U. Nurochmat
Senin, 02 November 2009
Bahan Musikalisasi Puisi
1. Hasta Indriyana
DI SUATU STASIUN KERETA
Stasiun Tugu. Kita menunggu
Waktu. Jam di tangan
Seperti ketipak andong
Di jalanan. Berpacu membawa
Muatan pelancong
Penjual cindera mata. Menawarkan
Senyum setiap orang. Akua, reroti,
Blangkon, surjan bisakah kubawa
Pulang? Ah, etalase yang selalu
Mangganggu
Musim penghujan segalanya lembab
Kita berjalan perlahan sebab kata-kata
Meluap. Dan kesedihan ziarah ke negeri cinta
Lantas kita tulis menjadi puisi
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
2. Hasta Indriyana
DI SUATU STASIUN KERETA-2
Gerbang ini tak jua beranjak dewasa
Rengek nakal perempuan
Penikmat juga tangis-tangis yang
Tersekat
Pintu itu masih pintu yang
Sama. Mengunci hati dengan
Makna selamat jalan dan arti
Hati-hati di perjalanan
Tempat ini melahirkan puisi
Tentang pisah dan pertemuan
Yang selalu menyita kelopak
Mata meneteskan air pelan-pelan
(dari: Tuhan, Aku lupa Menulis Sajak Cinta)
3. Slamet Sukirnanto
MAHGRIB PUN SAMPAI
Mahgrib pun sampai. Di luar jendela
Senja terbata-bata
Sebelum ayat-ayat terakhir
Sebelum sujud usai
Tuhan. Aku sendiri
Menggugurkan gelisah
Hari ini
Terimalah tutur fasih kami
(Di luar gugur
Daun trembesi)
Tuhan. Sudah sempurna
Angka-angka pada jari
Telah sempurna ayat-ayat suci
Tinggal aku sendiri. Di luar jendela
Semakin sunyi.
(Catatan Suasana)
4. Taufik Ismail
DOA
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampuni kami
Ampunilah
Amin
(Benteng dan Tirani)
5. Taufik Ismail
SYAIR ORANG LAPAR
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kuulang jua
Kalau
(dari: Benteng Tirani)
6. Agus R. Sarjono
SAJAK DINGIN
Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa sambil terengah
mendaki malam. Bumi termangu
di jauhan.
Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa dalam penat
meniti harap. Panjang sudah
baris-baris duka
helai-helai airmata.
Apa pintamu, sapa suara.
Selarik doa itu pun terpana.
Dilupanya segala tanya
segala pinta.
(Diterbangkan Kata-kata)
7. U. Nurochmat
JELAGA
Jalan terjal ini
Masih kususuri
Dengan langkah lelah
Menyawang asa berkabut
Sesekali aku tergelincir
Saat melupa-Mu
Padahal hanya selintas bayangan
Yang mengganggu langkah ini
Sesekali aku mohon ampun-Mu
Dengan doa yang diada-ada
Padahal tobatku tobat semu
Lupakan ahlak yang cedera
Inilah aku. Sosok jelaga
Penuh noda dan dosa
Hidup hanya memanja dunia
Petunjuk-Mu ditaati kalau suka
8. Abdul Hadi W.M.
LAGU PUTIH
Malam itu datang dengan sayap burung
Yang berisik menuju kota
Di luar daunan menderu
Menyeru kelam
Mengapa lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai jatuh mengabut padang yang sepi?
Betina: berikan aku saat berlupa
Dan firman itu sampaikan
Aku butuh segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh impian dan dugaan
Menyeru malam dan lenyap dalam rusak
(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)
9. Abdul Hadi W.M.
LAGU
Danau kelabu pada dataran
Hutan-hutan di sekitarnya, perkasa
Gumpalan dingin di langit malam
Menghamparkan bayangan salju
Mengapa pimping pada mabok
Dan mengimpikan pagi musim rontok?
