Review karya teman dalam kegiatan
Bengkel Sastra Guru
Yang diselenggarakan oleh
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
2022
“Membaca puisi adalah menangkap kilatan-kilatan pikiran dan
perasaan yang diungkapkan penyair.
Seorang pembaca akan tergetar perasaannya dan merinding bulu
kuduknya jika kilatan-kilatan pikiran
pikiran dan perasaan yang ditembakkan sang penyair mengenai
sasarannya.”
(Acep Zamzam Noor: “Puisi Bulu Kuduk”, Nuansa, 2011)
Ketika para penyair yang sudah profesional ditanya, bagaimana
cara Anda menulis puisi? Pasti jawaban mereka akan berbeda-beda, dan cenderung
samar, bahkan bagi para penulis yang baru duduk di kelas ingin jadi penyair
yang tentu masih minim kosakata dunia kepenyairan, akan lebih berasa absurd. Namun
apabila diperhatikan, ternyata ada benang merah di antara pernayataan para
penyair. Yaitu, menulis saja apa yang ingin kamu tulis! Persoalannya,
setelah kita selesai menulis puisinya, apakah puisi kita layak disebut puisi?
Menarikkah puisi yang kita tulis bagi pembaca? Sampaikah amanat atau nilai
moral yang kita titipkan dalam rahim puisi?
Lebih celaka lagi, demi moralitas dan kesantunan banyak
penyair dan atau pengamat puisi yang kebetulan berkesempatan komunikasi
langsung dengan para pemula selalu memuji karya pemula dan memotivasi
mereka agar terus menulis. Akibatnya, mereka – si pemula – jumawa bahwa puisi
mereka sudah dianggap berhasil. Sekalinya ada kritikus sastra yang blak-blakan
puisi ini jelek, puisi ini tidak layak, bahkan terhadap karya yang sudah
jelas-jelas memenangi lomba menulis puisi, terlalu berani tanpa memperhatikan
etika sosial, akibatnya dimusihi masyarakat sastra. Memang sulit menemukan
tokoh sastra yang bisa mengemukakan opininya secara proporsional. Ini pendapat
saya pribadi, jadi subjektif.

Setelah saya mencoba menyimak satu persatu pendapat para
penyair kondang, dan para pengamat sastra yang tentu saja sebatas yang saya
bisa, akhirnya saya menyimpulkan bahwa tugas penulis adalah menulis saja apa
yang ingin kamu tulis. Apakah nantinya akan jadi penyair atau tidak, itu tidak
perlu dipikirkan. Goenawan Muhamad pernah mengungkapkan tentang kepenyairan
dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Malin Kundang. 1972: “Kepenyairan
hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.” Atau simak Adri
Darmadji Woko: “Alangkah kasihannya, kalau semata-mata orang berkarya karena
dia ingin disebut penyair.” Jadi, marilah kita menulis, menulis dan terus
menulis. “Puisi adalah apa yang diniatkan penyairnya sebagai puisi”. Demikian
kata Sutardji Calzoum Bachri.
Gayung bersambut keinginan yang menggebu ratusan bahkan
ribuan guru di Tanah Air didengar oleh Badan Bahasa. Maka lahirlah kegiatan
Bengkel Sastra Guru (Bengsgur). Semoga bersiklus. Beberapa karya yang
disodorkan para guru, selanjutnya disebut peserta, ternyata sudah memberikan
sinyal harapan akan potensinya masing masing. Potensi yang saya maksud adalah bakat
yang memungkinkan untuk diasah, dan ditumbuhkembangkan menjadi karya yang
cemerlang. Kalau begitu, berarti karya, dalam hal ini puisi yang disodorkan
peserta belum maksimal? Ya, saya terpaksa mengatakan demikian, bisa jadi
termasuk puisi saya yang saya anggap puisi terbaik saya. Banyak faktor yang
dapat menghitamputihkan sebuah karya khususnya puisi. Kita perhatikan puisi
yang berjudul Jimat untuk Anakku dan Sesal Ingin karya Umi Rahayu
berikut.
Jimat untuk Anakku
Anakku
Kelak tiba waktunya kau akan berjalan
sendiri
Menyusuri dunia penuh warna
Jangan gamang!
Pegang kuat jimat dari ayahmu.
Genggam, jangan kau lepaskan.
