Selamat Datang

Senin, 26 Oktober 2009

BUNDA
Karya Tasya Noveria

Bundaku...
Engkau mengandungku selama 9 bulan
Dengan susah payah kau melahirkan dan mendidikku
Segenap tenaga, cinta dan kasih sayang kau berikan untukku

Oh Bunda...
Selama ini engkau telah merawatku
Dengan penuh kasih sayang
Engkau berjuang dalam setiap rintanganDemi anakmu

Namun...
Aku belum sempat membalas semua kebaikanmu
Ketika aku ingin membalas kebaikanmu
Kau telah pergi, meninggalkan diriku

Ya Tuhan...
Mengapa ini terjadi padaku
Serasa tak adil bagiku
Ya Tuhan...
Aku sangat menyayangi bundaku
Berikan dia tempat yang terbaik disisimu

BUNDA

Kami Tak Perlu Bertanya Lagi

KAMI TAK PERLU BERTANYA LAGI
U. Nuruochmat

Kami tak perlu kaget lagi
Ketika empat lelaki
Mengusung serpihan daging orang mati
Korban ledakan bom peradaban keji.

Kami tak perlu menangis lagi
Bila sore nanti iring-iringan peti jenazah
Menuju kuburan di ujung kota
Melintasi hati yang kian sepi

Kami hanya bisa menyapa
Lewat kaca-kaca buram
Atau jendela
Pada anak-anak remaja
Yang membawa batu, katapel, atau senjata

Dan sorot mata yang lelah
Tetap membalas
Dengan seruan nama Tuhan
“Semoga kau besok lewat kembali, Nak!”

Karena entah berapa entah
Remaja-remaja itu
Beberapa hari yang lalu
Beberapa minggu yang lalu
Bulan
Tahun
Puluhan tahun
Pulang diusung teman-teman yang masih bertahan
Berselimut bendera kebangsaan
Dengan wajah tenang

Kami tak perlu menghitung lagi
Beberapa generasi kami yang sahid
Suami, anak, keponakan, kakak,
Adik, mertua, istri, cucu, tetangga
Dan entah berapa entah
Kami harus terus menyaksi
Barisan batu nisan di hari-hari nanti

Kami tak perlu bertanya lagi.



September 2007

Naskah Drama 2

LIDAH TAK BERTULANG
Karya: Drs. U. Nurochmat

Pelaku:
1. Irma : Pelajar SMP
2. Esti : Pelajar SMP
3. Janet : Pelajar SMP
4. Reni : Pelajar SMP (siswa baru)

Drama berlangsung dengan latar di sebuah warung yang mangkal di pinggir jalan di depan sekolah. Namun warung tersebut masih tutup. Pagi itu cukup cerah ketika Lena, Esti, Janet, dan seorang siswi baru sedang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Irma datang tergopoh-gopoh karena kesiangan.

Adegan I
IRMA : (heran melihat teman-temannya malah berkumpul di warung Pak Edi) Hei, kok, masih pada mejeng di sini? (memandang ke arah kiri panggung) lho, sekolah kita sepi? (Esti tidak jadi menjawab karena Irma langsung memotong) Sebentar-sebentar … (meletakkan telunjuk menyilang di bibirnya seraya berpikir) Ini pasti ulah guru-guru kita. (menatap satu persatu teman-temannya dengan hati-hati) Mereka sedang rapat, kan?
ESTI : Memangnya kemarin kamu tidak membaca pengumuman di mading? Ketua kelas kita saja mengumumkan di depan kelas.
IRMA : Gimana mau baca? Aku kan nggak masuk sekolah.
JANET : Makanya kalau sekolah yang rajin, sehingga tidak ketinggalan informasi.
IRMA : (Menyadari ada anak baru, Irma meliriknya) Ini siapa, ya?
ESTI : Oya, aku sampai lupa. Kenalkan, ini Reni. (pada siswi baru) Ren, kenalkan ini teman kita Irmawati. (Irma dan Reni bersalaman)
RENI : Reni Ambarsari.
IRMA : Irmawati. Kamu siswa baru di sini? (Reni mengangguk dengan ramah) pindahan dari mana?
RENI : Aku pindah dari Bandung. Dari SMP Negeri 2.
ESTI : Kalian berbincang-bincang dulu, ya! Aku kangen sama toilet dulu.
JANET : Huh, dasar beser! (mengiringi kepergian Esti)


