Esai
Pengantar Buku Antologi Puisi TARIAN MALAM:
KETIKA MALAM MENARIKAN GAIRAHNYA
Oleh: Ujang Kasarung
Koordinator KGPS
Alangkah
berbahagianya bila seorang profesional memiliki hasrat, bakat, dan sempat untuk
menulis. Aktivitas kesehariannya akan menjadi ladang subur bahan
kepenulisannya. Sementara di lain pihak, tidak sedikit penulis yang harus
menyediakan waktu, tenaga, biaya untuk mencari bahan tulisannya. Mungkin pernah
mendengar seseorang bepergian ke suatu tempat/ daerah dalam jangka waktu
tertentu. Di tempat tersebut dia mencatat, merekam, memotret, mendata sejarah,
fakta, dan peristiwa yang akan dibawa pulang jadi oleh-oleh untuk bahan
tulisannya. Di situlah saya mengatakan betapa bahagianya bagi seseorang yang
berprofesi dalam suatu bidang, tentara misalnya, yang memiliki hasrat, bakat,
dan sempat untuk menulis. Dengan pengalamannya bergulat dengan profesinya
tersebut Nugroho Notosusanto memiliki bahan tulisan yang otentik tanpa harus
menyediakan waktu, tenaga, dan biaya khusus untuk mengumpulkan bahan. Dari
tangannya lahirlah buku kumpulan cerpen Hujan Kepagian yang sangat
memilukan.

Dalam
buku antologi KGPS kali ini terhimpun sebanyak 17 guru yang masih tekun
meramaikan penulisan tahun ini. Mereka inilah yang tergolong penulis beruntung yang
memiliki tiga hal tadi, yaitu hasrat, bakat, dan sempat. Ada anggota KGPS yang
memiliki bakat/ potensi menulis puisi dengan baik, tetapi merasa tidak sempat
karena kesibukan rutinitas kerja, apalagi didapuk mengalami promosi jabatan, atau
disebabkan kewajiban dalam rumah tangga. Ada yang punya kesempatan berharga
dengan keleluasaan waktu, tetapi jika tidak berhasrat, sudah pasti tidak akan
dapat mengirimkan karyanya. Begitupun bila ada hasrat, dan sempat tetapi
pikiran buntu, merasa sulit menemukan tema, gagasan atau topik. Kondisi seperti
ini pun akan sama nasibnya, mandul karya untuk sementara. Dan yang jarang
terjadi, ada kesempatan, ada bakat, ada hasrat tetapi tidak rela berkorban.
Saya kira yang terakhir ini tidak banyak, itupun terhadang skala prioritas
saja.
Guru atau
tenaga profesional yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan pembelajaran
yang turut berperan serta dalam hajatan kali ini termasuk orang yang beruntung.
Sepatutnya bahagia karena memiliki wawasan, dan jejak yang dapat diolah,
dikemas jadi karya yang bermanfaat dalam dunia kepenulisan. Keberuntungan itu
muncul dengan syarat tiga hal tadi. Jika tidak memiliki ketiga hal itu,
sebagaimana diilustrasikan sebelumnya, jangan harap jejak rekam pengalaman jadi
materi yang dapat diolah dan dikemas jadi karya tulis. Dan tidak sedikit
pengalaman baik yang mengesankan, atau bermuatan renungan, amanat, dan nilai
kebaikan yang hadir dalam sejarah hidup seseorang, lalu melintas begitu saja,
tertimbun waktu, dan terlupakan.
Sebenarnya
ketiga hal tadi tidak perlu dipikirkan terlalu serius. Apalagi dijadikan
penyebab mampatnya saluran kreativitas. Semua dapat disiasati. Misalkan masalah
sempat. Saya anjurkan pandai-pandailah membagi waktu. Ada sebuah kalimat
motivasi yang mengatakan, Jika seseorang tenggelam dalam kesibukan kerja,
pertanda ia tidak sukses dalam pekerjaannya itu. Maksudnya, orang sukses
itu adalah orang yang efektif dalam mengelola waktu. Rasanya tidak ada orang
bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu. Dari penjelasan ini, dapat dimaknai
bahwa kesempatan, kitalah yang mengatur. Pada sebuah tayangan sosial media ada
dr. Soesmeyka Savitri, SpKJ. Mengatakan bahwa “Tidak ada waktu yang tepat
untuk menjadi penulis, kecuali, sekarang!”.
