis di Bromo, Malang:

KISAH KITA

Bromo memang memesona
Indahnya mengusik tanya
Mata pun berkaca-kaca
Seakan dalam pelukan nirwana

Aku takan membiarkan malam
menyekap mimpimu dalam gigil sunyi
aku di sampingmu seperti
hamparan pasir mengirim desir angin
pada hangat magmamu

Aku di sini menaksir-naksir
Gaya Tuhan menciptakanmu
Dengan pasir berbisiknya
Dengan bukit menyuburnya
Dengan kelebat anginnya

Aku di sini bersamamu, Kekasih
Mereka-reka kisah kita
Tentang gelegak magma
Atau semburat merah merona
Saat fajar nyatakan cinta

Sepilihan Puisi “Kawin Perak” karya Ujang Nurochmat ini sangat menarik untuk dibaca, yang akan menjadi hikmah bagi kita semua dalam menjalankan kehidupan kita berkeluarga, yang bisa bertahan selama 25 tahun yang sarat romantika bukanlah perjalanan yang mudah. Ini akan menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menjalankan realitas kehidupan ini. Semoga buku puisi ini akan bermanfaat bagi kita semua.


Akhir Agustus 2017



Bumi Adipra, Kota Bandung

Puisi Melawan Korupsi

DADDY
Oleh Ujang Kasarung

Seharusnya aku bangga jadi anakmu, Daddy
Kau tak mengizinkan kemiskinan menyentuhku
Aku bebas tinggal di rumah yang mana sesukaku
Dengan mami yang berbeda bahkan ada yang seusiaku

Seharusnya aku bangga jadi anakmu, Daddy
Teman-teman sekampus obral pujian untukku
Tentang kendaraan, penampilan, atau keluargaku
Aku tahu maksud mereka mengatakan itu

Seharusnya aku bangga jadi anakmu, Daddy
Rumah mewah, apartemen, atau vila
Di ibukota hingga dibukit nuansa wisata
Sampai kau lupa sedang tinggal di mana

Koleksi kendaraan tidak perlu ditanya
Bahkan showroom dan daelernya pun kita punya
Padahal jabatan Daddy hanya penanda tangan
Dan gunting pita pada bangunan atau jalan desa

Seharusnya aku bangga,
Tapi aku tidak!

Kau berompi orange digiring petugas KPK
Disambut puluhan shooter kamera
Dan pertanyaan para abdi berita dan kuli tinta

Gila,
Kau tersenyum sambil melambaikan tangan
Seperti seorang filantrop yang berjasa
Kau melangkah menuruni anak tangga
Memasuki mobil dengan pintu terbuka

Sekali lagi, kau tersenyum dan melambai tangan
Dari layar kaca padaku yang terbahak di kamar
Mungkin lambai terakhir atau senyum penghabisan
Dan kau, Daddy, apakah masih ingat cara bertobat.