Adegan II
JANET : Nah, sekarang mumpung lagi libur. Kita adakan acara perkenalan dengan Reni, bagaimana?
IRMA : Tepat! Tapi sayang, ya, Reni jadi belum bisa berkenalan dengan teman-teman sekelas kita, dan juga guru-guru kita. (berwajah menyesal).
JANET : Itu, kan, masih banyak waktu. Besok juga bisa. (wajahnya mendadak ceria) Nah, bagaimana kalau kita ajak Reni ke Monas? Kita makan-makan di sana?
IRMA : Tapi siapa yang bayar?
JANET : Tenang saja! Kan, ada aku. (bergaya bos).
IRMA : Kalau hari ini nggak libur, kamu pasti bisa disambut meriah oleh teman-teman dan guru di sini, Ren. Nanti kamu akan berkenalan dengan guru paling angker di sini. Namanya Pak Nurdin.
RENI : (tersenyum penasaran) Memang ada?
IRMA : Di Bandung pasti nggak ada. Guru ini galaknya nggak ketulungan. Kalau ngajar, nggak ada siswa yang berani berulah. Kalau salah sedikit saja, langsung segala caci maki berhamburan dari mulutnya yang item, tebel, tertutup kumis. Kaca mata tebalnya yang melorot akan terguncang-guncang. Pokoknya seru. Lucunya lagi, kalau dia marah, suka terbatuk-batuk kecapean. (Janet tidak kuat menahan tawa, sementara Reni hanya tersenyum)

Adegan III
Esti datang lagi dan duduk menjejeri Reni.
IRMA : (Tidak peduli atas kedatangan Esti dan melanjutkan ceritanya). Kamu juga bisa melihat kepalanya yang botak dan licin, bahkan tuh, kepala bisa dipakai main pingpong, kali. (Janet semakin terbahak-bahak sementara Reni tetap tersenyum).
ESTI : (ingin tahu) Siapa, Ir?
IRMA : Pak Nurdin, guru Matematika kita.
ESTI : Apa? (kaget) Ir!
IRMA : Nih, aku sebutkan teman-teman yang sudah jadi korbannya … (menengadahkan telapak tangannya untuk menghitung, lalu merenung) Pokoknya 90 persen murid di sini pasti sudah pernah kena marahnya.
ESTI : Irma!
IRMA : Nah, Esti juga pernah disuruh berdiri dengan tangan direntangkan dan kaki diangkat sebelah. Sadis, kan?
ESTI : Ir, sudah, dong! Tidak baik menjelek-jelekkan guru. Nanti kualat kamu!
IRMA : Alah, nggak dijelek-jelekkan juga, memang sudah jelek, kok.
JANET : Lagian, bisa aja si Irma bikin orang ketawa. (Masih dengan sisa tawanya) Sudah, ah, tar keburu siang. Gimana acaranya? Jadi tidak?
ESTI : Acara apa?
JANET : Kita mau ngajak Reni jalan-jalan ke Monas. Di sana kan, ada bakso yang enak. Kamu harus ikut! Ini, kan, acara penyambutan teman baru kita.
ESTI : Bagus. Boleh. Aku setuju.
RENI : Tapi, maaf, saya tidak bisa ikut. Lain kali saja, ya? Soalnya saya di sini numpang di rumah Ua. Tidak enak, kan, baru dua hari sudah berani kelayapan.
IRMA : Memang kamu tinggal di daerah mana?
RENI : Saya tinggal di Benhil. Nanti sewaktu-waktu main bersama Esti. (bersiap-siap) Saya pamit dulu, ya. Di rumah banyak pekerjaan.
ESTI : Berani sendiri?
RENI : Berani. Naik 213, kan? (Esti tersenyum) Assalamu alaikum!
ESTI, JANET, IRMA: Waalaikum salam.
IRMA : Salam buat Uanya, ya!
RENI : Insya Allah, nanti saya sampaikan. (keluar panggung sebelah kanan)

