Selamat Datang

Rabu, 28 Juni 2017

MAIDO, Pengantar

MAIDO YANG BUKAN MAIDO
Sebuah Pengantar Buku Ujang Kasarung

Puisi  merupakan media . serta sarana komunikasi untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru (kebaharuan pikir/new opinion) atas olah rasa, olah batin,  atau olah laku kehidupan, baik itu merupakan suatu hasil dari lelaku langsung maupun dari apa yang ditangkap oleh panca indra dari lingkungan sekitar—sensoris (diluar diri) yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam upayanya memberi nilai positip di masa-masa selanjutnya”.
            Banyak cara yang dapat dilakukan seorang penulis menyampaikan buah pemikirannya atas suatu permasalahan yang ada disekelilingnya, salah satunya melalui media puisi. Namun buru-buru saya katakan, bukan hal mudah menyampaikan buah pemikiran melalui media puisi agar maksud dan tujuan dari penulis bisa dipahami oleh pembaca, mengingat kecenderungan bahasa puisi yang bersifat sangat personal serta cenderung dengan bahasa kias.
Adalah Ujang Nurochmat, yang di media sosial dikenal sebagai Ujang Kasarung, lahir di Tasikmalaya, 27 Juli 1962, untuk meminimalisasi ketidakpemahaman pembaca atas karyanya, Ujang Nurochmat dengan bahasa komunikasi yang lugas serta gaya ungkap lebih pada memaparkan dari pada menceritakan, serta bentuk penuangan model puisi-puisi pendek satu bait dalam lima larik khas pola tuang Kuin yang popular pada masa angkatan pujangga baru, menjadikan ruang puisi dengan teks padat kata tadi tidak kehilangan ruang untuk pembacanya dalam berimaji.
            Disadari atau tidak, setiap orang yang menulis puisi pada hakekatnya tengah digelisahkan oleh sesuatu yang mengusik sisi manusiawinya. Atau mudahnya, tengah dihadapkan pada suatu masalah, baik itu yang menyangkut kehidupannya secara pribadi atau yang menyangkut persoalan sosial budaya di lingkungan sekitarnya, yang bahkan mungkin tidak ada sangkutpautnya secara langsung dengan dirinya secara pribadi.
            Dalam suatu interaksi di media face book, 16 februari 2017, akun dengan nama Man Atek menulis dalam salah satu kotak komentar postungan saya terkait apakah puisi itu identik dengan adanya suatu masalah dalam kehidupan?, dia menulis seperti yang saya kutip-hadirkan, sebagai berikut: "Pada dasarnya apapun karya, sejatinya lahir tersebab adanya masalah. dan karya adalah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah. Termasuk puisi. ketidakpuasan adalah bukti adanya masalah"
            Saya pikir pernyataan Man Atek tersebut, jika dikaitkan dengan judul buku Antologi tunggal yang ditulis Ujang Nurochmat, sangatlah tepat—Buku antologi tunggal puisi dengan pola tuang lima baris, yang diberi tajuk “MAIDO”, terdiri dari 107 halaman dan memuat 99 puisi satu bait lima baris, yang dalam masa angkatan pujangga baru dikenal dengan istilah Kuin, hanya saja pola kuin yang popular pada waktu itu (dikisaran tahun 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). masih kental pengaruh angkatan pujangga lama serta angkatan 1920-nya Moh Yamin, yang masih belum total terbebas dengan permainan bunyi rima akhir, yang kecenderungan masih terpengaruh rima akhir pola tuang syair [aaaaa]), sementara dalam “MAIDO”, Ujang Kasarung justru sebagian besar dalam “MAIDO”  melepaskannya dari keterikatan rima akhir, dan ini menjadi kian menarik saat gaya pengungkapannya yang sudah terbebas dari rima akhir tadi, dipaparkan dengan gaya bercerita yang tidak jarang disisipi kalimat tanya yang sungguh menggeliti.  Ada beberapa puisi yang tergabung dalam antologinya ini yang  mengingatkan saya dengan gaya ungkap flashfiction, juga puisi mbeling. Bisa dibaca pada beberapa puisinya yang saya tampilhadirkan di bawah ini:
MENGUNTUN PENGETAHUAN

Murid-muridku berdzikir
Menguntun pengetahuan
Malam mereka bermimpi
Jadi gunung pagi hari
Kamu siapa?” tanyanya padaku.

