MAIDO YANG
BUKAN MAIDO
Sebuah Pengantar Buku Ujang Kasarung
Puisi
merupakan media . serta sarana komunikasi untuk melahirkan
pemikiran-pemikiran baru (kebaharuan pikir/new
opinion) atas olah rasa, olah batin,
atau olah laku kehidupan, baik itu merupakan suatu hasil dari lelaku
langsung maupun dari apa yang ditangkap oleh panca indra dari lingkungan
sekitar—sensoris (diluar diri) yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam
upayanya memberi nilai positip di masa-masa selanjutnya”.
Banyak
cara yang dapat dilakukan seorang penulis menyampaikan buah pemikirannya atas
suatu permasalahan yang ada disekelilingnya, salah satunya melalui media puisi.
Namun buru-buru saya katakan, bukan hal mudah menyampaikan buah pemikiran
melalui media puisi agar maksud dan tujuan dari penulis bisa dipahami oleh
pembaca, mengingat kecenderungan bahasa puisi yang bersifat sangat personal
serta cenderung dengan bahasa kias.

Disadari
atau tidak, setiap orang yang menulis puisi pada hakekatnya tengah digelisahkan
oleh sesuatu yang mengusik sisi manusiawinya. Atau mudahnya, tengah dihadapkan
pada suatu masalah, baik itu yang menyangkut kehidupannya secara pribadi atau
yang menyangkut persoalan sosial budaya di lingkungan sekitarnya, yang bahkan
mungkin tidak ada sangkutpautnya secara langsung dengan dirinya secara pribadi.
Dalam
suatu interaksi di media face book, 16
februari 2017, akun dengan nama Man Atek menulis dalam salah satu kotak
komentar postungan saya terkait apakah puisi itu identik dengan adanya suatu
masalah dalam kehidupan?, dia menulis seperti yang saya kutip-hadirkan, sebagai
berikut: "Pada dasarnya apapun
karya, sejatinya lahir tersebab adanya masalah. dan karya adalah salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah. Termasuk puisi. ketidakpuasan adalah bukti
adanya masalah"
Saya
pikir pernyataan Man Atek tersebut, jika dikaitkan dengan judul buku Antologi
tunggal yang ditulis Ujang Nurochmat, sangatlah tepat—Buku antologi tunggal
puisi dengan pola tuang lima baris, yang diberi tajuk “MAIDO”, terdiri dari 107
halaman dan memuat 99 puisi satu bait lima baris, yang dalam masa angkatan
pujangga baru dikenal dengan istilah Kuin, hanya saja pola kuin yang popular
pada waktu itu (dikisaran tahun 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). masih kental pengaruh angkatan pujangga lama serta angkatan 1920-nya Moh
Yamin, yang masih belum total terbebas dengan permainan bunyi rima akhir, yang
kecenderungan masih terpengaruh rima akhir pola tuang syair [aaaaa]), sementara
dalam “MAIDO”, Ujang Kasarung justru sebagian besar dalam “MAIDO” melepaskannya dari keterikatan rima akhir, dan
ini menjadi kian menarik saat gaya pengungkapannya yang sudah terbebas dari
rima akhir tadi, dipaparkan dengan gaya bercerita yang tidak jarang disisipi
kalimat tanya yang sungguh menggeliti. Ada
beberapa puisi yang tergabung dalam antologinya ini yang mengingatkan saya dengan gaya ungkap
flashfiction, juga puisi mbeling. Bisa dibaca pada beberapa puisinya yang saya
tampilhadirkan di bawah ini:
MENGUNTUN PENGETAHUAN
Murid-muridku berdzikir
Menguntun pengetahuan
Malam mereka bermimpi
Jadi gunung pagi hari
“Kamu
siapa?” tanyanya padaku.
2013 – Halaman 40
Jika diperhatikan dengan seksama puisi
di atas, Ujang Nurochmat yang aku lirik dengan gaya bertutur untuk menghidupkan
gambaran di imaji hayatan pembaca, menyampaikan amanat, juga pesan moral akan
kian turunnya nilai-nilai moralitas generasi muda dewasa ini, sangat
menggelitik dengan satu larik eksekusi bernada tanya yang terasa sekali
kembelingannya “Kamu siapa?”. Kalimat
tanya ini saat saya ajak kembali merambat ke larik-larik atas sebelumnya,
serupa pisau bermata dua, satu sisi menyanyat keakuan aku lirik yang dalam
kontek puisi di atas didudukan sebagai sosok panutan/guru yang semestinya
selalu diturut dan digugu, dan satu sisinya lagi menyanyat keakuan orang kedua,
ketiga, keempat dan seterusnya dalam konteks kedudukannya sebagai murid yang
semestinya tidak melupakan asal muasal dia menjadi—semacam peribahasa kacang
yang lupa akan kulitnya.
