MASIH SAKTIKAH PANCASILAKU?
oleh: U. Nurochmat
Bulan Oktober
merupakan salah satu bulan yang monumental bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah
tanggal 1 Oktober. Pada tanggal tersebut bangsa Indonesia memeringatinya sebagai
Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian
pancasila terinspirasi oleh peristiwa Penyerbuan pasukan Kostrad ke tempat
pembantaian para jenderal TNI AD oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Lubang
Buaya. Para Jenderal yang dituduh membentuk Dewan Jenderal dan akan melakukan
kudeta itu dibantai lalu dimasukkan ke dalam lubang sumur pada 30 September
1965 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Peristiwa G 30 S? PKI. Sementara
tuduhan pihak TNI AD, PKI berjuang menerapkan komunisme di Tanah Air dan
berusaha menumpas pihak-pihak yang loyal terhadap Pancasila. Sejak itulah
setiap tanggal 1 Oktober Bangsa Indonesia
memeringatinya sebagai hari Kesaktian Pancasila. Bahkan pada era pemerintahan
Orde Baru, peringatan Hari Kesaktian pancasila sangat meriah. Media massa menayangkan film
dokumenter tentang peristiwa G30S/PKI.
 |
Add caption |
Namun seiring
dengan perkembangan politik di Tanah Air, peringatan Hari Kesaktian Pancasila
itu tidak lagi semeriah dulu. Bahkan anak-anak sekolah sekarang banyak yang
tidak mengetahui bila 1 Oktober itu merupakan hari bersejarah bagi bangsanya.
Sementara generasi pendahulunya cenderung masa bodoh terhadap momen tersebut.
Kondisi seperti ini bisa melahirkan beragam sikap.
Ada yang menganggap sebagai sebuah kemajuan
hasil perjuangan para reformis, terutama pihak-pihak yang merasa dirugikan
dengan isu G30S/PKI.
Ada
juga yang merasa prihatin karena hasil
perjuangannya dahulu – saat turut menumpas PKI – tidak dihargai bangsanya.
Sikap berbeda
seperti itu tentu saja sah-sah saja, karena selain hak asasi, juga interes yang
melandasinya berbeda-beda. Yang perlu kita renungkan justru Kesaktian
Pancasilanya itu. Masih saktikah Pancasila saat ini? Saat Bangsa Indonesia
sedang “sakit” didera penyakit korupsi akut, adu kedigdayaan para pejabat untuk
mempertahankan atau bahkan memaksakan pandangan yang menurutnya paling benar,
adu ketangkasan bersilat lidah dalam upaya mengamankan golongan dan organisasi,
membudayanya tindakan koruptif, lemahnya fungsi hukum, timpangnya keadilan
sosial, terpuruknya perekonomian, ruwetnya penyelenggaraan pemerintahan, atau
anarkis dan beringasnya masyarakat.
Masalah-masalah
tersebut bukan lagi berita baru dan anyar. Setiap hari masyarakat membaca,
mendengar, dan mengunduh carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ya,
bangsa yang bernegara berlandaskan Pancasila.
Sejak Era
Reformasi lahir, Bangsa Indonesia
berharap banyak terhadap perubahan tatanan negeri ini. Bangsa Indonesia sudah
terlalu lelah dijajah bangsa asing, dan dibohongi dan dibebani para
pemimpinnya. Namun kenyataannya pemerintahan era Reformasi ini tidak ada
bedanya dengan era Orde Baru kalau tidak mau dikatakan lebih parah.
Penyelenggaraan
berbangsa dan bernegara Indonesia
tidak lagi berasas Pancasila. Etika moral para pemimpin bangsa sudah tidak tahu
malu, tidak takut hukum, bahwan terhadap Tuhan pun setengah hati (meminjam
istilah Cak Nun). Mereka berpoya-poya janji saat pemilihan, namun begitu hemat
pada saat melaksanakan janji-janjinya. Akibatnya hampir setiap sektor yang
dibebankan pada kas negara 50% dana yang disediakan dari hasil pajak mengalir
pada rekening-rekening mereka. Koruptor sudah membudaya dari para langitan
hingga akar rumput. Para pejabat sibuk
mengatur retorika untuk mengamankan golongan atau organisasinya dengan cara
menuduh orang lain. Lalu di mana pandangan hidup pancasila dalam kasus-kasus
penyelewengan uang negara? Bila demikian, siapakah yang patut diteladani oleh
bangsa yang haus figur teladan ini? Rasanya tidak ada lagi.
Sistem
perekonomian jelas-jelas menggunakan pasar bebas ala negara sekuler. Bangsa Indonesia yang
besar ini hanya jadi konsumen. Lemah tak berdaya. Sungguh ironis, negara
agraris, negara maritim, harus blingsatan karena harga cabe rawit naik, impor
kedelai justru dari negara industri – AS, bahkan ada pemikiran untuk mengimpor
garam. Apakah yang terjadi pada negeri ini? Di mana kesaktiannya
Pancasila? Jika perekonomian begara ini
mudah terombang-ambing dan mudah digertak. Padahal sejak dulu bangsa Indonesia
sudah memiliki sistem perekonomian yaitu sistem koperasi.
Dalam tatanan
bermasyarakat, ternyata bangsa Indonesia
saat ini sangat memrihatinkan. Jangankan berbeda pulau atau provinsi, dalam
satu wilayah yang hanya terpisahkan rel kereta api saja, sudah berpotensi untuk
perang kampung. Sekolah-sekolah yang hanya berbeda nomor tidak lagi memiliki
rasa kasih sayang dan rasa kekeluargaan sebagai sesama pelajar. Bangsa ini
menjadi bangsa vandal, beringas, anarkis. Tidak segan-segan mereka akan
menggunakan apa saja baik itu klub sepakbola atau perkumpulan agama. Atribut
hanya jadi alat gagah-gagahan. Bangsa Indonesia sudah menjurus menjadi
bangsa yang barbar, suka main hakim sendiri. Lupa olah rasa, olah hati, olah
pikir dan olah iman. Tipikal seperti ini jangan harap mengamalkan Pancasila, memahami
atau mengerti pun perlu dipertanyakan.
Itulah yang
terjadi saat ini. Pancasila sudah kehilangan kesaktiannya. Karena Pancasila
tidak lagi dipersonifikasikan dalam prilaku kehidupan bangsa Indonesia baik
dalam berbangsa dan bernegara. Jika demikian, siapakah yang salah bila
Pancasila tidak lagi mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu perlu ada
perenungan dan kesadaran kembali pada kesaktian Pancasila.*) = NUR