Tuhan dan gemuruh itu
Menghembus dan menyerbu
Melepaskan gasing
Dari pohonan tak berwarna
Tak bernama
(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)
10. Ramadhan KH.
PRIANGAN SI JELITA
Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
(Priangan si Jelita)
11. Diana Wijayanthi
BALLADA BAPAK TUA
Kuyu usap keriput tua
derita tampar hidup
kepalsuan duniawi hapus kenangan indah
Pandangan tajam lintas mata
guratan nyata di wajah bapak tua
letih khayal fantasi
bapak tua tak sanggup hadapi takdir
kepalsuan selama gayut diri
bapak tua, oh bapak tua
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
12. Diana Wijayanthi
BINGKAI KEHIDUPAN
Ada peristiwa indah
ada peristiwa pahit
Keduanya sama dalam suratan takdir
Ada kebahagiaan
ada kepedihan
Keduanya sama dalam suratan takdir
Bingkai kehidupan
kadang kejam
kadang lembut
Keduanya sama dalam suratan takdir
bingkai kehidupan
terselimut dalam suratan takdir
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
13. Chandra Yowani
SALAM PAGI SEORANG PETANI
Selamat pagi mentari
‘kan kugarap harimu
Di tiap rekah bumi
Selamat pagi pipit-pipit kecil
temani aku dengan senandung kembaramu
mengupas kulit bumi
jadi lahan harapan
selamat pagi desir angin
semilirmu dendangkan kemenangan
menisik beribu mimpi kalbuku
benahi musim
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
14. Budiman S. Hartoyo
KABUT ITU
Aku menunggu. Engkau pun menunggu
Berjuta detik menjadi waktu
Jemu
Aku berlari. Engkau berhenti
Aku berhenti. Engkau pun berlari
Terentang jarak tiada arti
Mati
Mautkah batas antara kita?
(gaibkah ujud dan ada kita?)
Kita selalu terlena saja
selalu membisu menafsirkan makna cinta
Kekal dalam rahasia
Kabut itu
dan kekelaman itu
buanglah dari raut wajahmu
(Sebelum Tidur)
15. Sapardi Djoko Damono
IA TAK PERNAH
ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengambilkan pohon
kepada burung
(Ayat-ayat Api)
16. Sapardi Djoko Damono
SEBELUM FAJAR
Beberapa saat sebelum fajar
sambil buru-buru menyalakan api
kita suka membayangkan hari ini
dengan dua atau tiga patah kata
yang tak pernah terucapkan.
Sementara anak-anak masih lelap tidur
di mata mereka yang tertutup
dua atau tiga patah kata itu
bersitahan sabar
menunggu matahari, bukan api
(Ayat-ayat Api)
17. Hasta Indrayana
FRAGMEN NEGERI KATA-KATA
1
Musim puisi, kita lewati ke sana
Cakrawala di depan lajulah perahu
Mengayuh rindu. Ada dayung juga peta
Tujuan satu, melarung cinta
2
Musim kemarau, kita panen matahari
Di kejauhan bumi bagai dipanggang api
Tanah-tanah risau. Juga air mata
Menguap di tiap hati
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
18. Hasta Indriyana
MOZAIK
Kita adalah pelangi, aku air kamu cahay
Seperti hujan, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna
Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
19. Slamet Sukirnanto
LAYANG-LAYANG MILIKKU
Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Di alam raya bersama burung-burung yang bebas
Adakah negeri-negeri bebas yang angkuh?
Satu pesan yang kusampaikan dari bumi ini
Janganlah meninggalkan daku, kemudian kau pergi
Sebab jarak antara kita akan semakin jauh
Di kota ini aku sendiri dengan pijar nasib
Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Sampaikan salam: hidup teguh di sini
Nyanyian bumi dalam ujud puisi
(Catatan Suasana)
20. Sapardi Djoko Damono
RUPANYA KITA
rupanya kita yang harus menjawab
suara itu. Tetapi bukankah hanya suara dingin
yang bergoyang dibawah lindap langit;
bukahkah hanya selembar daun yang putus, ke bumi
bukankah hanya napas kita sendiri. Rupanya kita
yang masih harus menyebut sebuah nama
di suatu tempat pada suatu waktu;
tetapi adakah kita kenal bahasa itu
(Ayat-ayat Api)
21. Slamet Sukirnanto
KATAKANLAH PADAKU
Katakanlah padaku
Kalau hanya desau angin
Bicara sonder kata
Jam makin sarat memutar jarummu
Engkau pun tahu
Kehampaan sungguh pun mencari maknanya
Di luar dirimu, di luar diriku
Kemudian ulurkan tanganmu
Goreskan pada dinding masa lalu
Mari
Bergegas lewat
Tanpa tapak
Tanpa jejak
(Catatan Suasana)
22. U. Nurochmat
ANDAI
Andai saja
bukan hanya aku
yang menahan rindu,
Andai saja
bukan hanya aku
yang menelan pilu,
Andai saja
bukan hanya aku
yang memeluk rindu,
Tentu
kau kan mengerti
betapa dalam rasa cintaku.