Jakarta, 25 Maret 2017

Cerita Mini

KABAR

Kang Sabar agak ragu saat kakinya memasuki pekarangan rumah Mas Madraji. Di bawah pohon jambu batu yang sudah licin karena sering dipanjati anak-anak itu tampak Ida, Ratih dan teman-temannya sedang bermain tanah. Mbak Tarmi sendiri tidak tampak selain jemuran yang melintang dari pohon jambu tadi ke tiang bambu yang dibuat Mas Madraji beberapa waktu yang lalu.
Kang Sabar masih gelisah berdiri dekat patok bambu sisa pagar yang hampir habis diambili anak-anak atau pengembala kambing yang lewat. Pandangannya jauh melintasi pohon-pohon tebu yang belum tinggi. Pikirannya galau. Gemerisik daun-daun tebu menyapa hembusan angin. Matahari sesekali redup ditabiri awan. Tenggorokan Kang Sabar terasa kering walau hanya sekadar untuk meludah.
Kalau lagi di pabrik biasanya Mas Madraji suka perhatian. Dia akan menyodorkan botol mineralnya yang biasa digunakan membawa air the dari rumah. Kadang kalau kebetulan ada rezeki, Mas Madraji tidak segan-segan membelikan Kang Sabar dan Pardiman masing-masing sebungkus ancemon yang biasa dijual Mbok Darojah di bawah pohon kersen di depan gerbang pabrik.
Ida menyadari kehadiran teman bapaknya itu. Dia lama memerhatikan Kang Sabar. Ia merasa heran, biasanya Kang Sabar datang kalau bapaknya ada di rumah. Biasanya Kang Sabar suka langsung ke rumah tidak berdiri di sana. Patahan genting yang dipegangnya terjatuh. Lalu dipungutnya kembali.
“Kang Sabar!” tegur bocah 9 tahun itu sambil menggenggam pecahan genting. Ingusnya mengering di pipinya yang tembem.
Kang Sabar menoleh dan tersenyum lirih. Keraguan kian menggelayut membebani bahunya. Sehelai daun jambu kering luruh tertiup angin terus jatuh di kening gadis kecil yang masih berdiri di hadapan Kang Sabar.
“Bapak nggak ada!” serunya, ”Belum pulang!” tambah Ida. Tangannya menja-tuhkan pecahan genting itu ke atas tumpukan tanah yang tadi dibuat gunung-gunungan. Rupanya Ida langsung bermain sepulang sekolah seperti kebanyakan anak kampung Sukagenah, terlihat dari baju pramukanya.
“Ibu ada?” Kang Sabar mencoba mencari tahu.
Mungkin kalau Ida sudah besar, akan kaget mendengar pertanyaan teman bapaknya itu. Biasanya Kang Sabar akan langsung ke rumahnya. Tetapi Ida belum sejauh itu berpikir. Dia menjawab bahwa ibunya ada di rumah.
Kang Sabar tidak berhasil mendengar jawabannya. Anak itu sudah tenggelam lagi dalam keasikan bermain bersama teman-temannya. Sejenak Kang Sabar menoleh ke arah jalan. Debu warna coklat susu berputar-putar membentuk pusaran kecil seakan mengejar sebuah sepeda yang muncul dari fatamorgana. Sepeda yang dikayuh seseorang bercaping. Setelah sampai, Pardiman menghentikan sepedanya dengan ban depan persis di hadapan Kang Sabar.
Kang Sabar bergeming.
“Mbak Tarminya ada, ga?” tanya Pardiman dalam sengalan napas yang payah.
“Kamu aja, ya!” bujuk Kang Sabar, ”Aku ndak tega,” sahut Kang Sabar.
“Tadi katanya kamu sanggup. Tapi ya, sudah, aku juga ga apa-apa,” keluh Pardiman sambil menyenderkan sepedanya pada pohon nangka yang menaungi mereka. Sejenak Pardiman berdiri di samping sepedanya yang teronggok tak berdaya. Dengan capingnya dia kibas-kibaskan di depan dadanya mengusir rasa panas yang menyempurnakan musim kemarau kala itu. Perlahan pandangannya membawa hati Pardiman ke arah rumah Mas Madraji. Lalu berhenti. Kali ini matanya tak mampu menyembunyikan perasaannya saat Mbak Tarmi muncul.