Jaga hidayah Allah
Carilah tulang
rusukmu yang berbalut sahadat
Lihat tali darahmu
Selipkan Bahagia hak duafa
Anaku,
Bibirmu bukan kaleng
Tariklah
untuk tersenyum setulus telaga.
Tegurmu tidak berbayar
Sapalah semesta selembut embun
Sehangat mentari pagi.
Wajahmu bukan awan Desember
Beningkan seteduh purnama.
Sesal Ingin
Tetes
air mata aliri pelupuk
Tiap
ingat ingin itu
Ingin
ibu bisa menyentuh Ka’bah
Ingin
ibu berdoa di multazam
Maafkan
anakmu ibu
Lembaran
proklamator yang terkumpul
Belum
dapat melangkah jauh
Baru
sampai diujung saku
Hanya
tertingal sesal
Allah
lebih dulu memanggil kembali ke alam kekal
Perih
hati
Andai
dapat ingin itu jadi bekal
Pemenuh
rukun penuai amal
Pertanyaan pertama, apakah ini puisi? Selama penulisnya
meniatkan tulisan ini sebagai puisi, maka ini adalah puisi (lihat: Sutardji!).
Apakah kilatan-kilatan pikiran dan perasaan sudah berhasil merindingkan bulu
kuduk pembacanya? Itu persoalan lain dan itu tidak perlu dipikirkan.
Keberhasilan sampai pembaca merinding bulu kuduk (pinjam istilah Kang Acep
Zamzam Noor) dipengaruhi oleh pengalaman, pengamatan, kepentingan, daya nalar,
kosakata, lingkungan dan banyak lagi dari penulis sebagai komunikator dan
pembaca sebagai komunikan. Makanya ribet bila harus memikirkan tujuan
kita sampai atau tidak pada pembaca. Dengan kata lain, tugas kita menulis dan
menulis.
Ketika saya berdiri pada posisi sebagai pembaca, maka saya
punya hak pandang terhadap karya (puisi) yang saya baca. Dan pada saat puisi
itu diluncurkan ke khalayak, saat itulah penulis harus ikhlas puisinya menjadi
milik masyarakat pembacanya.
Membaca kedua puisi tersebut kita dibawa ke dalam dunia
keluarga yakni keluarga penulis. Puisi pertama, Jimat untuk Anakku (JuA)
berisi nasihat seorang ibu kepada anaknya (laki-laki). Nasihatnya, ya, seperti
umumnya nasihat orang tua kepada anak. Tidak ada yang istimewa. Semua yang
pernah, atau sedang jadi orang tua tentu memahami konten nasihat yang
disampaikan. Seandainya amanat atau pesan yang ingin disampaikan penulis
seperti apa yang tersurat, maka seratus persen sampai dan berhasil. Masalahnya,
penulis, yang memang seorang ibu dari seorang putra lelaki, enggan beranjak
dari sudut pandang dirinya. Jika saja ia (penulis) berani mencoba menggunakan
sudut pandang yang berbeda, kemungkinan, nasihat yang dianggap hal sederhana
akan berasa lebih gurih saat dibaca. Namun demikian, pada sisi lain penulis
menyadari sedang menulis puisi. Dia sudah mencoba menggunakan majas sejak
menulis judul. Jimat adalah ungkapan yang maksudnya nasihat, atau klausa tulang
rusukmu yang berbalut sahadat yang dimaksud adalah wanita muslimah. Dan
klausa ini pula yang menggiring pembaca pada pemahaman bahwa anaknya lelaki
dewasa. Walau pada metafor lain saya berkerut kening. Perhatikan pada larik Tariklah
untuk tersenyum setulus telaga. Karena saya belum dapat menarik
perbandingan sifat atau apapun antara senyum yaitu keramahan dengan telaga. Malah
saya lebih menangkap telaga sebagai suasana yang tenang, damai, sepi, atau
sejuk.
Begitu pula pada puisinya yang kedua, penulis sudah berhasil
menyadari bahwa dirinya sedang menulis puisi. Pada judul, Sesal Ingin
sudah menunjukkan warna fiksinya. Begitu pun dalam tipografi, larik demi larik,
pemanfaatan majas, pemilihan diksi sudah menawarkan suasana kekhasan karya
fiksi. Hanya saja perlu hati-hati, alih-alih ingin tampil beda, malah
terpeleset pada pemilihan diksi yang salah makna. Saya tertarik pada larik
pertama Tetes air mata aliri pelipuk. Apabila kita perhatikan, larik ini
sudah menunjukkan kefiksiannya. Ada imaji pada jiwa pembaca. Namun apakah
memilih kata /pelupuk/ yang dipadukan dengan /aliri/ sudah tepat?