Pemaparan dengan gaya bahasa ungkap,
seperti yang sering dijumpai dalam karya-karya fiksi mini serta puisi mbeling, yang
lebih menitik beratkan pada pesan yang kuat untuk menghadirkan gema di imaji
hayatan pembaca, yang bahkan Ujang Nurochmat sediri (mungkin) saat menulis
puisi puisi lima larik yang diberi judul //SELOKAN//
dan //JENAZAH MENCARI KUBUR//,
secara emosi demikian terbawa masuk ke dalam dunia imajinya. Akan tetapi dalam
dua puisinya ini, jejak-jejak kuin masih bisa dirasakan dengan adanya impresi
kuat permainan bunyi /u/ dan /i/ membangun citraan atau gambaran visual menjadi
tebal dan kuat.
SELOKAN
Selokan di samping rumahku
Hampir setiap hari mengawasiku
Tatapannya waspada dan curiga
Apakah gara-gara kebiasaanku
Buang hajat di situ?
2010—Halaman 26
JENAZAH MENCARI KUBUR
Kuburan sudah digali
Jenazah ternyata masih mencari
Hingga kafannya hanyut di kali
“Tolonglah aku!”
Tak ada seorang pun yang peduli
2014—Halaman 40
Secara tekstual, dua puisi di atas
yang dituang dalam lima larik satu bait, masih bisa ditengarai keterpengaruhan
Ujang Nurochmat dengan puisi era pujangga baru yang dikenal dengan kuin,
walaupun secara rima akhir aaaa, yang merupakan salah satu ciri utama kuin di
era pujangga baru tersebut, belum sepenuhnya terpenuhi dengan sempurna. Namun
secara permainan bunyi dalam membangun ekspresi yang kuat seperti halnya yang
dipekerjakan dalam kuinnya para penulis di era pujangga baru, saya pandang
Ujang Nurochmat dalam konteks ini telah berhasil, sehingga makna dan suasana
yang ingin ditonjolkan sangat kuat tertampakkan. Dominasi bunyi vokal /u/ dan
vokal /i/ yang mengisi hampir di tiap larik, menghadirkan kesan serta suasana
sedih yang demikian dalam.
Kalau dua puisi di atas masih cukup
kuat jejak ungkap ala kuin-nya pujangga lama, kentalnya unsur permainan bunyi
dan rima, walaupun dari sudut pandang yang lainnya secara gaya ungkap juga
kental aroma fiksi mini. Namun saya berpikir komposisinya masih berimbang jika
diperbandingkan dengan tiga puisinya yang diberi judul “AYAH1”, “BULAN
PUCAT”. dan “:BATIK” yang saya ambil secara acak dari buku ini
juga, lebih dominan gaya pemaparan ala fiksi mini daripada gaya ungkap kuin
(kecuali pola lima larik satu baitnya).
AYAH 1
“Maaf, Dik … Ibu ada?”
“Bapak siapa?”
“Aku malaikat!”
“Masak malaikat dekil begitu?”
“Kalau begitu, aku ayahmu!”
2014—Halaman 46
“Bapak siapa?”
“Aku malaikat!”
“Masak malaikat dekil begitu?”
“Kalau begitu, aku ayahmu!”
2014—Halaman 46
BULAN PUCAT
“Ronda, Pak?”
“Eh, Iya, Neng. Mau kemana?”
“Ke kuburan.
Mari!”
“Silakan, hati-hati, di sana banyak berandalan!”
Bulan pucat mengintip dari balik mug.
Bulan pucat mengintip dari balik mug.
2014—Halaman 54
BATIK
Sepulang dari Yogya, kubawa sehelai
batik
Sebagai oleh-oleh untukmu
Namun saat tiba di rumah, aku bingung
Ternyata kau telah menjelma
Jadi motif pada batik.
2015—Halaman 61
Dalam tiga puisi di atas
yang saya ambil secara acak dari buku MAIDO, saya justru kehilangan ciri khas
puisi kuin, selain lima larik dalam satu baitnya. Saya berpikir karya puisi di
atas lebih condong ke pola tuang cerita mini atau yang lebih popular dengan
istilah flash fiction. Perhatikan unsur-unsur dasar pembentuknya, seperti
penokohan dan cara penulis menghadirkan konflik, serta memberikan nilai gema
dalam eksekusi larik akhirnya. Misalkan dalam puisi (?) //AYAH 1//, kemenonjolan tokoh ayah tampak jelas di sana, dan
penciptaan karakter ayah yang sering tidak memberi contoh dengan baik, terbaca
jelas dari konflik yang dibangun—perhatikan diksi /malaikat/ yang dibenturtautkan
dengan diksi /dekil/. Akan dapat dengan mudah mengarahkan pembaca untuk meraba
lebih dalam ke arah mana pesan dan amanat puisi (?) di atas ingin dilesatkan.
