Selamat Datang

Selasa, 18 Oktober 2022

PANTUN NASIHAT GURU KEPADA MURIDNYA

 

PANTUN NASIHAT GURU KEPADA MURIDNYA

Oleh: Ujang Kasarung

 

1.

Membawa unta ke kota mekah

Dari Turki sudahlah tentu

Jika kita hendak sedekah

Tangan kiri janganlah tahu

 

2.

Tiada tangga sebilah papan

Beli jati di kualanamu

Tiada bangga berwajah tampan

Jika diri tidak berilmu

 

3.

Mengolah jamu di pinggir bukit

Dapat sekepal dibuat obat

Carilah ilmu setinggi langit

Sebagai bekal dunia akhirat

 

4.

Pulau bintan tempat berlibur

Ke singgalang sempatkan juga

Kalau perkataan sempat takabur

Ruh terhalang masuk surga

 

5.

Biri-biri sedang diikat

Tak membantah makan jerami

Ciri-ciri orang yang taat

Perintah Tuhan dijalani

 

6.

Paralayang di atas lembah

Bagai merpati terbang berangkai

Bila orang sedang bergibah

Dia seperti memakan bangkai

 



 

Review karya teman dalam kegiatan
Bengkel Sastra Guru

Yang diselenggarakan oleh

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

2022

 

 

 

“Membaca puisi adalah menangkap kilatan-kilatan pikiran dan perasaan yang diungkapkan penyair.

Seorang pembaca akan tergetar perasaannya dan merinding bulu kuduknya jika kilatan-kilatan pikiran

pikiran dan perasaan yang ditembakkan sang penyair mengenai sasarannya.”

(Acep Zamzam Noor: “Puisi Bulu Kuduk”, Nuansa, 2011)

 

Ketika para penyair yang sudah profesional ditanya, bagaimana cara Anda menulis puisi? Pasti jawaban mereka akan berbeda-beda, dan cenderung samar, bahkan bagi para penulis yang baru duduk di kelas ingin jadi penyair yang tentu masih minim kosakata dunia kepenyairan, akan lebih berasa absurd. Namun apabila diperhatikan, ternyata ada benang merah di antara pernayataan para penyair. Yaitu, menulis saja apa yang ingin kamu tulis! Persoalannya, setelah kita selesai menulis puisinya, apakah puisi kita layak disebut puisi? Menarikkah puisi yang kita tulis bagi pembaca? Sampaikah amanat atau nilai moral yang kita titipkan dalam rahim puisi?

Lebih celaka lagi, demi moralitas dan kesantunan banyak penyair dan atau pengamat puisi yang kebetulan berkesempatan komunikasi langsung dengan para pemula selalu memuji karya pemula dan memotivasi mereka agar terus menulis. Akibatnya, mereka – si pemula – jumawa bahwa puisi mereka sudah dianggap berhasil. Sekalinya ada kritikus sastra yang blak-blakan puisi ini jelek, puisi ini tidak layak, bahkan terhadap karya yang sudah jelas-jelas memenangi lomba menulis puisi, terlalu berani tanpa memperhatikan etika sosial, akibatnya dimusihi masyarakat sastra. Memang sulit menemukan tokoh sastra yang bisa mengemukakan opininya secara proporsional. Ini pendapat saya pribadi, jadi subjektif.

Setelah saya mencoba menyimak satu persatu pendapat para penyair kondang, dan para pengamat sastra yang tentu saja sebatas yang saya bisa, akhirnya saya menyimpulkan bahwa tugas penulis adalah menulis saja apa yang ingin kamu tulis. Apakah nantinya akan jadi penyair atau tidak, itu tidak perlu dipikirkan. Goenawan Muhamad pernah mengungkapkan tentang kepenyairan dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Malin Kundang. 1972: “Kepenyairan hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.” Atau simak Adri Darmadji Woko: “Alangkah kasihannya, kalau semata-mata orang berkarya karena dia ingin disebut penyair.” Jadi, marilah kita menulis, menulis dan terus menulis. “Puisi adalah apa yang diniatkan penyairnya sebagai puisi”. Demikian kata Sutardji Calzoum Bachri.

