Selamat Datang

Senin, 18 November 2024

MUNGKINKAH ADA KARYA CHAIRIL ANWAR YANG BARU DIKETAHUI?

 

Pada suatu ketika saya diundang menjadi juri lomba baca puisi dalam kegiatan PORSADIN tingkat Kota Jakarta Pusat. Puisi-puisi yang diusung ada sekitar 6 puisi yang bertema ibu. Ketika salah satu peserta membawakan sebuah puisi berjudul IBU karya Chairil Anwar, saya tersentak kaget karena seumur bergaul dengan kesusastraan di Indonesia (kurang lebih 45 tahun) baru kali ini mendengar Chairil Anwar memiliki puisi yang luput dari pengetahuan saya. Saat itulah saya tertunduk malu, betapa terbatasnya pengetahuan saya. Maka dengan rasa ingin tahun yang teramat tinggi, saya menyimak kata demi kata, kalimat demi kalimat puisi tersebut. Sampai selesai pembacaan puisi tersebut, tidak ada secuil pun aroma gaya Chairil Anwar ‘si Binatang Jalang’. Apakah ada nama Chairil Anwar yang lain yang menulisnya? Kemudian masyarakat sastra menganggapnya itu adalah puisi Chairil si Binatang Jalang yang tersembunyi atau disembunyikan keluarga?

Terus terang memang saya tidak punya argumen yang kuat untuk menepis puisi Ibu itu sebagai karya Chairil Anwar si Binatang Jalang. Selain semuanya serba mungkin, juga saya tidak dapat menunjukkan bukti, data, atau fakta sanggahannya. Namun demikian, secara subjektif saya dapat memanfaatkan logika dan intuisi saya sebagai pengagum sang pelopor puisi modern Indonesia itu.

Secara logika, puisi berjudul Ibu, menggunakan diksi dan rangkaian kalimat yang mengurai, tidak ringkas seperti gaya berpuisi Chairil. Perhatika kutipan puisi Ibu berikut!

 

Pernah aku ditegur

Katanya untuk kebaikan

Pernah aku dimarah

Katanya membaiki kelemahan

 

Coba kita bayangkan sosok Chairil Anwar menggunakan diksi dan atau susunan kalimat seperti itu! Silakan bandingkan dengan puisi karya Chairil Anwar berikut!

 

Ini barisan tak bergenderang berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu

 

Sekali berarti

Sudah itu mati

 

Jujur saja saya tidak yakin bila puisi Ibu adalah karya Chairil Anwar si Binatang Jalang. Namun sedihnya dunia pendidikan di negeri kita tanpa melakukan penelitian, cek dan recek secara resmi mengakui bila puisi itu karya Chairil Anwar. Sekali lagi, memang saya tidak bisa mengungkapkan argumen ilmiah untuk membantahnya. Tetapi pihak kementerian pendidikan pun tidak juga menyampaikan  penjelasannya terkait puisi tersebut baru populer belakangan ini. Kalau dikatakan itu karya Chairil Anwar yang terbaru, tentu mustahil bukan? Itu baru dilihat dari sisi diksi, morfologi, sintaksis dan tifografi. Belum lagi dilihat dari sisi makna, dan histori.

Sejak saya duduk di SMP tahun 1975, sampa setua ini saya mengenal karya Chairil Anwar si Binatang Jalang ya puisi-puisinya yang terkenal itu, seperti Aku, Diponegoro, Antara Kerawang Bekasi, dan lain-lain. Jika tiba-tiba saya mendengar ada karya beliau yang lain yang belum pernah saya ketahui, wajar jika saya agak kaget. Saya ingat waktu itu ada puisi yang baru kutahu sekitar tahun 2000-an berjudul Sebuah Kamar:

 

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: Kamar begini,

3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

 

Setelah membaca dan meresapi diksi, gaya bertutur, dan makna tersiratnya saja, saya yakin itu karya Chairil Anwar si Binatang Jalang. Berbeda dengan puisi Ibu yang digadang-gadang karya Chairil Anwar tersebut. Lemah pada diksi, nada, bobot makna dan sama sekali tidak menampakkan ruh Chairil Anwar si Binatang Jalang. Ada dua kemungkinan yang menurut saya menyebabkan kejadian ini. Pertama, bisa jadi si penulis bernama Chairil Anwar juga. Sehingga saat mesin pencarian di Google diaktifkan, muncul puisi ini. Kedua, kemungkinan si penulis sengaja menulis puisi dengan melebeli Chairil Anwar sebagai penulis.

Sebenarnya saya tidak mengangkat masalah ini, khawatir memang kelemahan dan keterbatasan pengetahuan saya. Namun sebagai orang yang senantiasa bersinggungan dengan dunia puisi, saya merasa perlu kepastian eksistensi puisi tersebut yang sekarang bukan hanya digunakan dalam Porsadin (Pekan Olahraga dan Seni antar-Diniyah) di DKI Jakarta, melainkan juga dijadikan puisi tunggal Lomba Baca Puisi antar-SMP dan MTS Provinsi DKI Jakarta.

Kalau memang puisi tersebut karya Chairil Anwar si Binatang Jalang, kenapa baru sekarang puisi itu muncul? Adakah secara historis informasi yang dapat menjelaskan kebarumunculan puisi tersebut? Misalnya ada klarifikasi dari pihak keluarga yang baru menemukan manuskrip? Atau siapa tahu ada pengamat sastra, ahli sastra, sejarah sastra yang dapat memberi pencerahan kepada masyarakat sastra.

 

Jakarta, 18 November 2024

Ujang Kasarung

Lampiran:

                   IBU

 

Pernah aku ditegur

Katanya untuk kebaikan

Pernah aku dimarah

Katanya membaiki kelemahan

Pernah aku diminta membantu

Katanya supaya aku pandai

 

Ibu …

 

Pernah aku merajuk

Katanya aku manja

Pernah aku melawan

Katanya aku degil

Pernah aku menangis

Katanya aku lemah

 

Ibu …

 

Setiap kali aku tersilap

Dia hukum aku dengan nasihat

Setiap kali aku kecewa

Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat

Setiap kali aku dalam kesakitan

Dia obati dengan penawar dan semangat

Dan bila aku mencapai kejayaan

Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

 

Namun …

Tidak pernah aku lihat air mata dukamu

Mengalir di pipimu

Begitu kuatnya dirimu.

 

Ibu …

 

Aku sayang padamu

Tuhanku Aku bermohon pada-Mu

Sejahterakanlah dia

Selamanya.