Tentang
ide, atau gagasan, pancaindera kita akan menjadi jendela dunia untuk meraup
sebanyak-banyaknya gagasan dari pengalaman, pengamatan, dan imajinasi, serta
opini. Kita ambil contoh Joko Pinurbo. Atas kepekaannya, dia berhasil
mengangkat kaleng Khong Guan jadi ide buku puisinya. Kita juga boleh menyimak
karya-karya Sapardi Djoko Damono. Dari hal sepele seperti bangkau curut di
selokan, bisa dijadikan media renungan mendalam bagi pembacanya.
Terakhir,
yang menurut saya paling bertanggung jawab terhadap tidak produktifnya
seseorang dalam menulis adalah hasrat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hasrat/has·rat/ n keinginan
(harapan) yang kuat. Berbicara keinginan yang kuat, jelas ini dipengaruhi dorongan dari dalam
dan atau dari luar. Artinya menulis tidak sekadar dikatakan ingin saja. Tanpa
ada dorongan yang kuat, hasrat yang sekadar muncul di lisan tidak akan
terwujud. Barangkali inilah permasalahan yang paling krusial di dunia literasi
negeri ini. Masih banyak orang berpotensi, berkesempatan, tetapi belum memilihi
hasrat yang kuat. Dalam situasi seperti ini, saya pikir memberi motivasi untuk
menulis adalah sikap bijaksana. KGPS telah, sedang, dan akan selalu
mendorongnya.
Hajatan menulis antologi puisi kali ini, KGPS mencoba
mengembangkan teknik menulis dengan cara menggiring peserta menulis sesuai
dengan tema. Ada lima tema yang ditawarkan yang nantinya dipilih 3 untuk
dibukukan. Kelima tema tersebut adalah Lingkungan hidup, Keragaman
budaya/tradisi di kampung halaman, Kondisi sosial saat ini, Pengalaman
inspiratif, dan Objek wisata dalam negeri yang pernah dikunjungi. Adapun
panjang puisi dibatasi maksimal 25 baris termasuk judul dan nama penulis.
Sedangkan tiap baris dipastikan tidak melebihi 50 karakter termasuk spasi.
Ketentuan ini sengaja diterapkan agar peserta mulai terbiasa memperhatikan
aturan main yang berlaku. Hasilnya, ya, namanya juga belajar, masih ada yang
belum memahami. Sedihnya lagi belum memahami memang karena belum membaca
aturannya! Ini indikasi kegiatan literasi di negara kita memang perlu
ditingkatkan.
Melihat tema-tema yang disodorkan, jelas KGPS mengharap
ada keragaman karya tanpa harus bersusah payah mencari materi. Tema-tema yang
disodorkan tidak lepas dari keseharian dan pengalaman penulis. Dan hasilnya,
sudah mulai ada penampakan kemajuan baik dari yang sederhana pemilihan tema
khusus, pemilihan judul, pemanfaatan diksi, gaya penyajian, gaya bahasa, rima,
irama, dan bahkan ada yang mencoba dengan tipografi tengah.
Kita perhatikan kutipan puisi Yoga Angelia
berikut
MEMOAR SEBUAH PESISIR
Manakah yang lebih menggetarkan
Deburan ombak yang pecah
Atau kerinduan yang membuncah?
Senjanya yang menyiratkan sebuah
pesan
Antara mengubur kenangan
Atau membangun angan?
Judul kutipan puisi tersebut buat saya cukup memesona.
Alasanya saya tidak meduga bila ada guru yang sudah memiliki gaya dalam
menentukan judul sudah memiliki batas mana judul karya ilmiah, mana judul karya
fiksi. Pesona ini baru sebatas membaca judulnya sebagai pewajahan, belum lagi
menyelami isinya. Memoar Sebuah Pesisir dan juga dua puisi lainnya,
sudah memiliki karakter sendiri. Puisi-puisi Yoga sudah memamerkan
kekayaan dalam kiprahnya menggauli karya bernas para penyair. Yoga tidak
hanya membaca, dia juga sepertinya sudah mempelajari dan menikmati puisi-puisi
yang sudah beredar di masyarakat sastra.
Peserta lain juga sudah ada beberapa yang menyadari
bila ini judul karya fiksi bukan artikel ilmiah. Kalau boleh saya sebut misal Rantangan,
Siap, Pak! Dan Donokerto, Turi. Itu contoh judul-judul yang menarik.
Bahkan Donokerto, Turi karya Daman Surachman
saya pikir sebagai karya yang sudah matang. Mari kita simak puisinya secara
utuh!
