JALAN BUKANAGARA MEMANG PERLU DIBUKA OLEH NEGARA
Waktu saya masih kecil, saya suka mendengarkan riwayat
perjuangan almarhum Bapak yang memang tentara. Tentang perjuangannya di Tasikmalaya,
Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Ketika saya tanya bagaimana Bapak bisa
bertugas di Subang Selatan, juga ia ceritakan. Saya tanyakan ini karena Bapak
orang Banten. Salah satu kisahnya tentang peperangan di Bukanagara. Seru dan
haru. Semoga saja tidak terjadi lagi. Saya juga mendengar betapa rimbanya hutan
di sana. Orang Sunda mengatakan leuweung
geledegan. Selain rasa takut akan mistis yang mungkin sengaja dibubui bapak
dalam ceritanya, saya penasaran ingin tahu seperti apa Bukanagara. Itu sekitar
tahun 1970. Ayah wanti-wanti agar saya tidak nekat pergi ke sana. Tentu saja
saya mematuhi larangan itu, bukan karena takut di jalan yang hutan banyak
harimau dan sebagainya, karena waktu itu, generasi saya, kelas 6 SD sudah berani
pergi jauh, tetapi amarah Bapak memang menyeramkan.
Dan kini setelah hampir 50 tahun, ingat 50 tahun, saya
mencoba pergi ke sana. Ternyata masih banyak yang melarang, hutannya angker,
jalannya hancur, tidak ada destinasi yang menarik menjadi alasan mereka
melarang. Tetapi saya tetap setia pada niat. Maka sehabis sholat Subuh, kami:
saya, istri, anak sulung, sepupu (orang Kasomalang) dan sopir (Mas Agus)
berangkatlah dari arah Cisalak. Begitu lepas jalan raya, masuk jalan kecil,
kami sudah disambut lahan kuburan yang cukup luas. Jannya mulus sepanjang
kuburan, namun selepas itu … Ternyata rusak parah. Suasana hutan sudah mulai
terasa. Kami mematikan AC, dan membuka jendela kendaraan. Kesejukan hutan yang
mulai menggeliat disapa mentari yang mengintip di celah bukit menyapa ke dalam
kabin. Sepanjang jalan tak henti-hentinya kami mengagumi pepohonan yang tinggi
besar menjulang. Terbayang umurnya. Sayang ada beberapa sampah plastik
peninggalan para pelintas yang kurang mencintai alam. Sesekali kami berhenti untuk
memotret keindahan, dan juga selfi. Mas Agus mengeluhkan jalan, karena ia tidak
menduga bila di zaman saiki di Pulau
Jawa masih ada jalan seperti ini. Sesekali gardan atau body mobil menghantam
batu atau bergesekan dengan jalan saat ban masuk kubangan atau lubang.
Rasa ingin pernah menapakkan kaki di tanah salah satu tempat
Bapak berjuang, mengalahkan ketidaknyamanan badan yang terguncang. Sepanjang
jalan hanya dua kali berpapasan dengan mobil lain dan dua kali dengan motor.
Sepanjang jalur ini tentu selain udara sejuk, kami juga menikmati orkestra
belantara dengan suara burung-burung hutan yang menyambut pagi. Gumpalan tanah
bekas longsor menyisakan lumpur di jalan. Untungnya bebatuan sepanjang jalan
membantu ban kendaraan tidak terjerembab. Dan di ruas jalur itu ada sebuah gua
kecil. Kami sempat berfoto di sana. Dugaan saya, gua yang menurut informasi
dibuat tahun 1930 itu merupakan kreasi pertahanan perang, atau mungkin begal
yang menunggu pelintas lewat. Ini dugaan saja, dengan mengaitkan cerita Bapak
bahwa tidak ada orang yang berani lewat jika malam sudah tiba. Tetapi
berdasarkan perhitungan saya sepanjang jalan ini memang sepi. Saya kira jika
ada penjahat, tak perlu buru-buru untuk merampok yang melintas. Selain mobil
yang tak lebih dari 10 Km/jam, juga mau teriak mintya tolong kepada siapa? Memang
ada di sana sebuah warung kopi. Penghuninya 1 orang lelaki, yang saat ditanya,
bukan dari daerah itu. Orang sunda menyebutnya bubuaran. Warung itu sangat
menolong pelintas. Dengan air yang jernih dan besar, pelintas yang akan ke
kamar kecil atau sholat dapat dilakukan di sini,
Jika kendaraan kami berupa sedan ceper … kayaknya tidak akan
bisa lewat di jalur ini. Padahal topografi jalan yang berada di ketinggian 1200
dpl itu cukup menguntungkan. Jalannya landai, nyaris datar dibandingkan dengan
jalan akses dari Lembang/Cikole. Bahkan tebing-tebingnya kelihatan kokoh.
Kokohnya selain karena berupa batuan, juga pepohonannya mencengkeram erat. Itu
artinya, jika jalan ke Bukanagara ini diperbaiki, syukur jika diperlebar agar
tidak menyulitkan mobil berpapasan, saya berkeyakinan, Bukanagara akan menjadi
aset Kabupaten Subang yang potensial. Pemandangannya indah. Bukit-bukit dan
gunung di sana, karena kami datang lebih pagi, masih diselimuti kabut yang
memesona. Sayangnya kami hanya berhenti di gerbang masuk lokasi wisata Puncak
Eurad.

Sebenarnya akses ke Bukanagara dari tempat kami menginap
yaitu di Kasomalang, ada dua arah, pertama dari Cisalak, 16.7 Km, dan dari arah
Palasari 40.2 Km. Namun waktu tempuhnya kalau lewat Cisalak yang 16.7 Km waktu
tempuh menurut Google 1 jam 16 menit. Sedangkan lewat Palasari yang 40.2 Km waktu
tempuhnya 1 jam 45 menit! Waktu kami berangkat, pukul 05.30 dan tiba di
Bukanagara pukul 08.00. itu terjadi karena akses jalan yang rusak. Saya
mengimbau kepada Bupati Subang, ni, yang baru dilantik, atau Gubernur Jawa
Barat, juga belum lama dilantik, yang kata sepupu saya pernah melintas di
lokasi yang masih asri itu, please, Juragan, perbaiki jalan ke Bukanagara,
sediakan SPBU di sana, beri kesempatan kepada warga di sana untuk menggeliat,
mengelola wilayahnya menjadi lebih berkembang lagi. Hanya 16.7 Km, Pak! Tidak
terlalu panjang untuk ukuran jalan penting mah.
Jika jalan ini sudah bagus, bisa jadi ini menjadi lintasan
alternatif Bandung Majalengka, atau Sumedang. Jadi tidak perlu berkeluh kesah
menghadapi kemacetan di Jalancagak. Saya sebagai salah satu anak bangsa yang
lahir di kasomalang, sangat menyayangkan jika Bukanagara dibiarkan tidur tidak
berkembang. Bukankah di sana ada banyak destinasi wisata? Saat kami datang kami
melihat pabrik teh, gedung peninggalan Belanda, goa zaman old, bukit hamparan
teh, hutan perawan dengan monyet yang masih liar. Konon ada juga danau dan
lain-lain yang bisa dijadikan daya tarik wisatawan lokal. Malah traveling bisa
menjadikannya satu paket dengan Pamoyanan, Monumen Ciseupan, Pabrik teh
Kasomalang, dan kuliner di Pasar Kasomalang yang menyajikan makanan nostalgia
ala Sunda.
Bukanagara
25 Desember 2018
Ujang
kasarung