2013 – Halaman 40

Jika diperhatikan dengan seksama puisi di atas, Ujang Nurochmat yang aku lirik dengan gaya bertutur untuk menghidupkan gambaran di imaji hayatan pembaca, menyampaikan amanat, juga pesan moral akan kian turunnya nilai-nilai moralitas generasi muda dewasa ini, sangat menggelitik dengan satu larik eksekusi bernada tanya yang terasa sekali kembelingannya “Kamu siapa?”.  Kalimat tanya ini saat saya ajak kembali merambat ke larik-larik atas sebelumnya, serupa pisau bermata dua, satu sisi menyanyat keakuan aku lirik yang dalam kontek puisi di atas didudukan sebagai sosok panutan/guru yang semestinya selalu diturut dan digugu, dan satu sisinya lagi menyanyat keakuan orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya dalam konteks kedudukannya sebagai murid yang semestinya tidak melupakan asal muasal dia menjadi—semacam peribahasa kacang yang lupa akan kulitnya. 
Pemaparan dengan gaya bahasa ungkap, seperti yang sering dijumpai dalam karya-karya fiksi mini serta puisi mbeling, yang lebih menitik beratkan pada pesan yang kuat untuk menghadirkan gema di imaji hayatan pembaca, yang bahkan Ujang Nurochmat sediri (mungkin) saat menulis puisi puisi lima larik yang diberi judul //SELOKAN// dan //JENAZAH MENCARI KUBUR//, secara emosi demikian terbawa masuk ke dalam dunia imajinya. Akan tetapi dalam dua puisinya ini, jejak-jejak kuin masih bisa dirasakan dengan adanya impresi kuat permainan bunyi /u/ dan /i/ membangun citraan atau gambaran visual menjadi tebal dan kuat.


SELOKAN

Selokan di samping rumahku
Hampir setiap hari mengawasiku
Tatapannya waspada dan curiga
Apakah gara-gara kebiasaanku
Buang hajat di situ?

2010—Halaman 26


JENAZAH MENCARI KUBUR

Kuburan sudah digali
Jenazah ternyata masih mencari
Hingga kafannya hanyut di kali
“Tolonglah aku!”
Tak ada seorang pun yang peduli

2014—Halaman 40

Secara tekstual, dua puisi di atas yang dituang dalam lima larik satu bait, masih bisa ditengarai keterpengaruhan Ujang Nurochmat dengan puisi era pujangga baru yang dikenal dengan kuin, walaupun secara rima akhir aaaa, yang merupakan salah satu ciri utama kuin di era pujangga baru tersebut, belum sepenuhnya terpenuhi dengan sempurna. Namun secara permainan bunyi dalam membangun ekspresi yang kuat seperti halnya yang dipekerjakan dalam kuinnya para penulis di era pujangga baru, saya pandang Ujang Nurochmat dalam konteks ini telah berhasil, sehingga makna dan suasana yang ingin ditonjolkan sangat kuat tertampakkan. Dominasi bunyi vokal /u/ dan vokal /i/ yang mengisi hampir di tiap larik, menghadirkan kesan serta suasana sedih yang demikian dalam.           
Kalau dua puisi di atas masih cukup kuat jejak ungkap ala kuin-nya pujangga lama, kentalnya unsur permainan bunyi dan rima, walaupun dari sudut pandang yang lainnya secara gaya ungkap juga kental aroma fiksi mini. Namun saya berpikir komposisinya masih berimbang jika diperbandingkan dengan tiga puisinya yang diberi judul “AYAH1”, “BULAN PUCAT”.  dan “:BATIK”  yang saya ambil secara acak dari buku ini juga, lebih dominan gaya pemaparan ala fiksi mini daripada gaya ungkap kuin (kecuali pola lima larik satu baitnya).
AYAH 1
“Maaf, Dik … Ibu ada?”
Bapak siapa?
“Aku malaikat!”
Masak malaikat dekil begitu?
“Kalau begitu, aku ayahmu!”

2014—Halaman 46

BULAN PUCAT

Ronda, Pak?
“Eh, Iya, Neng. Mau kemana?”
Ke kuburan. Mari!
“Silakan, hati-hati, di sana banyak berandalan!”
Bulan pucat mengintip dari balik mug.

2014—Halaman 54

BATIK

Sepulang dari Yogya, kubawa sehelai batik
Sebagai oleh-oleh untukmu
Namun saat tiba di rumah, aku bingung
Ternyata kau telah menjelma
Jadi motif pada batik.

2015—Halaman 61Top of Form
            Dalam tiga puisi di atas yang saya ambil secara acak dari buku MAIDO, saya justru kehilangan ciri khas puisi kuin, selain lima larik dalam satu baitnya. Saya berpikir karya puisi di atas lebih condong ke pola tuang cerita mini atau yang lebih popular dengan istilah flash fiction. Perhatikan unsur-unsur dasar pembentuknya, seperti penokohan dan cara penulis menghadirkan konflik, serta memberikan nilai gema dalam eksekusi larik akhirnya. Misalkan dalam puisi (?) //AYAH 1//, kemenonjolan tokoh ayah tampak jelas di sana, dan penciptaan karakter ayah yang sering tidak memberi contoh dengan baik, terbaca jelas dari konflik yang dibangun—perhatikan diksi /malaikat/ yang dibenturtautkan dengan diksi /dekil/. Akan dapat dengan mudah mengarahkan pembaca untuk meraba lebih dalam ke arah mana pesan dan amanat puisi (?) di atas ingin dilesatkan. [sengaja saya tulis (?), sebab ini  masuk katagori puisi atau cerita mini—Dalam konteks uni Agoos Noor secara tersirat berpandangan bahwa fiksi mini memang bisa juga  berbentuk puisi]. Terlepas dari itu semua yang pasti saya sangat menikmati pesan amanat yang kuat yang dihadirkannya. Memang, jika mengacu pada pemikiran Agoos Noor tentang flash fiction, tiga puisi di atas masuk dalam pola tuang flash fiction, terutama yang berjudul //AYAH 1// dan //BATIK//, yang secara gaya ungkap mengingatkan karya Sapardi Djoko Damono “TUAN”, dan karya Joko Pinurbo “PENJAHAT BERDASI” yang pernah dikupas sekilas oleh Agoos Noor: “ …. Berikut ini adalah karya Joko Pinurbo, yang “resminya” oleh penulisnya sendiri, disebut puisi. Tapi, menurut saya, ia bisa disebut fiksi mini:

Penjahat Berdasi
Ia mati dicekik dasinya sendiri.
Dalam karya itu, kita menemukan bayangan tokoh, yakni “si penjahat berdasi”. Di sana suatu konflik yang membuat si tokoh itu akhirnya mati secara mengerikan: dicekik oleh dasinya sendiri. Perhatikan kata “dicekik” dan bukan “tercekik”, misalnya. Dalam kata “dicekik” itulah, kita menemukan unsur plot arau alur: bagaimana suatu hari dasi itu berubah seperti tangan hitam dan kasar yan jengkel dan kemudian mencekik leher di tokoh itu”.  Juga analisza sudut pandang Agoos Noor pada karya “TUAN” Sapardi Djoko Damono, “…. seperti dalam sajak “Tuan”, meski ia menyebutnya puisi. Mari kita kutip sajak “Tuan” itu, dan saya tulis ulang dengan gaya prosa:
Tuan
“Tuan Tuhan, bukan?” Tunggu sebentar, saya sedang keluar.
Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk fiksi mini, meski penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi.” Untuk melengkapi sajak (?) Tuan yang telah digubah topografinya oleh Agoos Noor sebagai proses telaah, saya kutip hadirkan karya SDD selengkapnya.
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar..

Sapardi Djoko Damono
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
           
            Dari sekian puisi (99 puisi) yang ada di MAIDO, secara acak saya mendapati pengaruh kuin yang kuat ada pada empat puisi yang saya kutip-hadirkan di bawah ini:
MAIDO

Selalu saja kau curigai dasiku
Biru tua atau merah jambu
Selalu saja kau cemburui singletku
Putih polos atau bergincu
Siapa sih sebenarnya kamu?

2014—halaman 45


KARENA KAMU

Karena kamu tulus menista cintaku
Aku akan hati-hati merindukanmu
Karena kamu semangat menghardikku
Aku akan kesulitan mengeja namamu
Maka besok aku akan berdiri di gerbangmu

2016—halaman 94


TERNYATA

Tak ada kata ternyata
Ketika saudara kita
Di Rohingya dinista
Kupikir kau permata
Rupanya batu semata

2016—Halaman 102

PUISI INI

Kuistigfarkan puisi ini
Kusujudkan puisi ini
Kusalatkan puisi ini
Kutalkinkan puisi ini
Sebelum menutup puisi ini

2017—halaman 105


            Membaca kumpulan puisi Ujang Nurochmat yang ada dalam buku Amtologi tunggalnya, bertajuk MAIDO—ma.i.do v Jw mencela karena tidak percaya (perbuatan atau hasil pekerjaan orang lain)—Ada kedekatan arti dengan maido dalam bahasa Sunda; Menyalahkan, menuntut yang lebih—bukan berarti, dengan pengertian tadi lantas semua isi yang dibawa teks puisi dalam buku ini tersaji dengan gaya penyampaian yang meletup-letup, tapi justru saya secara pribadi merasakan sebagai sarana auto kritik masing-masing individu baca (termasuk penulisnya sendiri). Dengan keunikan gaya pemaparan yang bisa dibilang gado-gado (ada rasa flash fiction, ada aroma mbeling dan ada kenikmatan bunyi ala kuin), saya pikir buku ini sangat layak untuk dimiliki para penyuka puisi, pemerhati puisi, dan terkusus para penyuka puisi-puisi dengan pola tuang pendek, baik sebagai bahan kajian ataupun sekedar sebagai bacaan yang menghibur, tapi tetap menyediakan ruang permenungan.
            Pada akhirnya semoga pengantar sederhana dari buku antologi tunggal MAIDO yang akan Anda miliki ini (mungkin), paling tidak bisa memberikan gambaran secara garis besar dari isinya, sehingga Anda benar-benar sudah Ikhlas saat memutuskan untuk membelinya sebagai bagian dari koleksi buku lainnya yang sudah Anda miliki.
Salam lifespirit!

Mataram 31 Maret 2017
Imron Tohari dengan ID lifespirit!—penyuka sastra, terkhusus puisi.