DONOKERTO, TURI
Buat: Dedi-Bandung
Jalanan sepi memanjang
berliku
aroma daun salak dan
bau tanah
mengudara bersama asap
tungku
dari rerumahan tepi
pematang
senja jatuh lebih
cepat
Waktu sore begitu tua
dan pucat
- Berilah aku sinar
agar lancar jalanku
Gerimis turun tak lama
- Makanlah salak ini,
nak
Jika rutin, mencegah
diabetes -
Di ujung jalan
perempuan ½ baya
melambai-lambaikan
tangannya
entah untuk siapa
Sleman, 2011
Silakan perhatikan subjudulnya! Puisi ini
dipersembahkan kepada Dedi di Bandung. Kalau bukan ditulis oleh penulis
berpengalaman, sepertinya analoginya akan mengarah kepada seseorang sesuai
dengan lokasi kejadian atau peristiwa. Apalagi puisi ini ternyata ditulis tahun
2011. Tentang isinya? Wah, ini puisi terasa lembut dengan kesederhanaannya.
Tidak ada benturan-benturan atau akrobat bahasa yang adigung yang dapat menebah
pembacanya. Apa yang dapat kita renungkan dari puisi dengan tifografi rata
tengah ini? Bagaimana pikiran kita saat Daman menggunakan diksi rerumahan
sebagai deskripsi ketenangan di pedusunan, dan kebun salak. Dan yang membuat
saya tercengang adalah setelah selesai membaca bait kedua
Di ujung jalan
perempuan ½ baya
melambai-lambaikan
tangannya
entah untuk siapa
Kalau kata anak sekarang mah
“Anjir! Keren kale puisinya!”. Jelas ini merupakan hasil pengamatan dan
pengalaman penulis yang diendapkan dalam perasaan lalu “diadukan” pada pikiran
untuk menciptakan sajian yang mewakili nilai dan pesan yang akan
disampaikan. Bila ingin mengkaji lebih dalam, mengapa Daman menggunakan
angka ½ bukan kata /setengah/, misalnya. Kayanya kalau dikaji di
sini perlu waktu dan tempat. Yang saya tahu Daman adalah guru Matematika.
Berbicara tentang nilai dan
pesan, ada baiknya kita mengamati gaya penulis menyampaikan nilai atau pesan
berpuisi. Mari kita simak karya Emi Priyanti berikut. Puisi ini
menyampaikan pesannya lewat kritik dengan menunjukkan perbedaan kondisi dulu
dengan sekarang.
YANG MEREKA TINGGALKAN
Sungai tempat dulu kita berenang
Kini hitam, pekat, dan bau
Sungai tempat dulu kita berendam
Kini berperahu pun tak mau
Pabrik-pabrik itu membuang limbah
Tak pernah peduli dan tak mau tahu
Pabrik-pabrik itu kini pindah
Menyebar ke berbagai daerah
Pergi mencari tempat baru
Pergi mencari korban baru
Patutkah hal seperti ini
dilakukan oleh seorang penulis (puisi)? Mengapa tidak? Selama masalahnya
faktawi, apalagi ini merupakan dampak dari keegoisan manusia berkuasa, serta
disampaikan dengan cara yang tepat. Manurut penelusuran saya, dua puisi Emi
kali ini memang bermuatan kritik terhadap kepincangan pengelolaan alam. Dia
semakin peka. Kelihatannya Emi semakin berkembang dalam memanfaatkan
media puisi sebagai alat menyampaikan nilai dan pesan. Emi sudah tidak gegabah
memuja, memuji keindahan alam. Dia sudah mulai menoleh pada lambaian alam yang
gering atau merana oleh kezoliman manusia yang didapuk sebagai makhluk paling
sempurna. Emi semakin realistis.
Memang puisi bukanlah karya
sastra yang hanya menggantungkan nasibnya pada nilai dan pesan. Suasana puisi
merupakan elemen yang menjadi sentral pengkajian. Suasana puisi dibangun oleh
pemilihan diksi, majas, irama dan lain-lain seperti yang saya sebutkan pada
bagian sebelumnya. Unsur-unsur puisi tersebut akan membentuk suasana puisi yang
acapkali dinikmati atau diapresiasi oleh pembaca dengan beragam sikap. Untuk itu, saya coba kutipkan puisi karya Daraspane
berjudul Lubuk Nabolon berikut
Ini kisah tentangmu
Ketika nyanyian merdumu
Masih terus menetes
tiada berjarak
Dari sela bebatuan yang
membawamu
Sampai ke tepian
pematang
Memberi sejumput harap
petani
Bulir-bulir tangkai
keemasan
Sampai ke lumbung di
samping perapian
Puisi ini begitu berasa
suasananya. Penulis berpihak kepada objek (Lubuk Nabolon) dengan merasakan keprihatinan
akan kisahnya saat ini. Semua itu terasa karena penulis memanfaatkan majas
personifikasi, litotes, metafora, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa majas
amat perlu dalam puisi sekaligus memastikan bahwa ini karya fiksi. Dalam puisi
ini Daraspane berhasil mengusung tema yang diajukan KGPS. Penulis sanggup
mengolah pengamatan, pengalaman dan daya imaji menjadi sebuah puisi yang
menggambarkan sebuah proses yang, lagi-lagi, dampak ulah manusia. Daraspane
sudah mulai pintar mengambil jarak antara subjek dengan objek karyanya.