“Bu, ada Kang Sabar!” seru Ida ketika melihat ibunya muncul dari samping rumahnya.
“Aih, kenapa pada berdiri di situ? Mari masuk. Bapak si Idanya mana?” tanya Mbak Tarmi heran karena biasanya mereka suka datang bertiga bersama suaminya.
Kang Sabar dan Pardiman saling menatap. Senyumnya yang baru saja dipamerkan tidak tampak lagi. Awan beriringan ke selatan. Dua ekor burung berkejaran di antara ranting pohon perdu yang meranggas di sisi kebun tebu.
Ya, kebun tebu satu-satunya sumber penghidupan penduduk kampung Sukagenah. Karena pabrik gulalah yang membuat jalan desa ini berkulit aspal walau kini sudah banyak terkelupas dan bergelombang. Malah nyaris sebagian sudah kembali menjadi jalan tanah seperti dulu.
“Man?”
Ada nada perintah dari kerongkongan Kang Sabar. Dia gamang mendengar tanya Mbak Tarmi. Dia tidak tahu harus menggunakan kata yang mana dan dengan cara bagaimana agar Mbak Tarmi tidak runtuh dengan berita yang akan disampaikan ini. Lututnya gemetar, Pardiman tidak sanggup lagi berdiri tegak. Ia limbung. Untungnya, sebelum terjatuh, dia segera jongkok, berpegangan pada watangan sepeda ontelnya. Matanya sudah mulai basah. Pardiman hanya memutar-mutar rantai sepedanya. Kang Sabar masih berpikir sambil meluruhkan kulit-kulit tua dari pohon nangka. Sementara Mbak Tarmi tampak membersihkan meja dengan taplak meja yang tak lagi utuh. Dua kursi kayu berdampingan dengan mejanya di teras berlantai tanah. Mbak Tarmi seperti biasa ramah kepada kedua sahabat suaminya itu.
Kang Sabar dan Pardiman bergelut dengan pikiran masing-masing. Sebagian jiwanya berada di antara kerumunan ratusan teman-teman buruhnya yang berteriak-teriak menyuarakan hati nuraninya. Dan bisa jadi demo buruh ini yang pertama terjadi di pabrik gula ini. Mereka terlalu nrimo akan kebijakan-kebijakan perusahaan yang kurang merakyat. Tetapi itupun tidak sepenuhnya merupakan kesalahan pihak manajemen. Pabrik gula ini terus merugi karena kalah saing dengan impor gula olahan yang awalnya diperuntukkan bagi perusahaan makanan, tetapi kenyataannya, diolah pula jadi gula konsumsi. Di sisi lain, pasokan bahan baku, berupa tebu kurang, sehingga jangankan untuk memperoleh keuntungan, untuk menutup biaya produksi saja tidak mencukupi. Dan kini, muncul ditandatanganinya SKB 4 Menteri. Hampir seluruh buruh pabrik di negeri ini turun ke jalan menyuarakan hati nurani. Sementara pihak manajemen tidak kalah persiapan, setelah kemarin melihat satpam perusahaan setengah hati menghalau pendemo, kali ini mereka menyewa preman dari kota. Bentrokan pun tidak terelakan.
Bekas genangan darah Mas Madraji di mulut gerbang pabrik justru menambah gelora semangat para buruh menuntut pembatalan SKB 4 Menteri itu. Bahkan bertambah anarkis ketika para preman bayaran pabrik kian bringas. Polisi mengamankan  beberapa pelaku dan saksi yang menghajar kepala Mas Madraji dengan balok, pentungan, atau linggis. Sedangkan Mas Madraji dilarikan ke Puskesmas oleh beberapa kawannya, di antaranya Kang Sabar dan Pardiman, namun jiwanya tidak tertolong.
Kang Sabar dan Pardiman hanya saling berpandangan bingung, padahal kabar kematian Mas Madraji yang kini terbaring di puskesmas kecamatan adalah milik Mbak Tarmi, Ida, dan Ratih. Angin kering menyapa hambar kepada mereka. Seekor kepodang melesat di antara gemerisik gesekan daun tebu.
Subang, 10 Desember 2008

