Pada suatu ketika saya diundang menjadi juri lomba baca puisi dalam kegiatan PORSADIN tingkat Kota Jakarta Pusat. Puisi-puisi yang diusung ada sekitar 6 puisi yang bertema ibu. Ketika salah satu peserta membawakan sebuah puisi berjudul IBU karya Chairil Anwar, saya tersentak kaget karena seumur bergaul dengan kesusastraan di Indonesia (kurang lebih 45 tahun) baru kali ini mendengar Chairil Anwar memiliki puisi yang luput dari pengetahuan saya. Saat itulah saya tertunduk malu, betapa terbatasnya pengetahuan saya. Maka dengan rasa ingin tahun yang teramat tinggi, saya menyimak kata demi kata, kalimat demi kalimat puisi tersebut. Sampai selesai pembacaan puisi tersebut, tidak ada secuil pun aroma gaya Chairil Anwar ‘si Binatang Jalang’. Apakah ada nama Chairil Anwar yang lain yang menulisnya? Kemudian masyarakat sastra menganggapnya itu adalah puisi Chairil si Binatang Jalang yang tersembunyi atau disembunyikan keluarga?
Terus terang memang saya tidak punya argumen yang kuat
untuk menepis puisi Ibu itu sebagai karya Chairil Anwar si Binatang Jalang.
Selain semuanya serba mungkin, juga saya tidak dapat menunjukkan bukti, data,
atau fakta sanggahannya. Namun demikian, secara subjektif saya dapat
memanfaatkan logika dan intuisi saya sebagai pengagum sang pelopor puisi modern
Indonesia itu.
Secara logika, puisi berjudul Ibu, menggunakan diksi dan
rangkaian kalimat yang mengurai, tidak ringkas seperti gaya berpuisi Chairil.
Perhatika kutipan puisi Ibu berikut!
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Coba kita bayangkan sosok Chairil Anwar menggunakan
diksi dan atau susunan kalimat seperti itu! Silakan bandingkan dengan puisi
karya Chairil Anwar berikut!
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Jujur saja saya tidak yakin bila puisi Ibu adalah karya
Chairil Anwar si Binatang Jalang. Namun sedihnya dunia pendidikan di negeri
kita tanpa melakukan penelitian, cek dan recek secara resmi mengakui bila puisi
itu karya Chairil Anwar. Sekali lagi, memang saya tidak bisa mengungkapkan
argumen ilmiah untuk membantahnya. Tetapi pihak kementerian pendidikan pun
tidak juga menyampaikan penjelasannya
terkait puisi tersebut baru populer belakangan ini. Kalau dikatakan itu karya
Chairil Anwar yang terbaru, tentu mustahil bukan? Itu baru dilihat dari sisi
diksi, morfologi, sintaksis dan tifografi. Belum lagi dilihat dari sisi makna,
dan histori.
Sejak saya duduk di SMP tahun 1975, sampa setua ini saya
mengenal karya Chairil Anwar si Binatang Jalang ya puisi-puisinya yang terkenal
itu, seperti Aku, Diponegoro, Antara Kerawang Bekasi, dan
lain-lain. Jika tiba-tiba saya mendengar ada karya beliau yang lain yang belum
pernah saya ketahui, wajar jika saya agak kaget. Saya ingat waktu itu ada puisi
yang baru kutahu sekitar tahun 2000-an berjudul Sebuah Kamar:
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
Setelah membaca dan meresapi diksi, gaya bertutur, dan
makna tersiratnya saja, saya yakin itu karya Chairil Anwar si Binatang Jalang.
Berbeda dengan puisi Ibu yang digadang-gadang karya Chairil Anwar tersebut.
Lemah pada diksi, nada, bobot makna dan sama sekali tidak menampakkan ruh
Chairil Anwar si Binatang Jalang. Ada dua kemungkinan yang menurut saya menyebabkan
kejadian ini. Pertama, bisa jadi si penulis bernama Chairil Anwar juga.
Sehingga saat mesin pencarian di Google diaktifkan, muncul puisi ini. Kedua,
kemungkinan si penulis sengaja menulis puisi dengan melebeli Chairil Anwar
sebagai penulis.
Sebenarnya saya tidak mengangkat masalah ini, khawatir
memang kelemahan dan keterbatasan pengetahuan saya. Namun sebagai orang yang
senantiasa bersinggungan dengan dunia puisi, saya merasa perlu kepastian
eksistensi puisi tersebut yang sekarang bukan hanya digunakan dalam Porsadin
(Pekan Olahraga dan Seni antar-Diniyah) di DKI Jakarta, melainkan juga
dijadikan puisi tunggal Lomba Baca Puisi antar-SMP dan MTS Provinsi DKI
Jakarta.
Kalau memang puisi tersebut karya Chairil Anwar si
Binatang Jalang, kenapa baru sekarang puisi itu muncul? Adakah secara historis
informasi yang dapat menjelaskan kebarumunculan puisi tersebut? Misalnya ada
klarifikasi dari pihak keluarga yang baru menemukan manuskrip? Atau siapa tahu
ada pengamat sastra, ahli sastra, sejarah sastra yang dapat memberi pencerahan
kepada masyarakat sastra.
Jakarta, 18 November 2024
Ujang Kasarung
Lampiran:
IBU
Pernah aku ditegur
Katanya untuk
kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki
kelemahan
Pernah aku diminta
membantu
Katanya supaya aku
pandai
Ibu …
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu …
Setiap kali aku
tersilap
Dia hukum aku dengan
nasihat
Setiap kali aku
kecewa
Dia bangun di malam
sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku
dalam kesakitan
Dia obati dengan
penawar dan semangat
Dan bila aku
mencapai kejayaan
Dia kata
bersyukurlah pada Tuhan
Namun …
Tidak pernah aku
lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya
dirimu.
Ibu …
Aku sayang padamu
Tuhanku Aku bermohon
pada-Mu
Sejahterakanlah dia
Selamanya.