Selamat Datang

Jumat, 01 Maret 2019

LAPORAN PERJALANAN


JALAN BUKANAGARA MEMANG PERLU DIBUKA OLEH NEGARA

Waktu saya masih kecil, saya suka mendengarkan riwayat perjuangan almarhum Bapak yang memang tentara. Tentang perjuangannya di Tasikmalaya, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Ketika saya tanya bagaimana Bapak bisa bertugas di Subang Selatan, juga ia ceritakan. Saya tanyakan ini karena Bapak orang Banten. Salah satu kisahnya tentang peperangan di Bukanagara. Seru dan haru. Semoga saja tidak terjadi lagi. Saya juga mendengar betapa rimbanya hutan di sana. Orang Sunda mengatakan leuweung geledegan. Selain rasa takut akan mistis yang mungkin sengaja dibubui bapak dalam ceritanya, saya penasaran ingin tahu seperti apa Bukanagara. Itu sekitar tahun 1970. Ayah wanti-wanti agar saya tidak nekat pergi ke sana. Tentu saja saya mematuhi larangan itu, bukan karena takut di jalan yang hutan banyak harimau dan sebagainya, karena waktu itu, generasi saya, kelas 6 SD sudah berani pergi jauh, tetapi amarah Bapak memang menyeramkan.
Dan kini setelah hampir 50 tahun, ingat 50 tahun, saya mencoba pergi ke sana. Ternyata masih banyak yang melarang, hutannya angker, jalannya hancur, tidak ada destinasi yang menarik menjadi alasan mereka melarang. Tetapi saya tetap setia pada niat. Maka sehabis sholat Subuh, kami: saya, istri, anak sulung, sepupu (orang Kasomalang) dan sopir (Mas Agus) berangkatlah dari arah Cisalak. Begitu lepas jalan raya, masuk jalan kecil, kami sudah disambut lahan kuburan yang cukup luas. Jannya mulus sepanjang kuburan, namun selepas itu … Ternyata rusak parah. Suasana hutan sudah mulai terasa. Kami mematikan AC, dan membuka jendela kendaraan. Kesejukan hutan yang mulai menggeliat disapa mentari yang mengintip di celah bukit menyapa ke dalam kabin. Sepanjang jalan tak henti-hentinya kami mengagumi pepohonan yang tinggi besar menjulang. Terbayang umurnya. Sayang ada beberapa sampah plastik peninggalan para pelintas yang kurang mencintai alam. Sesekali kami berhenti untuk memotret keindahan, dan juga selfi. Mas Agus mengeluhkan jalan, karena ia tidak menduga bila di zaman saiki di Pulau Jawa masih ada jalan seperti ini. Sesekali gardan atau body mobil menghantam batu atau bergesekan dengan jalan saat ban masuk kubangan atau lubang.
Rasa ingin pernah menapakkan kaki di tanah salah satu tempat Bapak berjuang, mengalahkan ketidaknyamanan badan yang terguncang. Sepanjang jalan hanya dua kali berpapasan dengan mobil lain dan dua kali dengan motor. Sepanjang jalur ini tentu selain udara sejuk, kami juga menikmati orkestra belantara dengan suara burung-burung hutan yang menyambut pagi. Gumpalan tanah bekas longsor menyisakan lumpur di jalan. Untungnya bebatuan sepanjang jalan membantu ban kendaraan tidak terjerembab. Dan di ruas jalur itu ada sebuah gua kecil. Kami sempat berfoto di sana. Dugaan saya, gua yang menurut informasi dibuat tahun 1930 itu merupakan kreasi pertahanan perang, atau mungkin begal yang menunggu pelintas lewat. Ini dugaan saja, dengan mengaitkan cerita Bapak bahwa tidak ada orang yang berani lewat jika malam sudah tiba. Tetapi berdasarkan perhitungan saya sepanjang jalan ini memang sepi. Saya kira jika ada penjahat, tak perlu buru-buru untuk merampok yang melintas. Selain mobil yang tak lebih dari 10 Km/jam, juga mau teriak mintya tolong kepada siapa? Memang ada di sana sebuah warung kopi. Penghuninya 1 orang lelaki, yang saat ditanya, bukan dari daerah itu. Orang sunda menyebutnya bubuaran. Warung itu sangat menolong pelintas. Dengan air yang jernih dan besar, pelintas yang akan ke kamar kecil atau sholat dapat dilakukan di sini,