Memang ada ungkapan yang sudah basi tetes air mata mengalir di pipi. Mungkin
penulis ingin mengungkapkan dengan cara berbeda. Niat yang bagus. Hanya saja,
setelah saya buka kamus, bahkan gambar tentang pelupuk yang sama saja
dengan kelopak mata, tentu kurang masuk akal jika tetes air mata aliri pelupuk.
Berbeda dengan pengungkapan alam kekal pada bait ketiga larik kedua.
Selanjutnya, walau puisi memiliki lisensia puitika
tidak berarti kita abai terhadap PUEBI. Lain halnya bila kita menulis puisi
absurd, kontemporer, atau mbelink. Apalagi kita sebagai guru Bahasa Indonesia
sudah selayaknya jadi pengawal keajegan berbahasa. Berikut ini saya coba
mengajak pembaca berdiskusi tentang kebenaran penulisan pada puisi kedua. Sudah
tepatkah penulisan kata-kata yang saya cetak tebal?
1. Anaku
Birirmu
bukan kaleng
2.
Tetes air mata aliri pelupuk
Tiap ingat ingin itu
Ingin ibu bisa
menyentuh Ka’bah
Ingin ibu berdoa
di multazam
Maafkan anakmu ibu (tanpa
koma setelah kata anakmu)
Lembaran proklamator yang
terkumpul
Belum dapat melangkah
jauh
Baru sampai diujung
saku
Eni Meiniar dari Bengkulu kelihatannya sudah berani beranjak
menggapai problematik kehidupan yang lebih umum, lebih meregional, bahkan
menasional. Mari kita lihat puisi yang berjudul Hujan Kini di Bulan Juli.
Walau tanpa subjudul Kepada Sapardi Djoko Damono (SDD) sekalipun,
pembaca yang akrab dengan dunia sastra, akan mengerti bila saat ini masih viral
atas wafatnya Mas SDD. Dan tampaknya Eni memiliki amunisi cukup untuk menulis
puisi yang didedikasikan pada SDD. Eni sudah banyak membaca karya fenomenal SDD
seperti Hujan Bulan Juni, atau Aku Ingin secara tersirat dan
tersurat nuansanya terasaa dalam puisi Eni. Bahkan Eni pun mengenal baik
langsung (mungkin) atau tidak langsung sosok begawan puisi tersebut.
Hujan Kini di Bulan Juli
Kepada: Sapardi Djoko Damono
Satu huruf selisih lebih.
Dukaku terkuak.
Lebur senyummu sudah.
Baret hitammu pertanda.
Sesederhana cintamu, tak sampai.
Selukis senyummu, damai.
Sinar retina menembus kaca.
Deretan aksara menuai kasih.
Kukenang,
Hujan di Bulan Junimu.
Hujan
kini di bulan Juli.
Menderas
luruh di kalbu.
Kepangkuan-Mu
muara temu.
Tak
sesederhana cintamu.
Cinta-Nya
hakiki.
Bagaimana setelah Anda baca? Bisa jadi setiap pembaca
menangkap kesan yang berbeda. Saya sendiri merasa terhipnotis dengan judulnya.
Apalagi ini ditulis (bukan) oleh penyair kesohor. Namun saat membaca, saya kecele
kupikir akan menemukan suasana duka atau langit kelabu seakan alam akan hujan
sebagai rasa turut berduka di bulan Juli. Walau memang Eni menggnakan kata duka
tetapi itu mengarah pada judul puisi atau buku SDD. Saya merasa ada nuansa
seorang anak kecil yang tidak terpengaruh oleh suasana duka. Aku (lirik) masih
asyik merekam fragmen-fragmen istimewa semasa hidup SDD. Salahkah? O, tentu
tidak! Inilah yang saya maksud beda. Eni berhasil tampil lincah tanpa
mencederai suasana duka.
