ANEKDOT
Anekdot adalah cerita singkat berdasarkan pengalaman pribadi
yang terkesan lucu. Walaupun lucu, anekdot tidak ditujukan untuk lelucon karena
di dalamnya ada tersirat atau tersurat menyampaikan sebuah renungan tentang
kebenaran sebuah realita.
Struktur
anekdot meliputi:
1.
Realita, abstraksi: adalah gambaran umum yang dapat diterima kebenarannya sebagai paragraf
pengantar pada masalah.
2.
Pengenalan, orientasi: adalah latar belakang peristiwa.
3.
Konflik, krisis: adalah permasalahan yang terjadi yang dialami tokoh cerita, biasanya
disertai percakapan agar lebih hidup.
4.
Reaksi, resolusi: adalah bagian cerita yang berupa dampak dari konflik atau krisis.
5.
Koda: adalah
simpulan atau penguatan bisa tersirat atau tersurat berisi pesan yang ingin
disampaikan.
Contoh:
ULANGAN IPA
Mencontek bagi beberapa siswa sudah tidak lagi
dianggap prilaku yang tidak wajar. Mereka umumnya sudah menyiapkan contekan
dengan modus yang tidak dapat dideteksi oleh guru atau pengawas ruang. Prilaku curang ini tentu saja sering terjadi
di sekitar kita, khususnya dalam dunia pendidikan. Seperti yang saya alami
beberapa tahun yang lalu.
![]() |
Anekdot itu indah |
Pada suatu hari saat ulangan IPA, saya sudah sejak
malam menyiapkan contekan pada sehelai kertas dengan tulisan yang sekecil
mungkin agar dalam kertas sedikit dapat memuat informasi sebanyak mungkin.
Contekan itu saya selipkan pada tali jam tangan yang saya pinjam dari Ayah.
Maklum saya tidak pernah pakai jam tangan. Ulangan pun berlangsung.
Sepuluh menit pertama kelas hening, seluruh siswa
terpaku pada naskah soal. Namun pada menit-menit berikutnya banyak siswa yang
mulai gelisah karena soal yang mudah sudah selesai dikerjakan. Itupun hanya
beberapa soal saja. Sisanya benar-benar buntu. Maka akal curang saya mulai
bekerja. Saya perhatikan pengawas duduk di depan dengan menahan kantuk. Ini
kesempatan! Pikir saya. Lalu dibukanya dengan hati-hati “bekal” yang saya
selipkan pada tali jam tangan. Secarik kertas sudah di genggaman. Lalu kubuka.
Binggo! Aku tersenyum melihat tulisan yang diperlukan ada pada kertas tersebut.
Bajuku ada yang narik dari belakang. Ini pasti si
Rukman minta jawaban.
“Sebentar!” bisikku sambil terus membaca contekan.
Tak lama terasa bahuku dijawil dari belakang. Rupanya
si Rukman tidak sabaran.
“Nih, kamu baca sendiri!” bisik saya sambil mengulurkan
tangan ke belakang secara perlahan agar tidak menarik perhatian pengawas.
Lalu sebuah tangan menyambut uluran tangan saya dari
belakang. Tetapi yang dipegang bukan kertas contekannya, melainkan pergelangan
tangan. Saya kaget, lalu kutoleh.
Oh, My God …
sebuah wajah dingin berkacamata menatap tajam tidak jauh dari ubun-ubun saya.
Rupanya pengawas tanpa setahu saya sudah berdiri di belakang saya. Bisa jadi
sejak tadi. Saya tidak perlu menceritakan sanksi apa yang saya terima. Pokoknya
saya saat itu dianggap batal ulangan. Karuan saja, saya ditertawakan
teman-teman sekelas. Sungguh betapa malunya saya.
Sejak kejadian itu saya benar-benar kapok melakukan
kecurangan seperti itu. Memang, selain prilaku itu merupakan perbuatan curang,
dan sama saja dengan membodohi diri sendiri, juga perbuatan itu termasuk dosa
di mata Tuhan.
Jakarta, 10 November 2014
U. Nurochmat
U. Nurochmat