Selamat Datang

Senin, 02 November 2009

Anak-anak, silakan kalian unduh puisi di blog ini sesuai dengan nomor undianmu!

U. Nurochmat

Bahan Musikalisasi Puisi

1. Hasta Indriyana

DI SUATU STASIUN KERETA

Stasiun Tugu. Kita menunggu
Waktu. Jam di tangan
Seperti ketipak andong
Di jalanan. Berpacu membawa
Muatan pelancong

Penjual cindera mata. Menawarkan
Senyum setiap orang. Akua, reroti,
Blangkon, surjan bisakah kubawa
Pulang? Ah, etalase yang selalu
Mangganggu

Musim penghujan segalanya lembab
Kita berjalan perlahan sebab kata-kata
Meluap. Dan kesedihan ziarah ke negeri cinta
Lantas kita tulis menjadi puisi

(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)

2. Hasta Indriyana

DI SUATU STASIUN KERETA-2

Gerbang ini tak jua beranjak dewasa
Rengek nakal perempuan
Penikmat juga tangis-tangis yang
Tersekat

Pintu itu masih pintu yang
Sama. Mengunci hati dengan
Makna selamat jalan dan arti
Hati-hati di perjalanan

Tempat ini melahirkan puisi
Tentang pisah dan pertemuan
Yang selalu menyita kelopak
Mata meneteskan air pelan-pelan

(dari: Tuhan, Aku lupa Menulis Sajak Cinta)

3. Slamet Sukirnanto

MAHGRIB PUN SAMPAI

Mahgrib pun sampai. Di luar jendela
Senja terbata-bata
Sebelum ayat-ayat terakhir
Sebelum sujud usai

Tuhan. Aku sendiri
Menggugurkan gelisah
Hari ini
Terimalah tutur fasih kami
(Di luar gugur
Daun trembesi)

Tuhan. Sudah sempurna
Angka-angka pada jari
Telah sempurna ayat-ayat suci
Tinggal aku sendiri. Di luar jendela
Semakin sunyi.

(Catatan Suasana)

4. Taufik Ismail

DOA

Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin

Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu

Ampuni kami
Ampunilah
Amin

(Benteng dan Tirani)

5. Taufik Ismail

SYAIR ORANG LAPAR

Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas

Risau

Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu

Kuiris

Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kuulang jua

Kalau

(dari: Benteng Tirani)

6. Agus R. Sarjono

SAJAK DINGIN

Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa sambil terengah
mendaki malam. Bumi termangu
di jauhan.

Betapa dinginnya bintang
bintang, gumam selarik doa dalam penat
meniti harap. Panjang sudah
baris-baris duka
helai-helai airmata.

Apa pintamu, sapa suara.
Selarik doa itu pun terpana.
Dilupanya segala tanya
segala pinta.

(Diterbangkan Kata-kata)
7. U. Nurochmat

JELAGA

Jalan terjal ini
Masih kususuri
Dengan langkah lelah
Menyawang asa berkabut

Sesekali aku tergelincir
Saat melupa-Mu
Padahal hanya selintas bayangan
Yang mengganggu langkah ini

Sesekali aku mohon ampun-Mu
Dengan doa yang diada-ada
Padahal tobatku tobat semu
Lupakan ahlak yang cedera

Inilah aku. Sosok jelaga
Penuh noda dan dosa
Hidup hanya memanja dunia
Petunjuk-Mu ditaati kalau suka

8. Abdul Hadi W.M.

LAGU PUTIH

Malam itu datang dengan sayap burung
Yang berisik menuju kota
Di luar daunan menderu
Menyeru kelam

Mengapa lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai jatuh mengabut padang yang sepi?

Betina: berikan aku saat berlupa
Dan firman itu sampaikan
Aku butuh segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh impian dan dugaan

Menyeru malam dan lenyap dalam rusak

(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)

9. Abdul Hadi W.M.

LAGU

Danau kelabu pada dataran
Hutan-hutan di sekitarnya, perkasa
Gumpalan dingin di langit malam
Menghamparkan bayangan salju
Mengapa pimping pada mabok
Dan mengimpikan pagi musim rontok?

Tuhan dan gemuruh itu
Menghembus dan menyerbu

Melepaskan gasing
Dari pohonan tak berwarna
Tak bernama

(dari: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai sanur)

10. Ramadhan KH.

PRIANGAN SI JELITA

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanprahu.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.

(Priangan si Jelita)

11. Diana Wijayanthi

BALLADA BAPAK TUA

Kuyu usap keriput tua
derita tampar hidup
kepalsuan duniawi hapus kenangan indah

Pandangan tajam lintas mata
guratan nyata di wajah bapak tua
letih khayal fantasi
bapak tua tak sanggup hadapi takdir
kepalsuan selama gayut diri
bapak tua, oh bapak tua

(Rindu Anak Mendulang Kasih)

12. Diana Wijayanthi

BINGKAI KEHIDUPAN

Ada peristiwa indah
ada peristiwa pahit
Keduanya sama dalam suratan takdir

Ada kebahagiaan
ada kepedihan
Keduanya sama dalam suratan takdir

Bingkai kehidupan
kadang kejam
kadang lembut

Keduanya sama dalam suratan takdir
bingkai kehidupan
terselimut dalam suratan takdir

(Rindu Anak Mendulang Kasih)