Gayung bersambut keinginan yang menggebu ratusan bahkan ribuan guru di Tanah Air didengar oleh Badan Bahasa. Maka lahirlah kegiatan Bengkel Sastra Guru (Bengsgur). Semoga bersiklus. Beberapa karya yang disodorkan para guru, selanjutnya disebut peserta, ternyata sudah memberikan sinyal harapan akan potensinya masing masing. Potensi yang saya maksud adalah bakat yang memungkinkan untuk diasah, dan ditumbuhkembangkan menjadi karya yang cemerlang. Kalau begitu, berarti karya, dalam hal ini puisi yang disodorkan peserta belum maksimal? Ya, saya terpaksa mengatakan demikian, bisa jadi termasuk puisi saya yang saya anggap puisi terbaik saya. Banyak faktor yang dapat menghitamputihkan sebuah karya khususnya puisi. Kita perhatikan puisi yang berjudul Jimat untuk Anakku dan Sesal Ingin karya Umi Rahayu berikut.

 

Jimat untuk Anakku

 

Anakku

Kelak tiba waktunya kau akan berjalan sendiri

Menyusuri dunia penuh warna

 

Jangan gamang!

Pegang kuat jimat dari ayahmu.

Genggam, jangan kau lepaskan.

 

Jaga hidayah Allah

Carilah tulang rusukmu yang berbalut sahadat

Lihat tali darahmu

Selipkan Bahagia hak duafa

 

Anaku,

Bibirmu bukan kaleng

Tariklah untuk tersenyum setulus telaga.

Tegurmu tidak berbayar

Sapalah semesta selembut embun

Sehangat mentari pagi.

Wajahmu bukan awan Desember

Beningkan seteduh purnama.

 

Sesal Ingin

 

Tetes air mata aliri pelupuk

Tiap ingat ingin itu

Ingin ibu bisa menyentuh Ka’bah

Ingin ibu berdoa di multazam

 

Maafkan anakmu ibu

Lembaran proklamator yang terkumpul

Belum dapat melangkah jauh

Baru sampai diujung saku

 

Hanya tertingal sesal

Allah lebih dulu memanggil kembali ke alam kekal

Perih hati

Andai dapat ingin itu jadi bekal

Pemenuh rukun penuai amal

 

Pertanyaan pertama, apakah ini puisi? Selama penulisnya meniatkan tulisan ini sebagai puisi, maka ini adalah puisi (lihat: Sutardji!). Apakah kilatan-kilatan pikiran dan perasaan sudah berhasil merindingkan bulu kuduk pembacanya? Itu persoalan lain dan itu tidak perlu dipikirkan. Keberhasilan sampai pembaca merinding bulu kuduk (pinjam istilah Kang Acep Zamzam Noor) dipengaruhi oleh pengalaman, pengamatan, kepentingan, daya nalar, kosakata, lingkungan dan banyak lagi dari penulis sebagai komunikator dan pembaca sebagai komunikan. Makanya ribet bila harus memikirkan tujuan kita sampai atau tidak pada pembaca. Dengan kata lain, tugas kita menulis dan menulis.

Ketika saya berdiri pada posisi sebagai pembaca, maka saya punya hak pandang terhadap karya (puisi) yang saya baca. Dan pada saat puisi itu diluncurkan ke khalayak, saat itulah penulis harus ikhlas puisinya menjadi milik masyarakat pembacanya.

Membaca kedua puisi tersebut kita dibawa ke dalam dunia keluarga yakni keluarga penulis. Puisi pertama, Jimat untuk Anakku (JuA) berisi nasihat seorang ibu kepada anaknya (laki-laki). Nasihatnya, ya, seperti umumnya nasihat orang tua kepada anak. Tidak ada yang istimewa. Semua yang pernah, atau sedang jadi orang tua tentu memahami konten nasihat yang disampaikan. Seandainya amanat atau pesan yang ingin disampaikan penulis seperti apa yang tersurat, maka seratus persen sampai dan berhasil. Masalahnya, penulis, yang memang seorang ibu dari seorang putra lelaki, enggan beranjak dari sudut pandang dirinya. Jika saja ia (penulis) berani mencoba menggunakan sudut pandang yang berbeda, kemungkinan, nasihat yang dianggap hal sederhana akan berasa lebih gurih saat dibaca. Namun demikian, pada sisi lain penulis menyadari sedang menulis puisi. Dia sudah mencoba menggunakan majas sejak menulis judul. Jimat adalah ungkapan yang maksudnya nasihat, atau klausa tulang rusukmu yang berbalut sahadat yang dimaksud adalah wanita muslimah. Dan klausa ini pula yang menggiring pembaca pada pemahaman bahwa anaknya lelaki dewasa. Walau pada metafor lain saya berkerut kening. Perhatikan pada larik Tariklah untuk tersenyum setulus telaga. Karena saya belum dapat menarik perbandingan sifat atau apapun antara senyum yaitu keramahan dengan telaga. Malah saya lebih menangkap telaga sebagai suasana yang tenang, damai, sepi, atau sejuk.