Untuk membahas daya imaji
dan diksi, saya sodorkan puisi karya Rr Ari Nugrahaningsih berikut.
Perhatikan pilihan katanya. Ari jujur, bersahaja dalam merangkai kata.
Ia tidak meraut kata-kata agar terkesan mengawang-awang. Dia pilih kata seperti
apa yang dilihat, didengar, dan dirasanya. Sehingga pembaca hanyut, ikut berada
dalam suasananya.
TARIAN LEDHEK
Kisah masa lalu
Tarian Ledhek untuk
bersyukur panen tiba
Tarian penuh makna
Pesta desa luapkan rasa
bangga
Gong dipasang siapkan
iringan tarian
Dlang tak tung…dlang
tak tung
Bunyi suara tabuh
gamelan
Gendang bertalu
pertanda Ledhek meliuk memesona
Apa yang ada dalam benak
kita (pembaca) saat membaca puisi tersebut, terutama saat sampai pada larik
kedua bait kedua: dlang tak tung … dlang tak tung? Indra audial kita
akan langsung berimajinasi pada suara khas gamelan Jawa. Boleh dicari dalam
KBBI, tidak akan ditemukan kata [dlang tak tung] di sana. Bahkan dalam
kamus Boso Jowo sekalipun. Inilah keberanian Ari bersikap jujur menyampaikan
kesan indrawinya dengan memanfaatkan onomatope dengan tepat. Puisinya
berhasil menciptakan suasana ingar bingar gamelan Jawa tradisional sebagai backsound
Tari Ledhek. Jika kita lanjutkan membacanya pada bait-bait berikutnya, citra
penglihatan akan ikut diajak menyaksi. Ini dia lanjutannya
Gerakkan tangan lincah ikuti irama
Gelengkan kepala kiri dan kanan
Sampur merah melambai dilempar pakai ujung kaki
Kibaskan ke samping kiri dan kanan
Ugel lentik jemari
tangan
Lenggang-lenggok gemulai tarianmu
Suara gamelan semakin nyaring
Dlang tak tung…dlang tak tung
Gamelan bertalu
Iringi liukan tarian Ledhek sampur merah
Liukan gemulai tarian sambil lantunkan lagu merdu
Tahankan lelah demi rupiah.
Ada asumsi bila penulis ini
bukan sekadar tahu dari hasil pengamatan atau rajin baca tentang tari, melainkan
dia sepertinya telah ikut terjun mengalami pementasan tarian tersebut. Mari
kita data adakah kata khusus yang disisipkan dalam puisi tersebut? /Sampur
merah/, atau /ugel/. Kalau sekadar tahu, kayaknya sulit diterima
bila sampur merah itu dilambaikan dengan menggunakan ujung kaki. Inilah
yang saya maksud profesi bisa jadi bahan puisi yang bermutu. Dengan demikian
pembaca disuguhi suasana puisi yang kaya citraan. Pesan tersampaikan tanpa
menggurui, atau menyorong pembaca. Sebagai penyama, saya hadirkan puisi karya Ujang
Kasarung, Tarian Malam. Apakah Ujang kasarung juga patut dicurigai
memiliki pengalaman sebagai penari dalam puisi tersebut? Atau seperti malam
yang menarikan gairahnya?
TARIAN MALAM
Turun turun sintren
Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Kembange putri mahendra
Widadari temurunan
Ketika ranggap dibuka sang dalang
Gadis bergaun penari dan berkacamata hitam
Panjak siap dengan musik pengiring sejak tari dimulai
Sinden bersenandung melebur sintren beraroma mistis
Menyisipkan idiom, frasa,
klausa, ungkapan atau bahasa daerah dalam sebuah karya sastra, dibolehkan
selama tindakan itu diniatkan dan disadari manfaatnya. Biasanya ditujukan untuk
meningkatkan intensitas.
