Selamat Datang

Senin, 01 Desember 2014

ANEKDOT
Anekdot adalah cerita singkat berdasarkan pengalaman pribadi yang terkesan lucu. Walaupun lucu, anekdot tidak ditujukan untuk lelucon karena di dalamnya ada tersirat atau tersurat menyampaikan sebuah renungan tentang kebenaran sebuah realita.
Struktur anekdot meliputi:
1.       Realita, abstraksi: adalah gambaran umum yang dapat diterima kebenarannya sebagai paragraf pengantar pada masalah.
2.       Pengenalan, orientasi: adalah latar belakang peristiwa.
3.       Konflik, krisis: adalah permasalahan yang terjadi yang dialami tokoh cerita, biasanya disertai percakapan agar lebih hidup.
4.       Reaksi, resolusi: adalah bagian cerita yang berupa dampak dari konflik atau krisis.
5.       Koda: adalah simpulan atau penguatan bisa tersirat atau tersurat berisi pesan yang ingin disampaikan.
Contoh:
ULANGAN IPA
Mencontek bagi beberapa siswa sudah tidak lagi dianggap prilaku yang tidak wajar. Mereka umumnya sudah menyiapkan contekan dengan modus yang tidak dapat dideteksi oleh guru atau pengawas ruang.  Prilaku curang ini tentu saja sering terjadi di sekitar kita, khususnya dalam dunia pendidikan. Seperti yang saya alami beberapa tahun yang lalu.
Anekdot itu indah
Pada suatu hari saat ulangan IPA, saya sudah sejak malam menyiapkan contekan pada sehelai kertas dengan tulisan yang sekecil mungkin agar dalam kertas sedikit dapat memuat informasi sebanyak mungkin. Contekan itu saya selipkan pada tali jam tangan yang saya pinjam dari Ayah. Maklum saya tidak pernah pakai jam tangan. Ulangan pun berlangsung.
Sepuluh menit pertama kelas hening, seluruh siswa terpaku pada naskah soal. Namun pada menit-menit berikutnya banyak siswa yang mulai gelisah karena soal yang mudah sudah selesai dikerjakan. Itupun hanya beberapa soal saja. Sisanya benar-benar buntu. Maka akal curang saya mulai bekerja. Saya perhatikan pengawas duduk di depan dengan menahan kantuk. Ini kesempatan! Pikir saya. Lalu dibukanya dengan hati-hati “bekal” yang saya selipkan pada tali jam tangan. Secarik kertas sudah di genggaman. Lalu kubuka. Binggo! Aku tersenyum melihat tulisan yang diperlukan ada pada kertas tersebut.
Bajuku ada yang narik dari belakang. Ini pasti si Rukman minta jawaban.
“Sebentar!” bisikku sambil terus membaca contekan.
Tak lama terasa bahuku dijawil dari belakang. Rupanya si Rukman tidak sabaran.
“Nih, kamu baca sendiri!” bisik saya sambil mengulurkan tangan ke belakang secara perlahan agar tidak menarik perhatian pengawas.
Lalu sebuah tangan menyambut uluran tangan saya dari belakang. Tetapi yang dipegang bukan kertas contekannya, melainkan pergelangan tangan. Saya kaget, lalu kutoleh.
Oh, My God … sebuah wajah dingin berkacamata menatap tajam tidak jauh dari ubun-ubun saya. Rupanya pengawas tanpa setahu saya sudah berdiri di belakang saya. Bisa jadi sejak tadi. Saya tidak perlu menceritakan sanksi apa yang saya terima. Pokoknya saya saat itu dianggap batal ulangan. Karuan saja, saya ditertawakan teman-teman sekelas. Sungguh betapa malunya saya.
Sejak kejadian itu saya benar-benar kapok melakukan kecurangan seperti itu. Memang, selain prilaku itu merupakan perbuatan curang, dan sama saja dengan membodohi diri sendiri, juga perbuatan itu termasuk dosa di mata Tuhan.


Jakarta, 10 November 2014
U. Nurochmat