Jika kendaraan kami berupa sedan ceper … kayaknya tidak akan bisa lewat di jalur ini. Padahal topografi jalan yang berada di ketinggian 1200 dpl itu cukup menguntungkan. Jalannya landai, nyaris datar dibandingkan dengan jalan akses dari Lembang/Cikole. Bahkan tebing-tebingnya kelihatan kokoh. Kokohnya selain karena berupa batuan, juga pepohonannya mencengkeram erat. Itu artinya, jika jalan ke Bukanagara ini diperbaiki, syukur jika diperlebar agar tidak menyulitkan mobil berpapasan, saya berkeyakinan, Bukanagara akan menjadi aset Kabupaten Subang yang potensial. Pemandangannya indah. Bukit-bukit dan gunung di sana, karena kami datang lebih pagi, masih diselimuti kabut yang memesona. Sayangnya kami hanya berhenti di gerbang masuk lokasi wisata Puncak Eurad.
Setelah itu perjalanan kembali sepi sekitar 1 jam lagi sampai pintu gerbang ucapan Selamat Datang di Cupunagara. Kampung yang terkenal dengan kopi Canggahnya ini terasa tenang, damai, dan sangat cocok untuk peristirahatan. Terbayang orang kota membeli lahan-lahan di sini untuk villa. Dan penduduk setempat jadi pedagang asongan atau jongosnya. Ah, semoga penduduk setempat tidak mudah ngiler lihat rupiah.
Sebenarnya akses ke Bukanagara dari tempat kami menginap yaitu di Kasomalang, ada dua arah, pertama dari Cisalak, 16.7 Km, dan dari arah Palasari 40.2 Km. Namun waktu tempuhnya kalau lewat Cisalak yang 16.7 Km waktu tempuh menurut Google 1 jam 16 menit. Sedangkan lewat Palasari yang 40.2 Km waktu tempuhnya 1 jam 45 menit! Waktu kami berangkat, pukul 05.30 dan tiba di Bukanagara pukul 08.00. itu terjadi karena akses jalan yang rusak. Saya mengimbau kepada Bupati Subang, ni, yang baru dilantik, atau Gubernur Jawa Barat, juga belum lama dilantik, yang kata sepupu saya pernah melintas di lokasi yang masih asri itu, please, Juragan, perbaiki jalan ke Bukanagara, sediakan SPBU di sana, beri kesempatan kepada warga di sana untuk menggeliat, mengelola wilayahnya menjadi lebih berkembang lagi. Hanya 16.7 Km, Pak! Tidak terlalu panjang untuk ukuran jalan penting mah.
Jika jalan ini sudah bagus, bisa jadi ini menjadi lintasan alternatif Bandung Majalengka, atau Sumedang. Jadi tidak perlu berkeluh kesah menghadapi kemacetan di Jalancagak. Saya sebagai salah satu anak bangsa yang lahir di kasomalang, sangat menyayangkan jika Bukanagara dibiarkan tidur tidak berkembang. Bukankah di sana ada banyak destinasi wisata? Saat kami datang kami melihat pabrik teh, gedung peninggalan Belanda, goa zaman old, bukit hamparan teh, hutan perawan dengan monyet yang masih liar. Konon ada juga danau dan lain-lain yang bisa dijadikan daya tarik wisatawan lokal. Malah traveling bisa menjadikannya satu paket dengan Pamoyanan, Monumen Ciseupan, Pabrik teh Kasomalang, dan kuliner di Pasar Kasomalang yang menyajikan makanan nostalgia ala Sunda.
Bukanagara 25 Desember 2018
Ujang kasarung