[sengaja saya tulis (?), sebab ini masuk
katagori puisi atau cerita mini—Dalam konteks uni Agoos Noor secara tersirat
berpandangan bahwa fiksi mini memang bisa juga berbentuk puisi]. Terlepas dari itu semua yang pasti
saya sangat menikmati pesan amanat yang kuat yang dihadirkannya. Memang, jika
mengacu pada pemikiran Agoos Noor tentang flash fiction, tiga puisi di atas
masuk dalam pola tuang flash fiction, terutama yang berjudul //AYAH 1// dan
//BATIK//, yang secara gaya ungkap mengingatkan karya Sapardi Djoko Damono
“TUAN”, dan karya Joko Pinurbo “PENJAHAT BERDASI” yang pernah dikupas sekilas
oleh Agoos Noor: “ …. Berikut ini adalah karya Joko
Pinurbo, yang “resminya” oleh penulisnya sendiri, disebut puisi. Tapi, menurut
saya, ia bisa disebut fiksi mini:
Penjahat Berdasi
Ia mati dicekik
dasinya sendiri.
Dalam karya itu, kita menemukan bayangan tokoh, yakni “si penjahat
berdasi”. Di sana suatu konflik yang membuat si tokoh itu akhirnya mati secara
mengerikan: dicekik oleh dasinya sendiri. Perhatikan kata “dicekik” dan bukan
“tercekik”, misalnya. Dalam kata “dicekik” itulah, kita menemukan unsur plot
arau alur: bagaimana suatu hari dasi itu berubah seperti tangan hitam dan kasar
yan jengkel dan kemudian mencekik leher di tokoh itu”. Juga analisza sudut pandang Agoos
Noor pada karya “TUAN” Sapardi Djoko Damono, “…. seperti dalam sajak “Tuan”,
meski ia menyebutnya puisi. Mari kita kutip sajak “Tuan” itu, dan saya tulis
ulang dengan gaya prosa:
Tuan
“Tuan Tuhan, bukan?” Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.
Tidak bisa tidak, itu adalah bentuk
fiksi mini, meski penulisnya sendiri menyebutnya sebagai puisi.” Untuk
melengkapi sajak (?) Tuan yang telah digubah topografinya oleh Agoos Noor
sebagai proses telaah, saya kutip hadirkan karya SDD selengkapnya.
TUAN
Tuan
Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar..
saya sedang ke luar..
Sapardi
Djoko Damono
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Dari
sekian puisi (99 puisi) yang ada di MAIDO, secara acak saya mendapati pengaruh
kuin yang kuat ada pada empat puisi yang saya kutip-hadirkan di bawah ini:
MAIDO
Selalu saja kau curigai dasiku
Biru tua atau merah jambu
Selalu saja kau cemburui singletku
Putih polos atau bergincu
Siapa sih sebenarnya kamu?
2014—halaman 45
KARENA KAMU
Karena kamu tulus menista cintaku
Aku akan hati-hati merindukanmu
Karena kamu semangat menghardikku
Aku akan kesulitan mengeja namamu
Maka besok aku akan berdiri di gerbangmu
2016—halaman 94
TERNYATA
Tak ada kata ternyata
Ketika saudara kita
Di Rohingya dinista
Kupikir kau permata
Rupanya batu semata
2016—Halaman 102
PUISI INI
Kuistigfarkan puisi ini
Kusujudkan puisi ini
Kusalatkan puisi ini
Kutalkinkan puisi ini
Sebelum menutup puisi ini
2017—halaman 105
Membaca
kumpulan puisi Ujang Nurochmat yang ada dalam buku Amtologi tunggalnya,
bertajuk MAIDO—ma.i.do v Jw mencela
karena tidak percaya (perbuatan atau hasil pekerjaan orang lain)—Ada kedekatan
arti dengan maido dalam bahasa Sunda; Menyalahkan,
menuntut yang lebih—bukan berarti, dengan pengertian tadi lantas semua isi yang
dibawa teks puisi dalam buku ini tersaji dengan gaya penyampaian yang
meletup-letup, tapi justru saya secara pribadi merasakan sebagai sarana auto
kritik masing-masing individu baca (termasuk penulisnya sendiri). Dengan
keunikan gaya pemaparan yang bisa dibilang gado-gado (ada rasa flash fiction,
ada aroma mbeling dan ada kenikmatan bunyi ala kuin), saya pikir buku ini
sangat layak untuk dimiliki para penyuka puisi, pemerhati puisi, dan terkusus para
penyuka puisi-puisi dengan pola tuang pendek, baik sebagai bahan kajian ataupun
sekedar sebagai bacaan yang menghibur, tapi tetap menyediakan ruang
permenungan.
Pada akhirnya semoga pengantar sederhana dari buku
antologi tunggal MAIDO yang akan Anda miliki ini (mungkin), paling tidak bisa
memberikan gambaran secara garis besar dari isinya, sehingga Anda benar-benar
sudah Ikhlas saat memutuskan untuk membelinya sebagai bagian dari koleksi buku
lainnya yang sudah Anda miliki.
Salam lifespirit!
Mataram 31 Maret 2017
Imron Tohari dengan ID
lifespirit!—penyuka sastra, terkhusus puisi.