(Tak Perlu Bertanya Lagi)
23. U. Nurochmat
LAMPUS
Kududuk di sini
Memanja duka
Yang kau sematkan
Saat langkahku mengabari hatimu
Kududuk di sini
Menepis bayang
Yang sangsikan asaku
Saat langit melaknat raguku
Haruskah
Haruskah
Haruskah
Setiap janji berakhir di keranda duka?
Haruskah
Haruskah
Haruskah
Pamitku kau maknai dengan tatap nanar?
(Menapak bayang-bayang)
24. Budiman S. Hartoyo
MENUNGGU DAN PAMIT
Aku selalu menunggumu
Sejak dulu. Wahai sang waktu
Engkau pun berlalutanpa setahu sadarku
Engkau pun menyeret kakiku
Dan tanganku yang terkulai ragu
Di sinilah tempatnya engkau tahu
sejak dulu kutunggu selalu
setiap kesempatan
untuk bertemu berpapasan kemudian pamitan
Walau kita lahir tanpa kencan
tapi kadang kau berikan padaku
kesan dan kenangan
penghabisan
Sudahkah tiba saatnya yang tepat
untuk pamit?
Engkau diam saja
sementara penanggalan pun sobek-sobek juga
Dan wakilmu yang setia, arloji itu
Berhitung-hitung dengan angkuhnya
(Sebelum Tidur)
25. U. Nurochmat
RANTING DI TEPI KUBURAN
Adalah bulan sepotong semangka
Sinarnya temaram di ranting cempaka
Nun di atas dahan kiara tua
Burung hantu mengusir senja
Gundukan kubur rebahan waktu purba
Desis kelelawar getarkan jiwa
Ranting tua tak lagi bertahta
Esok lusa waktunya kan tiba
Seulas kisah kubenamkan
Pada helai waktu yang jenjang
Desah napas kian tertahan
Menanti sang detik detak terhenti
(Tak Perlu Bertanya Lagi)
Buat: Anak-anakku yang tajam dengan puisi
DI SUATU STASIUN KERETA
Stasiun Tugu. Kita menunggu
Waktu. Jam di tangan
Seperti ketipak andong
Di jalanan. Berpacu membawa
Muatan pelancong
Penjual cindera mata. Menawarkan
Senyum setiap orang. Akua, reroti,
Blangkon, surjan bisakah kubawa
Pulang? Ah, etalase yang selalu
Mangganggu
Musim penghujan segalanya lembab
Kita berjalan perlahan sebab kata-kata
Meluap. Dan kesedihan ziarah ke negeri cinta
Lantas kita tulis menjadi puisi
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
2. Hasta Indriyana
DI SUATU STASIUN KERETA-2
Gerbang ini tak jua beranjak dewasa
Rengek nakal perempuan
Penikmat juga tangis-tangis yang
Tersekat
Pintu itu masih pintu yang
Sama. Mengunci hati dengan
Makna selamat jalan dan arti
Hati-hati di perjalanan
Tempat ini melahirkan puisi
Tentang pisah dan pertemuan
Yang selalu menyita kelopak
Mata meneteskan air pelan-pelan
(dari: Tuhan, Aku lupa Menulis Sajak Cinta)
3. Slamet Sukirnanto
MAHGRIB PUN SAMPAI
Mahgrib pun sampai. Di luar jendela
Senja terbata-bata
Sebelum ayat-ayat terakhir
Sebelum sujud usai
Tuhan. Aku sendiri
Menggugurkan gelisah
Hari ini
Terimalah tutur fasih kami
(Di luar gugur
Daun trembesi)
Tuhan. Sudah sempurna
Angka-angka pada jari
Telah sempurna ayat-ayat suci
Tinggal aku sendiri. Di luar jendela
Semakin sunyi.
(Catatan Suasana)
4. Taufik Ismail
DOA
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampuni kami
Ampunilah
Amin
(Benteng dan Tirani)
5. Taufik Ismail
SYAIR ORANG LAPAR
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kuulang jua
Kalau
(dari: Benteng Tirani)
6. Agus R. Sarjono
SAJAK DINGIN
Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa sambil terengah
mendaki malam. Bumi termangu
di jauhan.
Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa dalam penat
meniti harap. Panjang sudah
baris-baris duka
helai-helai airmata.
Apa pintamu, sapa suara.
Selarik doa itu pun terpana.
Dilupanya segala tanya
segala pinta.
(Diterbangkan Kata-kata)
7. U. Nurochmat
JELAGA
Jalan terjal ini
Masih kususuri
Dengan langkah lelah
Menyawang asa berkabut
Sesekali aku tergelincir
Saat melupa-Mu
Padahal hanya selintas bayangan
Yang mengganggu langkah ini
Sesekali aku mohon ampun-Mu
Dengan doa yang diada-ada
Padahal tobatku tobat semu
Lupakan ahlak yang cedera
Inilah aku. Sosok jelaga
Penuh noda dan dosa
Hidup hanya memanja dunia
Petunjuk-Mu ditaati kalau suka
8. Abdul Hadi W.M.
LAGU PUTIH
Malam itu datang dengan sayap burung
Yang berisik menuju kota
Di luar daunan menderu
Menyeru kelam
Mengapa lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai jatuh mengabut padang yang sepi?
Betina: berikan aku saat berlupa
Dan firman itu sampaikan
Aku butuh segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh impian dan dugaan
Menyeru malam dan lenyap dalam rusak
(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)
9. Abdul Hadi W.M.
LAGU
Danau kelabu pada dataran
Hutan-hutan di sekitarnya, perkasa
Gumpalan dingin di langit malam
Menghamparkan bayangan salju
Mengapa pimping pada mabok
Dan mengimpikan pagi musim rontok?
Tuhan dan gemuruh itu
Menghembus dan menyerbu
Melepaskan gasing
Dari pohonan tak berwarna
Tak bernama
(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)
10. Ramadhan KH.
PRIANGAN SI JELITA
Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
(Priangan si Jelita)
11. Diana Wijayanthi
BALLADA BAPAK TUA
Kuyu usap keriput tua
derita tampar hidup
kepalsuan duniawi hapus kenangan indah
Pandangan tajam lintas mata
guratan nyata di wajah bapak tua
letih khayal fantasi
bapak tua tak sanggup hadapi takdir
kepalsuan selama gayut diri
bapak tua, oh bapak tua
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
12. Diana Wijayanthi
BINGKAI KEHIDUPAN
Ada peristiwa indah
ada peristiwa pahit
Keduanya sama dalam suratan takdir
Ada kebahagiaan
ada kepedihan
Keduanya sama dalam suratan takdir
Bingkai kehidupan
kadang kejam
kadang lembut
Keduanya sama dalam suratan takdir
bingkai kehidupan
terselimut dalam suratan takdir
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
13. Chandra Yowani
SALAM PAGI SEORANG PETANI
Selamat pagi mentari
‘kan kugarap harimu
Di tiap rekah bumi
Selamat pagi pipit-pipit kecil
temani aku dengan senandung kembaramu
mengupas kulit bumi
jadi lahan harapan
selamat pagi desir angin
semilirmu dendangkan kemenangan
menisik beribu mimpi kalbuku
benahi musim
(Rindu Anak Mendulang Kasih)
14. Budiman S. Hartoyo
KABUT ITU
Aku menunggu. Engkau pun menunggu
Berjuta detik menjadi waktu
Jemu
Aku berlari. Engkau berhenti
Aku berhenti. Engkau pun berlari
Terentang jarak tiada arti
Mati
Mautkah batas antara kita?
(gaibkah ujud dan ada kita?)
Kita selalu terlena saja
selalu membisu menafsirkan makna cinta
Kekal dalam rahasia
Kabut itu
dan kekelaman itu
buanglah dari raut wajahmu
(Sebelum Tidur)
15. Sapardi Djoko Damono
IA TAK PERNAH
ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengambilkan pohon
kepada burung
(Ayat-ayat Api)
16. Sapardi Djoko Damono
SEBELUM FAJAR
Beberapa saat sebelum fajar
sambil buru-buru menyalakan api
kita suka membayangkan hari ini
dengan dua atau tiga patah kata
yang tak pernah terucapkan.