Selain daya imaji dan diksi,
struktur puisi juga dipengaruhi oleh sajak atau rima (rijm, Belanda).
Rima artinya persamaan bunyi. Banyak jenis dan macamnya. Sebagai contoh saya
kutip dari dua puisi Salimah Sahal berjudul Aku dan Kamu dan Pemulung
Kecil
Ada namamu dalam doaku
Adakah namaku dalam doamu?
Ada dirimu dalam pikiranku
Adakah diriku dalam pikiranmu?
Pada bait
puisi tersebut Salimah menyusun puisinya selain menggunakan kalimat
tanya retorik juga menggunakan anafora /ada/ dan sajak akhir dengan pola
a-b-a-b. Sedangkan dalam kutipan sajak keduanya di bawah ini, Salimah
menampilkan sajak a-a-b-b.
Tubuh kecil berlari terengah
Mengikuti jejak bunda melangkah
Karung plastik di
pundak bergelantung
Untuk rongsokan hasil memulung
Dalam kasus ini Salimah
tentu tidak ngasal dalam memilih majas disadari atau tidak. Dia sudah
melewati proses pencarian estetik. Pembaca akan sertamerta menikmati alunan
iramanya saat membaca sebelum memetik makna isi, nilai, dan pesannya. Itulah
puisi, selain isinya, ternyata cangkangnya juga sebaiknya lezat.
Berbeda dengan Salimah, Budi
Suci Nurani cenderung melukiskan apa yang ditangkap oleh pancaindera dengan
yang direspons oleh rasa dituangkan dalam deskripsi suasana yang ingin
ditayangkan. Perhatikan kutipan bait awal dari puisi BSN berikut
Bersih berseri begitu wajahmu tampak
Gending gending halus mengalun syahdu
Di antara hiruk pikuknya jaman yang ada
Tetap cantik dalam pembawaanmu
(Solo
Hadiningrat)
Terkesima mata menatapmu
Indah gemulai menusuk kalbu
Kau gerakkan tangan dengan lembut
Mengiring gamelan bertabuh
(Wayang
Orang)
BSN mengungkapkan paradoks zaman yang mungkin
merupakan keprihatinan dirinya secara individual terhadap perubahan zaman. Anak
muda tidak lagi respek terhadap budaya adiluhung negerinya yang secara nyata
tidak dimiliki bangsa lain. Maka dari itu, BSN dengan bijak mengajak
generasi muda untuk tetap mencintai dan melestarikan seni budaya bangsa di
tengah serbuan budaya asing.
Sementara penulis Expi
Yuliana Putri lebih cenderung memamerkan renungan-renungannya saat
bersenggama dengan alam. EYP memiliki channel khusus yang dapat
menikmati sentuhan lebut dan dekapan hangat alam yang baginya selalu ekspresif
mendampingi setiap dialognya. Dan hasil bercintanya EYP sajikan pada
tiga puisinya. Saya kutipkan salah satunya secara utuh
MERPATI TIDAK PERNAH INGKAR JANJI
Tiga hari di sudut kota itu
Kumenanti seberkas cahaya cerah
`ntuk mengubah hidup lebih berarti
Sebekal janji menuai harapan terang
Seindah pelangi di bukit menoreh
Cinta dan harapan…..
Ku berkhayal nanti …..
Dapat menaiki tangga kehidupan
Bagai mengapa awan yang berkejaran
Berlomba di titik kebenaran nan hakiki
Semoga rajutan itu menjadi nyata
Atas karunia yang Engkau berikan
Aamiin Ya Allah …..
Walaupun, maaf, saya
kurang puas dengan judulnya. Sebenarnya berpuisi bebas-bebas saja, sih,
selama tidak melukai SARA. Namun yang menjadi persoalan, sejak awal kita sayogyanya
berusaha untuk tidak mengunakan idiom, frasa, klausa yang
sudah basi, jenuh, dan populer. Termasuk untuk judul. Klausa Merpati
tidak pernah Ingkar janji saya yakin sudah dikenal oleh Generasi Baby
Boomers dan Generasi X yang lahir tahun 60-70-an sebagai judul film saat
Rano Karno dan Yessi Gusman masih lajang. Terlepas dari itu, saya tetap
menghargai sebagai sikap lisensi puitika. Lagipun semua penyair pun
pernah melewati fase ini. Namun tidak ada salahnya bila mencari idiom atau
klausa yang lebih segar sesuai isi puisi.