U. Nurochmat 

Rabu, 28 Juni 2017

MAIDO, Pengantar

MAIDO YANG BUKAN MAIDO
Sebuah Pengantar Buku Ujang Kasarung

Puisi  merupakan media . serta sarana komunikasi untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru (kebaharuan pikir/new opinion) atas olah rasa, olah batin,  atau olah laku kehidupan, baik itu merupakan suatu hasil dari lelaku langsung maupun dari apa yang ditangkap oleh panca indra dari lingkungan sekitar—sensoris (diluar diri) yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam upayanya memberi nilai positip di masa-masa selanjutnya”.
            Banyak cara yang dapat dilakukan seorang penulis menyampaikan buah pemikirannya atas suatu permasalahan yang ada disekelilingnya, salah satunya melalui media puisi. Namun buru-buru saya katakan, bukan hal mudah menyampaikan buah pemikiran melalui media puisi agar maksud dan tujuan dari penulis bisa dipahami oleh pembaca, mengingat kecenderungan bahasa puisi yang bersifat sangat personal serta cenderung dengan bahasa kias.
Adalah Ujang Nurochmat, yang di media sosial dikenal sebagai Ujang Kasarung, lahir di Tasikmalaya, 27 Juli 1962, untuk meminimalisasi ketidakpemahaman pembaca atas karyanya, Ujang Nurochmat dengan bahasa komunikasi yang lugas serta gaya ungkap lebih pada memaparkan dari pada menceritakan, serta bentuk penuangan model puisi-puisi pendek satu bait dalam lima larik khas pola tuang Kuin yang popular pada masa angkatan pujangga baru, menjadikan ruang puisi dengan teks padat kata tadi tidak kehilangan ruang untuk pembacanya dalam berimaji.
            Disadari atau tidak, setiap orang yang menulis puisi pada hakekatnya tengah digelisahkan oleh sesuatu yang mengusik sisi manusiawinya. Atau mudahnya, tengah dihadapkan pada suatu masalah, baik itu yang menyangkut kehidupannya secara pribadi atau yang menyangkut persoalan sosial budaya di lingkungan sekitarnya, yang bahkan mungkin tidak ada sangkutpautnya secara langsung dengan dirinya secara pribadi.
            Dalam suatu interaksi di media face book, 16 februari 2017, akun dengan nama Man Atek menulis dalam salah satu kotak komentar postungan saya terkait apakah puisi itu identik dengan adanya suatu masalah dalam kehidupan?, dia menulis seperti yang saya kutip-hadirkan, sebagai berikut: "Pada dasarnya apapun karya, sejatinya lahir tersebab adanya masalah. dan karya adalah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah. Termasuk puisi. ketidakpuasan adalah bukti adanya masalah"
            Saya pikir pernyataan Man Atek tersebut, jika dikaitkan dengan judul buku Antologi tunggal yang ditulis Ujang Nurochmat, sangatlah tepat—Buku antologi tunggal puisi dengan pola tuang lima baris, yang diberi tajuk “MAIDO”, terdiri dari 107 halaman dan memuat 99 puisi satu bait lima baris, yang dalam masa angkatan pujangga baru dikenal dengan istilah Kuin, hanya saja pola kuin yang popular pada waktu itu (dikisaran tahun 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). masih kental pengaruh angkatan pujangga lama serta angkatan 1920-nya Moh Yamin, yang masih belum total terbebas dengan permainan bunyi rima akhir, yang kecenderungan masih terpengaruh rima akhir pola tuang syair [aaaaa]), sementara dalam “MAIDO”, Ujang Kasarung justru sebagian besar dalam “MAIDO”  melepaskannya dari keterikatan rima akhir, dan ini menjadi kian menarik saat gaya pengungkapannya yang sudah terbebas dari rima akhir tadi, dipaparkan dengan gaya bercerita yang tidak jarang disisipi kalimat tanya yang sungguh menggeliti.  Ada beberapa puisi yang tergabung dalam antologinya ini yang  mengingatkan saya dengan gaya ungkap flashfiction, juga puisi mbeling. Bisa dibaca pada beberapa puisinya yang saya tampilhadirkan di bawah ini:
MENGUNTUN PENGETAHUAN

Murid-muridku berdzikir
Menguntun pengetahuan
Malam mereka bermimpi
Jadi gunung pagi hari
Kamu siapa?” tanyanya padaku.

2013 – Halaman 40

Jika diperhatikan dengan seksama puisi di atas, Ujang Nurochmat yang aku lirik dengan gaya bertutur untuk menghidupkan gambaran di imaji hayatan pembaca, menyampaikan amanat, juga pesan moral akan kian turunnya nilai-nilai moralitas generasi muda dewasa ini, sangat menggelitik dengan satu larik eksekusi bernada tanya yang terasa sekali kembelingannya “Kamu siapa?”.  Kalimat tanya ini saat saya ajak kembali merambat ke larik-larik atas sebelumnya, serupa pisau bermata dua, satu sisi menyanyat keakuan aku lirik yang dalam kontek puisi di atas didudukan sebagai sosok panutan/guru yang semestinya selalu diturut dan digugu, dan satu sisinya lagi menyanyat keakuan orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya dalam konteks kedudukannya sebagai murid yang semestinya tidak melupakan asal muasal dia menjadi—semacam peribahasa kacang yang lupa akan kulitnya. 
Pemaparan dengan gaya bahasa ungkap, seperti yang sering dijumpai dalam karya-karya fiksi mini serta puisi mbeling, yang lebih menitik beratkan pada pesan yang kuat untuk menghadirkan gema di imaji hayatan pembaca, yang bahkan Ujang Nurochmat sediri (mungkin) saat menulis puisi puisi lima larik yang diberi judul //SELOKAN// dan //JENAZAH MENCARI KUBUR//, secara emosi demikian terbawa masuk ke dalam dunia imajinya. Akan tetapi dalam dua puisinya ini, jejak-jejak kuin masih bisa dirasakan dengan adanya impresi kuat permainan bunyi /u/ dan /i/ membangun citraan atau gambaran visual menjadi tebal dan kuat.