Ada yang mengganggu visual saya pada puisi Eni adalah tanda
titik (.) pada setiap akhir larik. Saya tidak paham, maksud dari pencantuman
titik tersebut. Memang SDD pernah mengungkapkan dalam bukunya Bilang Begini,
Maksudnya Begitu (2014) perihal perbedaaan berita dengan karya puisi adalah
pada tanda baca. Tetapi yang maksudnya adalah penghilangan dan anjambemennya,
bukan penambahan tanda baca atau kata yang tidak perlu.
Berikutnya yang tidak bisa dibilang sepele, adalah penggunaan
klitika -ku, -mu, -nya pada orang atau Tuhan. Seperti yang pernah disampaikan
oleh Acep Zamzam Noor pada sesi pertama, bahwa penggunaan klitik harus
konsisten sesuai dengan sudut pandang penulis. Nah, sekarang perhatikan
larik-larik berikut!
Kukenang,
Hujan di Bulan Junimu.
Hujan kini di bulan Juli.
Menderas luruh di kalbu.
Kepangkuan-Mu
muara temu.
Tak sesederhana cintamu.
Cinta-Nya hakiki.
Pada puisi ini penulis sejak awal memosisikan aku (lirik)
dengan kamu untuk SDD. Namun tiba-tiba ada ungkapan Kepangkuan-Mu muara
temu. Melihat penulisan /-Mu/ menggunakan huruf /m/ kapital, itu berarti
yang dimaksud adalah Tuhan. Sementara dalam puisi ini /-mu/ adalah SDD. Apakah
tidak rancu? Lebih jelas lagi ketika /-Nya/ pada larik Cinta-Nya hakiki.
Di sini Tuhan diposisikan sebagai pihak ketiga. Memang hal seperti ini kadang
bisa kita hindari dengan berulang-ulang membacanya sebelum membagikan ke publik.
Tidak berbeda dengan suasana puisi pertama, puisi kedua yang
berjudul Rindu yang Tersekat juga bersuasana ceria, lincah, optimis
padahal konflik yang terdapat dalam teks tersebut adalah ketersekatan diri
menahan rindu akibat Pembatasan Sosial Bersekala Besar. Hebat!
Rindu
yang Tersekat
Kecipak
riak gemuruh di dada.
Tak
sua.
Adaptasi
kebiasaan baru.
Terekam
di kalbu.
Tenggelam
mulut dalam masker.
Tangan
tak dekap.
Rindu
sua.
Ranting
waktu luruh mengeram waktu.
Bagaimana
kusapa dikau?
Jari
lentik di dunia segi empat kita.
Bermaya-ria.
Temu?
Si renik meraung-raung ke paru-paru.
Tak
mungkin simpan badai digenggaman.
Bertambah
angka bertambah duka.
Kuingin
dekap nyaman di jiwa.
Ku
ingin tatap tanpa jeda.
Kuingin
temu berbagi cerita.
Seperti
sedia kala
di kelas kita yang ceria.
Tidak ada keruwetan dalam suasana puisi ini. Ini akan menjadi
ciri khas Eni dalam berkreasi. Tinggal sering berlatih, dan membaca karya-karya
para penulis lain baik penulis besar maupun penulis yang belum besar. Sebagai
komparasi dalam berkarya. Dengan berkomparasi disadari atau tidak, penulis akan
merasakan mana kata yang cocok untuk mendeskripsikan ini itu. Tidak hanya
sekadar gagah atau berbeda. Coba perhatikan Si renik
meraung-raung ke paru-paru. Ungkapan si renik dalam konteks ini
adalah korona (tafsir saya), karena kecilnya disebut Si Renik. Bolehlah, Eni
dalam hal ini memang lucu, nggemesin. Tetapi saat disandingkan dengan
kata meraung-raung (masih tafsir saya) kok, kurang padu! Meraung-raung
memiliki konotasi menyeramkan, sangar, gahar, seram. Jadi perpaduan diksi pada
ungkapan Si renik meraung-raung ke paru-paru rasanya kurang padu.
Sebagai penutup, tak ada gading yang tak retak. Pedagang obat
kumis tidak harus berkumis. Demikian halnya dengan saya. Saya menulis seperti
ini bukan berarti puisi atau tulisan saya sudah paripurna. Ini hanya sebagai
bentuk kepedulian terhadap proses pembelajaran yang saya sedang jalani.
Jakarta, 23 Agustus 2022
Salam dan doa baik
Ujang Nurochmat