Diluar dari permasalahan
judul, puisi ini menunjukkan bahwa tahap mencapaian EYP berdialog dengan
alam. Lagi-lagi EYP sudah betah dengan gayanya yang romantis dalam
mengeksekusi setiap pengalaman. Bagi EYP semua indah, semua nikmat,
kalau ada masalah, tetap mudah, dan jika sulit, tinggal mengadu kepasa Allah.
Semoga mindset seperti ini dipertahankan sebagai senjata hidup dan
kehidupan.
Lain halnya dengan Nurhayati.
Puisi baginya adalah media bercerita, media sejarah, media catatan perjalanan,
buku harian, tempat memuji, dan berkeluh. Kita simak kutipan puisinya berikut.
KE PEKAN BARU DI MASA PANDEMI
Dua tahun kami membatasi diri
Bepergian ke luar daerah sangat dinanti
Tiba saatnya keluarga mengundang
Perhelatan pernikahan putranya
Kami dan sanak saudara menghadiri
Begitu berliku dengan syarat yang ketat
Imbas pandemi konon prokes dipatuhi
PCR bagi anak usia di bawah 12 tahun
Rapid antigen bagi orang dewasa
Kami patuh baik pergi dan pulangnya
Bagaimana? Begitu
transparannya Nurhayati menuangkan pengalamannya, sehingga terkesan
telanjang, tidak ada yang disembunyikan. Pembaca tidak membutuhkan waktu untuk
menggamit isi ceritanya karena semuanya kelihatan. Mungkin Nurhayati
lupa bahwa dalam penyajian puisi semestinya dibedakan dengan menulis prosa walaupun
sama berupa cerita. Lagi-lagi, itu hak dari gaya setiap penulis. Bagi sebagian
pembaca, bisa jadi justru yang terang-benderang seperti inilah yang dicarinya.
Sekali lagi, puisi tidak dapat dimonopoli oleh satu idealisme. Gaskeun lah!
Di sisi lain, bagi penulis
pemula kadang-kadang kebingungan ketika ditantang untuk menulis puisi dengan
tema yang ditentukan. Pemula sendiri ada tingkatannya bergantung jam
terbangnya”. Ada yang belum pernah sama sekali, ada yang sudah pernah tetapi
belum berhasil, ada yang pernah dan sudah dianggap berhasil. Bagi yang saya
sebut terakhir, saya kira sebuat tema dapat dia gali dengan berbagai macam
bahan. Saya ambilkan contoh, Sri Margawati dengan puisinya berjudul Rantangan.
Berikut cuplikannya
RANTANGAN
Mengembang senyum paras kemenangan
Menapak pasti di pematang
Rantangan menuju tetua dan kerabat
Esok hari raya hadir menyapa
Malam munggahan menggema
Kepulan wangi aroma nasi dan daging semur
Sambal kentang, tape uli juga dodol tersaji
Bakti yang muda kepada tetua
Ini salah satu contoh
kreativitas penulis ketika ditantang dengan tema tradisi atau budaya. Sri
Margawati tidak terkurung untuk mengungkapkan apa itu tradisi atau apa itu
budaya. Dia begitu menghujam langsung pada subtema yang jauh lebih spesifik
sehingga dapat mengungkapkannya dengan gamblang tradisi mengirim makanan
menyongsong Idul Fitri di malam takbiran. Sri Margawati diam-diam
berhasil beringsut dari tempatnya yang sumpek menuju dunia kreativitas. Dari
ketiga puisinya, saya berani mengatakan bila Sri Margawati sudah ajeg
dalam berkarya sastra.
Tidak jauh berbeda, ada Tri
Rejeki dalam Kebiadaban. Semoga saja tema puisi ini bukan pengalaman
pribadi. Kalau pengalaman pribadi, saya sendiri merinding merasa ngeri. Saya
seperti menonton peristiwanya dalam suasana yang samar. Keberhasilan Tri menciptakan
panggung, saya angkat topi. Ini benar-benar penulis ingin menunjukkan jalurnya
sendiri walau dalam bentuk puisi yang konvensional. Upayanya sudah tampak pada
muatan yang diusung, dan ada malah kata yang belum umum seperti kata /terkelepai/.
Adakah yang sudah akrab dengan kata tersebut?
….
Kukibaskan tangan kekuasaan dan kemurkaan
Kutantang mata liarnya seakan berkata:
“Aku lawanmu!”
