Selamat Datang

Rabu, 26 September 2018

LAPORAN MEMBACA BUKU PUISI

ADA TANGIS DI KLENTENG

Mengupas puisi
Klenteng Boen Tek Bio
karya Rini Intama

Oleh Ujang Kasarung

Sejarah, dengan tapak jejak peninggalannya, merupakan salah satu objek yang menarik untuk dijadikan sebagai sumber tema penulisan karya fiksi. Kita dapat eksplorasi di lingkungan kota sendiri. Hal demikian  telah dilaksanakan oleh penyair Rini Intama. Penduduk Tangerang ini mencoba menyusuri jejak sejarah dan budaya Tangerang lalu menuangkannya ke dalam bentuk karya sastra yaitu puisi. Puisi-puisi apiknya hasil kontemplasi dengan alam sejarah kotanya itu dibukukan dengan judul Kidung Cisadane. 
Salah satu puisi dalam buku tersebut berjudul Klenteng Boen Tek Bio. Membaca judulnya saja, kita sudah digiring ke wilayah pecinan. Penduduk Tangerang tentu hafal dan mahfum akan Klenteng bersejarah tersebut. Bagi pembaca yang belum tahu klenteng tersebut, jangan khawatir Rini Intama telah mendeskripsikan gambaran rumah ibadah tersebut dengan transparan dan apik. Untuk lebih jelasnya, mari kita baca puisi Klenteng Boen Tek Bio berikut!

Di jalan setapak Pasar Lama, sepanjang Cisadane
Klenteng megah bercampur aroma pasar dan asap hio
Lampion-lampion dan ribuan doa menggantung
Tuhan mengirimkan cahaya ! 

Di jalan setapak Pasar Lama, sepanjang Cisadane
Rumah doa tak pernah sunyi, lonceng tua berbunyi
Patung singa menjaga, suara-suara harapan bergema
Bercampur teriakan orang menjaja kue dan bunga 

Di depan altar, beberapa tetua menitikkan air mata
Seperti menunggu giliran mayatnya menjadi abu 
Mulut mereka komat kamit berdoa dan bercerita panjang
Soal jauhnya jarak antara dia dan sejarah 

Puisi yang terdiri atas 3 bait tersebut didominasi oleh deskripsi objek berdasarkan hasil pandangan mata. Pembaca tidak perlu bersusah payah melumat latar yang ditampilkan. Baik latar waktu, tempat, dan suasana disajikan tanpa bungkus. Jalan setapak Pasar Lama, sepanjang Cisadane bahkan diulang pada bait kedua, aroma pasar, asap hio, dan ciri khas klenteng ditampilkan dengan gaya sederhana. Tanpa perlu mendikte pembaca tentang suasana puisi tersebut. Jadi secara fisik, puisi itu, memang hanya itu.
Lalu apa yang dapat dipetik oleh pembaca jika demikian? Di sinilah maksud Martin Heidegger (Lukamata, Aspahani) bahwa puisi bukan saja sumber kenikmatan estetik, tetapi juga mendedahkan nalar "baharu". Nalar puitik, demikian Heidegger menyebutnya. Apa yang diharapkan Rini dari pembaca selain menyadari suasana lingkungan klenteng di Pasar Lama Tangerang tersebut? Bait pertama Rini mengangkat suasana fisik dengan tetap menghadirkan peranan Tuhan sebagai Pemilik Semesta, habluminalloh. Pada bait kedua Rini kembali menebar suasana fisik. Hanya pada bait ini Rini menghadirkan kehidupan masyarakat yang giat berjuang (berteriak menjajakan dagangan) sebagai objek dalam kesehariannya makhluk sosial, habluminanas. Dan pada bait ketiga Rini dengan gaya yang lembut menuntun pembaca menyadari bahwa manusia memiliki kepastian tentang "ajal". 
Rini benar-benar bijak mendedah nalar puitik. Ia tampilkan para orang yang sudah tua (jauh jaraknya dari sejarah). Mereka berkomat kamit berdoa di depan altar sambil menitikkan air mata. Entah air mata penyesalan, atau air mata ketakutan membayangkan mayatnya menunggu giliran dikremasi. Puisi ini selain apik secara fisik, juga bernas dalam makna.

Cikini, 26 September 2018