SELOKAN

Selokan di samping rumahku
Hampir setiap hari mengawasiku
Tatapannya waspada dan curiga
Apakah gara-gara kebiasaanku
Buang hajat di situ?

2010—Halaman 26


JENAZAH MENCARI KUBUR

Kuburan sudah digali
Jenazah ternyata masih mencari
Hingga kafannya hanyut di kali
“Tolonglah aku!”
Tak ada seorang pun yang peduli

2014—Halaman 40

Secara tekstual, dua puisi di atas yang dituang dalam lima larik satu bait, masih bisa ditengarai keterpengaruhan Ujang Nurochmat dengan puisi era pujangga baru yang dikenal dengan kuin, walaupun secara rima akhir aaaa, yang merupakan salah satu ciri utama kuin di era pujangga baru tersebut, belum sepenuhnya terpenuhi dengan sempurna. Namun secara permainan bunyi dalam membangun ekspresi yang kuat seperti halnya yang dipekerjakan dalam kuinnya para penulis di era pujangga baru, saya pandang Ujang Nurochmat dalam konteks ini telah berhasil, sehingga makna dan suasana yang ingin ditonjolkan sangat kuat tertampakkan. Dominasi bunyi vokal /u/ dan vokal /i/ yang mengisi hampir di tiap larik, menghadirkan kesan serta suasana sedih yang demikian dalam.           
Kalau dua puisi di atas masih cukup kuat jejak ungkap ala kuin-nya pujangga lama, kentalnya unsur permainan bunyi dan rima, walaupun dari sudut pandang yang lainnya secara gaya ungkap juga kental aroma fiksi mini. Namun saya berpikir komposisinya masih berimbang jika diperbandingkan dengan tiga puisinya yang diberi judul “AYAH1”, “BULAN PUCAT”.  dan “:BATIK”  yang saya ambil secara acak dari buku ini juga, lebih dominan gaya pemaparan ala fiksi mini daripada gaya ungkap kuin (kecuali pola lima larik satu baitnya).
AYAH 1
“Maaf, Dik … Ibu ada?”
Bapak siapa?
“Aku malaikat!”
Masak malaikat dekil begitu?
“Kalau begitu, aku ayahmu!”

2014—Halaman 46

BULAN PUCAT

Ronda, Pak?
“Eh, Iya, Neng. Mau kemana?”
Ke kuburan. Mari!
“Silakan, hati-hati, di sana banyak berandalan!”
Bulan pucat mengintip dari balik mug.

2014—Halaman 54

BATIK

Sepulang dari Yogya, kubawa sehelai batik
Sebagai oleh-oleh untukmu
Namun saat tiba di rumah, aku bingung
Ternyata kau telah menjelma
Jadi motif pada batik.

2015—Halaman 61Top of Form
            Dalam tiga puisi di atas yang saya ambil secara acak dari buku MAIDO, saya justru kehilangan ciri khas puisi kuin, selain lima larik dalam satu baitnya. Saya berpikir karya puisi di atas lebih condong ke pola tuang cerita mini atau yang lebih popular dengan istilah flash fiction. Perhatikan unsur-unsur dasar pembentuknya, seperti penokohan dan cara penulis menghadirkan konflik, serta memberikan nilai gema dalam eksekusi larik akhirnya. Misalkan dalam puisi (?) //AYAH 1//, kemenonjolan tokoh ayah tampak jelas di sana, dan penciptaan karakter ayah yang sering tidak memberi contoh dengan baik, terbaca jelas dari konflik yang dibangun—perhatikan diksi /malaikat/ yang dibenturtautkan dengan diksi /dekil/. Akan dapat dengan mudah mengarahkan pembaca untuk meraba lebih dalam ke arah mana pesan dan amanat puisi (?) di atas ingin dilesatkan. [sengaja saya tulis (?), sebab ini  masuk katagori puisi atau cerita mini—Dalam konteks uni Agoos Noor secara tersirat berpandangan bahwa fiksi mini memang bisa juga  berbentuk puisi]. Terlepas dari itu semua yang pasti saya sangat menikmati pesan amanat yang kuat yang dihadirkannya. Memang, jika mengacu pada pemikiran Agoos Noor tentang flash fiction, tiga puisi di atas masuk dalam pola tuang flash fiction, terutama yang berjudul //AYAH 1// dan //BATIK//, yang secara gaya ungkap mengingatkan karya Sapardi Djoko Damono “TUAN”, dan karya Joko Pinurbo “PENJAHAT BERDASI” yang pernah dikupas sekilas oleh Agoos Noor: “ …. Berikut ini adalah karya Joko Pinurbo, yang “resminya” oleh penulisnya sendiri, disebut puisi. Tapi, menurut saya, ia bisa disebut fiksi mini:

Penjahat Berdasi
Ia mati dicekik dasinya sendiri.
Dalam karya itu, kita menemukan bayangan tokoh, yakni “si penjahat berdasi”. Di sana suatu konflik yang membuat si tokoh itu akhirnya mati secara mengerikan: dicekik oleh dasinya sendiri. Perhatikan kata “dicekik” dan bukan “tercekik”, misalnya. Dalam kata “dicekik” itulah, kita menemukan unsur plot arau alur: bagaimana suatu hari dasi itu berubah seperti tangan hitam dan kasar yan jengkel dan kemudian mencekik leher di tokoh itu”.  Juga analisza sudut pandang Agoos Noor pada karya “TUAN” Sapardi Djoko Damono, “…. seperti dalam sajak “Tuan”, meski ia menyebutnya puisi. Mari kita kutip sajak “Tuan” itu, dan saya tulis ulang dengan gaya prosa:
Tuan
“Tuan Tuhan, bukan?” Tunggu sebentar, saya sedang keluar.
Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk fiksi mini, meski penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi.” Untuk melengkapi sajak (?) Tuan yang telah digubah topografinya oleh Agoos Noor sebagai proses telaah, saya kutip hadirkan karya SDD selengkapnya.
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar..

Sapardi Djoko Damono
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
           
            Dari sekian puisi (99 puisi) yang ada di MAIDO, secara acak saya mendapati pengaruh kuin yang kuat ada pada empat puisi yang saya kutip-hadirkan di bawah ini:
MAIDO

Selalu saja kau curigai dasiku
Biru tua atau merah jambu
Selalu saja kau cemburui singletku
Putih polos atau bergincu
Siapa sih sebenarnya kamu?

2014—halaman 45


KARENA KAMU

Karena kamu tulus menista cintaku
Aku akan hati-hati merindukanmu
Karena kamu semangat menghardikku
Aku akan kesulitan mengeja namamu
Maka besok aku akan berdiri di gerbangmu

2016—halaman 94


TERNYATA

Tak ada kata ternyata
Ketika saudara kita
Di Rohingya dinista
Kupikir kau permata
Rupanya batu semata

2016—Halaman 102

PUISI INI

Kuistigfarkan puisi ini
Kusujudkan puisi ini
Kusalatkan puisi ini
Kutalkinkan puisi ini
Sebelum menutup puisi ini

2017—halaman 105


            Membaca kumpulan puisi Ujang Nurochmat yang ada dalam buku Amtologi tunggalnya, bertajuk MAIDO—ma.i.do v Jw mencela karena tidak percaya (perbuatan atau hasil pekerjaan orang lain)—Ada kedekatan arti dengan maido dalam bahasa Sunda; Menyalahkan, menuntut yang lebih—bukan berarti, dengan pengertian tadi lantas semua isi yang dibawa teks puisi dalam buku ini tersaji dengan gaya penyampaian yang meletup-letup, tapi justru saya secara pribadi merasakan sebagai sarana auto kritik masing-masing individu baca (termasuk penulisnya sendiri). Dengan keunikan gaya pemaparan yang bisa dibilang gado-gado (ada rasa flash fiction, ada aroma mbeling dan ada kenikmatan bunyi ala kuin), saya pikir buku ini sangat layak untuk dimiliki para penyuka puisi, pemerhati puisi, dan terkusus para penyuka puisi-puisi dengan pola tuang pendek, baik sebagai bahan kajian ataupun sekedar sebagai bacaan yang menghibur, tapi tetap menyediakan ruang permenungan.
            Pada akhirnya semoga pengantar sederhana dari buku antologi tunggal MAIDO yang akan Anda miliki ini (mungkin), paling tidak bisa memberikan gambaran secara garis besar dari isinya, sehingga Anda benar-benar sudah Ikhlas saat memutuskan untuk membelinya sebagai bagian dari koleksi buku lainnya yang sudah Anda miliki.
Salam lifespirit!

Mataram 31 Maret 2017
Imron Tohari dengan ID lifespirit!—penyuka sastra, terkhusus puisi.