Kuhampiri imbas dari kebiadaban
Tubuh mungil tanpa daya
Terkulai
Terkelepai
Menatap mengiba
Ketegarannya menghilang
Hanya tampak kepasrahan
Pasrah pada keputusan hati
Hati istri yang terzalimi
Membakar
Membara
Kan melibas keangkaramurkaan
Dengan ketegaran
Tampil beda memang
sepatutnya dipertimbangkan oleh seorang penyair. Maka penyair seperti Tri
Rejeki layak diapresiasi atas keberaniannya menampilkan karyanya yang tidak
biasa-biasa saja. Dan keberanian ini tampaknya dilakukan juga oleh Nurjanah.
Yuk, kita simak kutipan puisinya berikut ini!
Ketika aku berbincang denganmu...
Amat indah janjimu...
Dingin menjadi panas...
Dibawah teriknya matahari...
Dirimu belum hadir disaat aku belum mengenalmu...
Suatu ketika kau menghampiri aku
Untuk meminta segelas air minum...
Sampai aku mengambil gelas yang berisi air
Untuk memberikan minum...
Apa yang berbeda kutipan
dari puisi Candamu Menjadi Rindu tersebut? Ya, penggunaan tanda tiga
titik (…) secara beruntun pada hampir setiap baris. Dalam hal ini yang sangat
mengerti maksudnya mungkin hanya penulis. Kita hanya mereka-reka semata. Itulah
hebatnya puisi, bebas berimajinasi. Soal keindahan, kita serahkan kepada
pembaca.
Kebebasan berpuisi, selain,
bentuk, dan gaya, bebas pula memilih kata (diksi). Mau bukti? Kita perhatikan
kutipan puisi Titin Gumiati yang berjudul Sebenarnya hanya Panggung
Sandiwara berikut
Kulihat arunika telah
hadir
Pertanda dunia akan
disibukan
Disibukkan dengan
manusia-manusia pengejar dunia
Dunia yang fana ini
….
Sejak arunika hadir
Hingga muncul swastamita
Manusia tak lelah
mengejar dunia
Hingga azal
menjemputnya
Sengaja saya kutipkan bait
pertama dan terakhir agar kita bisa melihat dua kata yang dipilih Titin dalam
puisinya ini jelas berbeda. Ya, betul kata /arunika/ dan /swastamita/
menarik perhatian pembaca karena ketidakumumannya. Inilah yang dimaksud dengan
kebebasan memilih kata, bahkan kata yang diserap dari bahasa daerah atau asing
sekalipun. Itulah gaya Titin dalam berpuisi.
Pemilihan kata dalam puisi
ada yang didasari untuk mencari kesamaan rima (rijm) sehingga diperoleh
keindahan bunyi. Kiat ini saya kira paling tampak pada puisi-puisi Suprayitno.
Dua puisinya yang disertakan dalam antologi kali ini seperti pada galibnya Bang
Yitno –demikian saya memanggil – akan menampilkan puisi-puisi kaya
repetisi. Majas repetisi memberi kekuatan pada makna yang hendak disampaikan
penulis. Mari kita cermati puisi berjudul Siap, Pak! Yang dikutip utuh
di bawah ini
Dering di pagi hari
Ya, Pak!
Siap, Pak!
Dering di siang hari
Ya, Pak!
Siap, Pak.
Dering di sore hari
Ya, Pak!
Siap, Pak!
Dering di malam hari
Baik, Pak!
Siap, Pak!
Dering di tengah larut
Baik, Pak!
Siap, Pak!
Takkah kau sadari
sebuah kedzoliman telah
terjadi?
Keheningan hati
terunggah paksa
Kejernihan pikir
terseret dera
Karena sebuah tirani!
Kemerdekaan mulai
punah,
Kemandirian mulai
jengah.
Ayo, sadarlah!
Frasa Ya,
Pak! Dan Siap, Pak! Yang bertanda seru (!) menuntun pembaca pada
sebuah suasana tertindas oleh instruksi yang disampaikan melalui telepon (dering)
tidak kenal waktu atas nama jabatan struktural. Bentuk puisi yang melibatkan
suasana batin seperti ini umumnya dimanfaatkan oleh penulis yang mengalami
peristiwa secara langsung. Semoga saja tidak demikian karena bisa jadi hasil
pengamatan terhadap midlemanager yang ada di sekitarnya. Wallohu alam.
Sebenarnya penulis yang
identik dengan gaya repetisi bukan hanya Suprayitno, karena ada seorang
penulis lagi yakni Sri Masrifah. Namun kali ini saya amati puisinya amat longgar. Sri
mulai berani mengendorkan ikatan sajaknya, bahkan kepadatan klausa-klausa pada
setiap larik dan baitnya. Satu hal yang masih dia pegang teguh yakni
keterikatan dengan profesinya. Saya yakin hal itu karena kebanggaannya sebagai
guru bukan tidak punya pilihan tema lain. Ini dia kutipan puisinya.