Sementara anak-anak masih lelap tidur
di mata mereka yang tertutup
dua atau tiga patah kata itu
bersitahan sabar
menunggu matahari, bukan api
(Ayat-ayat Api)
17. Hasta Indrayana
FRAGMEN NEGERI KATA-KATA
1
Musim puisi, kita lewati ke sana
Cakrawala di depan lajulah perahu
Mengayuh rindu. Ada dayung juga peta
Tujuan satu, melarung cinta
2
Musim kemarau, kita panen matahari
Di kejauhan bumi bagai dipanggang api
Tanah-tanah risau. Juga air mata
Menguap di tiap hati
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
18. Hasta Indriyana
MOZAIK
Kita adalah pelangi, aku air kamu cahay
Seperti hujan, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna
Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan
(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)
19. Slamet Sukirnanto
LAYANG-LAYANG MILIKKU
Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Di alam raya bersama burung-burung yang bebas
Adakah negeri-negeri bebas yang angkuh?
Satu pesan yang kusampaikan dari bumi ini
Janganlah meninggalkan daku, kemudian kau pergi
Sebab jarak antara kita akan semakin jauh
Di kota ini aku sendiri dengan pijar nasib
Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Sampaikan salam: hidup teguh di sini
Nyanyian bumi dalam ujud puisi
(Catatan Suasana)
20. Sapardi Djoko Damono
RUPANYA KITA
rupanya kita yang harus menjawab
suara itu. Tetapi bukankah hanya suara dingin
yang bergoyang dibawah lindap langit;
bukahkah hanya selembar daun yang putus, ke bumi
bukankah hanya napas kita sendiri. Rupanya kita
yang masih harus menyebut sebuah nama
di suatu tempat pada suatu waktu;
tetapi adakah kita kenal bahasa itu
(Ayat-ayat Api)
21. Slamet Sukirnanto
KATAKANLAH PADAKU
Katakanlah padaku
Kalau hanya desau angin
Bicara sonder kata
Jam makin sarat memutar jarummu
Engkau pun tahu
Kehampaan sungguh pun mencari maknanya
Di luar dirimu, di luar diriku
Kemudian ulurkan tanganmu
Goreskan pada dinding masa lalu
Mari
Bergegas lewat
Tanpa tapak
Tanpa jejak
(Catatan Suasana)
22. U. Nurochmat
ANDAI
Andai saja
bukan hanya aku
yang menahan rindu,
Andai saja
bukan hanya aku
yang menelan pilu,
Andai saja
bukan hanya aku
yang memeluk rindu,
Tentu
kau kan mengerti
betapa dalam rasa cintaku.
(Tak Perlu Bertanya Lagi)
23. U. Nurochmat
LAMPUS
Kududuk di sini
Memanja duka
Yang kau sematkan
Saat langkahku mengabari hatimu
Kududuk di sini
Menepis bayang
Yang sangsikan asaku
Saat langit melaknat raguku
Haruskah
Haruskah
Haruskah
Setiap janji berakhir di keranda duka?
Haruskah
Haruskah
Haruskah
Pamitku kau maknai dengan tatap nanar?
(Menapak bayang-bayang)
24. Budiman S. Hartoyo
MENUNGGU DAN PAMIT
Aku selalu menunggumu
Sejak dulu. Wahai sang waktu
Engkau pun berlalutanpa setahu sadarku
Engkau pun menyeret kakiku
Dan tanganku yang terkulai ragu
Di sinilah tempatnya engkau tahu
sejak dulu kutunggu selalu
setiap kesempatan
untuk bertemu berpapasan kemudian pamitan
Walau kita lahir tanpa kencan
tapi kadang kau berikan padaku
kesan dan kenangan
penghabisan
Sudahkah tiba saatnya yang tepat
untuk pamit?
Engkau diam saja
sementara penanggalan pun sobek-sobek juga
Dan wakilmu yang setia, arloji itu
Berhitung-hitung dengan angkuhnya
(Sebelum Tidur)
25. U. Nurochmat
RANTING DI TEPI KUBURAN
Adalah bulan sepotong semangka
Sinarnya temaram di ranting cempaka
Nun di atas dahan kiara tua
Burung hantu mengusir senja
Gundukan kubur rebahan waktu purba
Desis kelelawar getarkan jiwa
Ranting tua tak lagi bertahta
Esok lusa waktunya kan tiba
Seulas kisah kubenamkan
Pada helai waktu yang jenjang
Desah napas kian tertahan
Menanti sang detik detak terhenti
(Tak Perlu Bertanya Lagi)
Buat: Anak-anakku yang tajam dengan puisi
Langganan:
Postingan (Atom)