Adegan IV
ESTI : Kenapa harus repot-repot menitip salam buat uanya pada Reni?
JANET : Memangnya kamu mau menyampaikannya? Pasti uanya punya anak yang ganteng, kan?
IRMA : Diam-diam rupanya teman kita ini punya simpanan. (senyum menggoda)
ESTI : Uanya tidak punya anak, kok.
IRMA : Terus kenapa nggak perlu titip salam sama Reni?
ESTI : Setiap hari juga kita ketemu sama uanya Reni.
IRMA : (Semakin heran) Di mana?
ESTI : Ya, di sekolah kita. (Memasang tampang tanpa beban). Uanya Reni itu … Pak N u r d i n !!! (Melongok, kaget, terpana sehingga tidak bisa berbicara apa-apa).
JANET : (Menarik bahu Esti yang tetap bertampang tanpa beban) Gila, kamu, Es! Kenapa tidak dari tadi, kamu ngasih tau?
ESTI : (Melirik ujung jari-jari tangan Janet yang menempel di bahunya, lalu menatap Janet sejenak) Kamu tadi tidak ingat ketika aku berkali-kali memotong ucapan dia (menunjuk ke arah Irma yang dengan lemas duduk di bangku panjang).
JANET : Terus bagaimana, dong, jalan keluarnya? (menghiba pada Esti).
ESTI : (Melangkah ke depan dengan tangan mengepal dan tegak) Begitulah mulut. Jika kita tidak dapat menjaganya, maka akan lebih tajam dari mata pedang. Bahkan ada pepatah: Mulutmu harimaumu.
IRMA : (Wajah putus asa, suaranya lemah). Esti, sahabatku, tolonglah aku! Aku harus bagaimana?
JANET : Jika cerita itu sampai ke telinga Pak Nurdin, oh, aku tidak bisa membayangkan Irma akan dicoreti wajahnya dengan spidol. Lalu disuruh teriak-teriak keliling kelas dengan kalimat,”Pak Nurdin, saya memang bermulut ember!” Dan itu disuruhnya dilakukan berulang-ulang sampai jam pelajaran matematika selesai, oh! (lirih).
IRMA : Janet! (Membentak, hampir menangis) Jangan kamu takut-takuti aku seperti itu! Tanpa kamu takuti juga, aku sudah ketakutan.
ESTI : Berdoa saja, semoga Reni tidak menyampaikannya. Jadikan ini sebagai pelajaran buat kita agar bisa memelihara lidah.
IRMA : Baiklah, aku mau bertobat (berlari ke arah kanan)
JANET, ESTI : Ir, tunggu! (berlari mengejar Irma).

Selesai


Jakarta, 27 Juli 2006

Naskah Drama

FOGING
U. Nurochmat

Pelaku:
1. Wahyu : Tukang sol sepatu
2. Raban : Pesuruh di balai desa
3. Bi Acih : Pedagang di warung
4. Atin : Pelajar SMP, anak Bi Acih
5. Hasan : Mantri kesehatan

Latar:
Panggung menggambarkan suasana warung Bi Acih pada suatu siang. Jam dinding di warung itu cukut jelas terlihat menunjukkan waktu pukul 13 lewat 7 menit. Di depan warung dekat tiang teronggok pikulan sol sepatu milik wahyu. Wahyu sendiri sedang sibuk mengunyah goreng pisang.sementara Raban sedang meniupi kopi yang dihidangkan Bi Acih.Sedangkan Atin, yang masih berseragam sekolah, sedang mencuci gelas dan piring kotor di samping warung. Bi Acih sedang menggoreng pisang.

Adegan 1

01. WAHYU : (Mulutnya masih disesaki kunyahan goreng pisang) Jadi, selanjutnya bagaimana kalau begitu?
02. RABAN : (Mengaduk-aduk kopinya dengan sendok. Agak malas menjawab) Ya, nggak tahulah. Tapi denger-denger, Senin besok akan dimusyawarahkan lagi.
03. BI ACIH : (Tanpa menghentikan pekerjaannya, menoleh sebentar) Wah, penduduknya keburu banyak yang mati kalo begitu. Masalah kecil saja, musyawarahnya harus beberapa kali.
04. ATIN : (Membawa piring dan gelas yang sudah selesai dicuci lalu berhenti di samping ibunya) Tadi di sekolah Atin sudah ada yang dipulangkan karena sakit. Katanya sih, kena DBD.
05. RABAN : Ya, gak tahu, itu urusan Pak Lurah, Tin. (menyeruput kopi) Saya, kan, cuma pesuruh. Maunya kita memang ingin serba cepat, tapi urusan para pejabat, kan tidak sesederhana itu. (kepada Wahyu) Betul, kan?
06. WAHYU : (tersenyum menyindir) ya, memang. Apalagi ini urusan nyawa, Kang! Kalau aparatnya gesit, tentu gak begini. Cuma ngurus pengasapan nyamuk saja perlu musyawarah berhari-hari.