Begitu pula pada puisinya yang kedua, penulis sudah berhasil menyadari bahwa dirinya sedang menulis puisi. Pada judul, Sesal Ingin sudah menunjukkan warna fiksinya. Begitu pun dalam tipografi, larik demi larik, pemanfaatan majas, pemilihan diksi sudah menawarkan suasana kekhasan karya fiksi. Hanya saja perlu hati-hati, alih-alih ingin tampil beda, malah terpeleset pada pemilihan diksi yang salah makna. Saya tertarik pada larik pertama Tetes air mata aliri pelipuk. Apabila kita perhatikan, larik ini sudah menunjukkan kefiksiannya. Ada imaji pada jiwa pembaca. Namun apakah memilih kata /pelupuk/ yang dipadukan dengan /aliri/ sudah tepat? Memang ada ungkapan yang sudah basi tetes air mata mengalir di pipi. Mungkin penulis ingin mengungkapkan dengan cara berbeda. Niat yang bagus. Hanya saja, setelah saya buka kamus, bahkan gambar tentang pelupuk yang sama saja dengan kelopak mata, tentu kurang masuk akal jika tetes air mata aliri pelupuk. Berbeda dengan pengungkapan alam kekal pada bait ketiga larik kedua.

Selanjutnya, walau puisi memiliki lisensia puitika tidak berarti kita abai terhadap PUEBI. Lain halnya bila kita menulis puisi absurd, kontemporer, atau mbelink. Apalagi kita sebagai guru Bahasa Indonesia sudah selayaknya jadi pengawal keajegan berbahasa. Berikut ini saya coba mengajak pembaca berdiskusi tentang kebenaran penulisan pada puisi kedua. Sudah tepatkah penulisan kata-kata yang saya cetak tebal?

 

 

1.      Anaku

Birirmu bukan kaleng

 

2.      Tetes air mata aliri pelupuk

Tiap ingat ingin itu

Ingin ibu bisa menyentuh Ka’bah

Ingin ibu berdoa di multazam

 

Maafkan anakmu ibu (tanpa koma setelah kata anakmu)

Lembaran proklamator yang terkumpul

Belum dapat melangkah jauh

Baru sampai diujung saku

 

Eni Meiniar dari Bengkulu kelihatannya sudah berani beranjak menggapai problematik kehidupan yang lebih umum, lebih meregional, bahkan menasional. Mari kita lihat puisi yang berjudul Hujan Kini di Bulan Juli. Walau tanpa subjudul Kepada Sapardi Djoko Damono (SDD) sekalipun, pembaca yang akrab dengan dunia sastra, akan mengerti bila saat ini masih viral atas wafatnya Mas SDD. Dan tampaknya Eni memiliki amunisi cukup untuk menulis puisi yang didedikasikan pada SDD. Eni sudah banyak membaca karya fenomenal SDD seperti Hujan Bulan Juni, atau Aku Ingin secara tersirat dan tersurat nuansanya terasaa dalam puisi Eni. Bahkan Eni pun mengenal baik langsung (mungkin) atau tidak langsung sosok begawan puisi tersebut.

 

Hujan Kini di Bulan Juli

Kepada: Sapardi Djoko Damono

 

Satu huruf selisih lebih.

Dukaku terkuak.

Lebur senyummu sudah.

Baret hitammu pertanda.

 

Sesederhana cintamu, tak sampai.

Selukis senyummu, damai.

Sinar retina menembus kaca.

Deretan aksara menuai kasih.

 

Kukenang, Hujan di Bulan Junimu.

Hujan kini di bulan Juli.

Menderas luruh di kalbu.

Kepangkuan-Mu muara temu.

 

Tak sesederhana cintamu.

Cinta-Nya hakiki.

 

 

 

Bagaimana setelah Anda baca? Bisa jadi setiap pembaca menangkap kesan yang berbeda. Saya sendiri merasa terhipnotis dengan judulnya. Apalagi ini ditulis (bukan) oleh penyair kesohor. Namun saat membaca, saya kecele kupikir akan menemukan suasana duka atau langit kelabu seakan alam akan hujan sebagai rasa turut berduka di bulan Juli. Walau memang Eni menggnakan kata duka tetapi itu mengarah pada judul puisi atau buku SDD. Saya merasa ada nuansa seorang anak kecil yang tidak terpengaruh oleh suasana duka. Aku (lirik) masih asyik merekam fragmen-fragmen istimewa semasa hidup SDD. Salahkah? O, tentu tidak! Inilah yang saya maksud beda. Eni berhasil tampil lincah tanpa mencederai suasana duka.