Profesi yang menyala
terang
Tak kenal padam diterpa
topan
Terus belajar
tingkatkan kompetensi diri
Kekurangan diri dibalut
dengan belajar
Kekurang diri dipoles
dengan membaca
Buku dan internet hiasan
melekat di hadapannya
Demi ilmu, takkan malu
belajar pada muridnya
Profesi yang kadang
dipandang sebelah mata
Namun tak luntur, tak
mundur selangkah pun
Kutipan puisi tersebut
dipetik dari puisi berjudul Guru, Profesi Pilihanmu? Untung Sri masih
sadar bahwa ini adalah karya fiksi sehingga masih memanfaatkan klitika /-mu/
dan tanda tanya (?). Jika tidak, akan semakin terasa kakunya sebagai karya
nonfiksi. Dari kutipan ini saja, sangat meyakinkan bila penulis sangat
mencintai profesinya sebagai guru, pendidik, dan pengajar. Sikap yang patut
diteladani oleh generasi muda.
Berikut ini sosok guru muda
yang sudah kelihatan “jendela”-nya. Dia sudah sanggup menggasak wilayah sosial
dari sudut pandang orang yang punya hati. Kerennya lagi, dia tidak melupakan di
mana bumi dipijak. Dia sadar sedang berdiri di bumi puisi. Kata demi kata
dirangkai tetap puitis tanpa kehilangan makna dari sebuah kritik sosial yang
patut direnungkan. Dialah Vina Fitriyani. Jika rajin mengasah diri
dengan terus mengikuti panggung percaturan sastra umumnya, puisi khususnya,
sosok Vina besar kemungkinan menjadi guru yang nyastra. Untuk lebih jelasnya
mari kita simak kutipan puisinya dari puisi berjudul Sosok Puan.
….
Puan, layak untuk
dilindungi
Tetap saja ada sosok
yang tidak tahu diri
Dengan seenaknya
mengobras harga diri
Hingga puas, lalu puan
trauma dan mati
Puan, Puan, Puan, lalu
patriaki
Penuh lubang hitam,
kemudian terabaikan
Puan perawan atau tidak
perawan, mari lawan
Yang merampas hak
seorang menjadi puan
Bagaimana? Berasa gahar
suasananya, dan berasa pula gairah melawan terhadap kesewenang-wenangan gender
tuan yang menjajah puan. Puisi perlawanan seperti ini banyak memang tetapi
tidak ditulis oleh penyair wanita muda yang lembut, pemalu, dan ramah. Inilah
yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca bahwa Vina sosok wanita seperti
itu pada suatu saat dia melepas kepribadiannya dan tampil sebagai /aku/ naratif
yang lain. Kita perhatikan juga puisi
maskulinnya tentang pecandu rokok. Bila terus diasah dengan pengalaman, maka
besar kemungkinan Vina akan semakin menam-pakkan jati dirinya di kancah
sastra dengan syarat dia tetap gairah dalam menulis. Kebetulan dia punya bekal
waktu yang cukup panjang jika dilihat dari umur.
Dua penulis berikutnya yang
kebetulan bernama depan sama yaitu Sri Purwanti dan Sri Tresnowati
membimbing pembaca untuk terbuai pada reportase indrawi, Keduanya jujur tentang
alam yang dicintainya. Bacalah kutipan puisi mereka berikut
Dari balik kaca jendela
Dan rimbun hijau
dedaunan
Tersimpan berjuta
kenangan indah
Pada taman teduh penuh
cahaya
Meneduhi anak-anak
zaman
Menyemai benih-benih
harapan
(Sri Purwanti: Rindu)
Kawasan Kali Gua dengan
tempat indahnya
Embun pagi menyapaku
Kabut tebal
menyelImuti
mentari kadang enggan
menyapa
(Sri Tresnowati: Kali Gua)
Itulah ulasan saya selaku
koordinator terhadap puisi-puisi yang hadir di sini. Tiada kesempurnaan bagi
manusia karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Di akhir kalam ini saya ucapkan
terima kasih atas kerja sama kita, mohon maaf atas segala kekurangan, dan selamat
atas terbitnya buku antologi puisi bersama keenam ini dengan judul Tarian
Malam. Semoga kita kembali kompak dalam mengasah hasrta dan mengasuh
sastra pada antologi berikutnya. Salam puisi.
Jakarta, 11 Maret 2023
Ujang Kasarung