Adegan 2
(Atin keluar panggung arah kanan)

07. BI ACIH : Di Kampung Jongos saja sudah disemprot kemarin.
08. RABAN : Lain, Bi. Desa mereka, kan, pake iuran dari masyarakat. Jadi dananya bukan dari kas desa.
09. BI ACIH : Aih-aih, kamu ini, bagaimana, Ban? Kampung kita juga iuran. Kalau gak salah, Pak RT yang nagihin dua minggu yang lalu.
10. RABAN : (mengambil pisang) Ya, gak tahulah, kalau begitu.
11. WAHYU : Kang Raban ini pegawai desa, tapi tidak tahu. Jangan-jangan Kang Raban tidak ikut iuran, ya?
12. BI ACIH : Ya, nggaklah!
13. RABAN : (tersenyum malu)

Adegan 3
(Hasan datang dengan pakaian dan tas dinasnya. Dia tampaknya sudah biasa mampir di warung Bi Acih)

14. RABAN : (Girang melihat kedatangan Hasan) Nah, Pak Hasan, nih, yang mengerti masalahnya. Kamu boleh tanya lebih banyak kepada Beliau.
15. HASAN : (Duduk di samping Raban) Apa, sih? (tersenyum) Minum saja belum, sudah dituduh mengerti. Coba Mas Raban ceritakan dulu, apa persoalannya?
16. WAHYU : Aku yang ngomong! (sambil mengubah posisi duduknya) Di beberapa kampung sudah banyak yang terkena demam berdarah, Pak.
17. HASAN : (Hanya melirik dan tersenyum. Perhatiannya segera beralih kepada Bi Acih) Tolong buat es teh manis, Bi.
18. WAHYU : (Tidak terpengaruh untuk melanjutkan pembicaraannya) Beberapa minggu yang lalu Pak RT memberitahukan bahwa pengasapan di kampung kita ini akan dilaksanakan sekarang, tapi, kata Kang Raban, belum bisa dilakukan. Nah, kenapa, tuh, Pak?
19. HASAN : (Menerima segelas teh manis dari Bi Acih) O, begitu. Mungkin belum ada biayanya?
20. BI ACIH : Sudah, Pak Mantri. Malah sudah lama.
21. HASAN : Ya, mungkin, peralatannya yang belum ada. Kalaupun ada, mungkin belum giliran kita karena keterbatasan peralatan, atau karena prosedur.

Adegan 4
(Atin datang sudah berganti pakaian)
22. HASAN : Lagi pula masalah demam berdarah tidak akan selesai danteratasi hanya dengan foging. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan bersama.
23. ATIN : Betul Pak Mantri. Kata Pak Guru juga ada cara lain yang dapat kita lakukan, yaitu 3M, menguras, mengubur, dan menutup barang-barang yang menampung air.
24. HASAN : Tuh, kalau sekolah begitu. Biar masih anak-anak, sudah banyak tahu.
25. RABAN : Benar, ya. Saya menyesal dulu nakal, jadi SD aja gak tamat. Nasibnya, ya, begini … jadi tukang sapu kantor desa.
26. WAHYU : Sama, saya juga cuma jadi tukang sol.
27. HASAN : Tapi, ingat! Menyesal kemudian tiada guna. Jadi tidak perlu kita menyesali nasib berkepanjangan. Sekatang syukuri saja yang sudah ada. Barang siapa yang pandai bersyukur, niscaya Allah melipatgandakan kenikmatannya. (semua mengangguk-angguk puas dan mengerti. Hasan meminum teh manisnya).
28. BI ACIH : Pak Hasan belum menerangkan alasan foging di kampung kita belum dilakukan.
29. HASAN : Pertama, mungkin biaya belum ada. Kalau sudah ada, kedua, mungkin peralatan terbatas. Ketiga, prosedur atau strategi pengasapan mengharuskan kampung ini ditunda penyemprotannya.
30. WAHYU : (Heran sampai mulutnya agak menganga) Maksud Pak Hasan, mm … apa tuh, tadi yang terakhir? Mmm … (memejamkan mata mengingat-ingat)
31. ATIN : Prosedur dan strategi?
32. WAHYU : (girang) Nah, itu! Produser dan apa tadi?
33. RABAN : Energi! (yakin) Duh, payah, nyebutnya aja gak bisa!
34. ATIN : (Tersenyum bersama Hasan, dan Bi Acih) Bukan, Bang! Tapi Prosedur dan strategi.
35. HASAN : Begini, (memindahkan letak gelasnya) prosedur artinya aturan atau petunjuk tatacara melakukannya. Sedangkan strategi itu taktik agar pengasapan benar-benar efektif artinya berhasil dengan baik.
36. WAHYU : Mengerti, gak? (kepada Raban)
37. RABAN : Ala, seperti kamu mengerti aja. (melanjutkan minumnya).

-=oOo=-
21 April 2005
U. Nurochmat