Ada yang mengganggu visual saya pada puisi Eni adalah tanda titik (.) pada setiap akhir larik. Saya tidak paham, maksud dari pencantuman titik tersebut. Memang SDD pernah mengungkapkan dalam bukunya Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014) perihal perbedaaan berita dengan karya puisi adalah pada tanda baca. Tetapi yang maksudnya adalah penghilangan dan anjambemennya, bukan penambahan tanda baca atau kata yang tidak perlu.

Berikutnya yang tidak bisa dibilang sepele, adalah penggunaan klitika -ku, -mu, -nya pada orang atau Tuhan. Seperti yang pernah disampaikan oleh Acep Zamzam Noor pada sesi pertama, bahwa penggunaan klitik harus konsisten sesuai dengan sudut pandang penulis. Nah, sekarang perhatikan larik-larik berikut!

 

Kukenang, Hujan di Bulan Junimu.

Hujan kini di bulan Juli.

Menderas luruh di kalbu.

Kepangkuan-Mu muara temu.

 

Tak sesederhana cintamu.

Cinta-Nya hakiki.

 

Pada puisi ini penulis sejak awal memosisikan aku (lirik) dengan kamu untuk SDD. Namun tiba-tiba ada ungkapan Kepangkuan-Mu muara temu. Melihat penulisan /-Mu/ menggunakan huruf /m/ kapital, itu berarti yang dimaksud adalah Tuhan. Sementara dalam puisi ini /-mu/ adalah SDD. Apakah tidak rancu? Lebih jelas lagi ketika /-Nya/ pada larik Cinta-Nya hakiki. Di sini Tuhan diposisikan sebagai pihak ketiga. Memang hal seperti ini kadang bisa kita hindari dengan berulang-ulang membacanya sebelum membagikan ke publik.

Tidak berbeda dengan suasana puisi pertama, puisi kedua yang berjudul Rindu yang Tersekat juga bersuasana ceria, lincah, optimis padahal konflik yang terdapat dalam teks tersebut adalah ketersekatan diri menahan rindu akibat Pembatasan Sosial Bersekala Besar. Hebat!

 

Rindu yang Tersekat

 

Kecipak riak gemuruh di dada.

Tak sua.

Adaptasi kebiasaan baru.

Terekam di kalbu.

 

 

 

 

Tenggelam mulut dalam masker.

Tangan tak dekap.

Rindu sua.

Ranting waktu luruh mengeram waktu.

 

Bagaimana kusapa dikau?

Jari lentik di dunia segi empat kita.

Bermaya-ria.

Temu?

Si renik meraung-raung ke paru-paru.

Tak mungkin simpan badai digenggaman.

Bertambah angka bertambah duka.

 

Kuingin dekap nyaman di jiwa.

Ku ingin tatap tanpa jeda.

Kuingin temu berbagi cerita.

Seperti sedia kala

di kelas kita yang ceria.

 

Tidak ada keruwetan dalam suasana puisi ini. Ini akan menjadi ciri khas Eni dalam berkreasi. Tinggal sering berlatih, dan membaca karya-karya para penulis lain baik penulis besar maupun penulis yang belum besar. Sebagai komparasi dalam berkarya. Dengan berkomparasi disadari atau tidak, penulis akan merasakan mana kata yang cocok untuk mendeskripsikan ini itu. Tidak hanya sekadar gagah atau berbeda. Coba perhatikan Si renik meraung-raung ke paru-paru. Ungkapan si renik dalam konteks ini adalah korona (tafsir saya), karena kecilnya disebut Si Renik. Bolehlah, Eni dalam hal ini memang lucu, nggemesin. Tetapi saat disandingkan dengan kata meraung-raung (masih tafsir saya) kok, kurang padu! Meraung-raung memiliki konotasi menyeramkan, sangar, gahar, seram. Jadi perpaduan diksi pada ungkapan Si renik meraung-raung ke paru-paru rasanya kurang padu.

Sebagai penutup, tak ada gading yang tak retak. Pedagang obat kumis tidak harus berkumis. Demikian halnya dengan saya. Saya menulis seperti ini bukan berarti puisi atau tulisan saya sudah paripurna. Ini hanya sebagai bentuk kepedulian terhadap proses pembelajaran yang saya sedang jalani.

 

 

Jakarta, 23 Agustus 2022

Salam dan doa baik

 

 

Ujang Nurochmat