13. Chandra Yowani

SALAM PAGI SEORANG PETANI

Selamat pagi mentari
‘kan kugarap harimu

Di tiap rekah bumi

Selamat pagi pipit-pipit kecil
temani aku dengan senandung kembaramu
mengupas kulit bumi
jadi lahan harapan
selamat pagi desir angin
semilirmu dendangkan kemenangan
menisik beribu mimpi kalbuku
benahi musim

(Rindu Anak Mendulang Kasih)

14. Budiman S. Hartoyo

KABUT ITU

Aku menunggu. Engkau pun menunggu
Berjuta detik menjadi waktu
Jemu

Aku berlari. Engkau berhenti
Aku berhenti. Engkau pun berlari
Terentang jarak tiada arti
Mati

Mautkah batas antara kita?
(gaibkah ujud dan ada kita?)
Kita selalu terlena saja
selalu membisu menafsirkan makna cinta
Kekal dalam rahasia

Kabut itu
dan kekelaman itu
buanglah dari raut wajahmu

(Sebelum Tidur)

15. Sapardi Djoko Damono

IA TAK PERNAH

ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api

ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon

ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengambilkan pohon
kepada burung

(Ayat-ayat Api)

16. Sapardi Djoko Damono

SEBELUM FAJAR

Beberapa saat sebelum fajar
sambil buru-buru menyalakan api
kita suka membayangkan hari ini
dengan dua atau tiga patah kata
yang tak pernah terucapkan.
Sementara anak-anak masih lelap tidur
di mata mereka yang tertutup
dua atau tiga patah kata itu
bersitahan sabar
menunggu matahari, bukan api

(Ayat-ayat Api)

17. Hasta Indrayana

FRAGMEN NEGERI KATA-KATA

1
Musim puisi, kita lewati ke sana
Cakrawala di depan lajulah perahu
Mengayuh rindu. Ada dayung juga peta
Tujuan satu, melarung cinta

2
Musim kemarau, kita panen matahari
Di kejauhan bumi bagai dipanggang api
Tanah-tanah risau. Juga air mata
Menguap di tiap hati

(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)

18. Hasta Indriyana

MOZAIK

Kita adalah pelangi, aku air kamu cahay
Seperti hujan, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna

Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan

(Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta)

19. Slamet Sukirnanto

LAYANG-LAYANG MILIKKU

Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Di alam raya bersama burung-burung yang bebas
Adakah negeri-negeri bebas yang angkuh?

Satu pesan yang kusampaikan dari bumi ini
Janganlah meninggalkan daku, kemudian kau pergi
Sebab jarak antara kita akan semakin jauh
Di kota ini aku sendiri dengan pijar nasib

Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Sampaikan salam: hidup teguh di sini
Nyanyian bumi dalam ujud puisi

(Catatan Suasana)

20. Sapardi Djoko Damono

RUPANYA KITA

rupanya kita yang harus menjawab
suara itu. Tetapi bukankah hanya suara dingin
yang bergoyang dibawah lindap langit;
bukahkah hanya selembar daun yang putus, ke bumi

bukankah hanya napas kita sendiri. Rupanya kita
yang masih harus menyebut sebuah nama
di suatu tempat pada suatu waktu;
tetapi adakah kita kenal bahasa itu

(Ayat-ayat Api)

21. Slamet Sukirnanto

KATAKANLAH PADAKU

Katakanlah padaku
Kalau hanya desau angin
Bicara sonder kata
Jam makin sarat memutar jarummu
Engkau pun tahu
Kehampaan sungguh pun mencari maknanya
Di luar dirimu, di luar diriku
Kemudian ulurkan tanganmu
Goreskan pada dinding masa lalu
Mari
Bergegas lewat
Tanpa tapak
Tanpa jejak

(Catatan Suasana)

22. U. Nurochmat

ANDAI

Andai saja
bukan hanya aku
yang menahan rindu,

Andai saja
bukan hanya aku
yang menelan pilu,

Andai saja
bukan hanya aku
yang memeluk rindu,

Tentu
kau kan mengerti
betapa dalam rasa cintaku.

(Tak Perlu Bertanya Lagi)

23. U. Nurochmat

LAMPUS

Kududuk di sini
Memanja duka
Yang kau sematkan
Saat langkahku mengabari hatimu

Kududuk di sini
Menepis bayang
Yang sangsikan asaku
Saat langit melaknat raguku

Haruskah
Haruskah
Haruskah
Setiap janji berakhir di keranda duka?

Haruskah
Haruskah
Haruskah
Pamitku kau maknai dengan tatap nanar?

(Menapak bayang-bayang)

24. Budiman S. Hartoyo

MENUNGGU DAN PAMIT

Aku selalu menunggumu
Sejak dulu. Wahai sang waktu
Engkau pun berlalutanpa setahu sadarku
Engkau pun menyeret kakiku
Dan tanganku yang terkulai ragu

Di sinilah tempatnya engkau tahu
sejak dulu kutunggu selalu
setiap kesempatan
untuk bertemu berpapasan kemudian pamitan
Walau kita lahir tanpa kencan
tapi kadang kau berikan padaku
kesan dan kenangan
penghabisan

Sudahkah tiba saatnya yang tepat
untuk pamit?
Engkau diam saja
sementara penanggalan pun sobek-sobek juga
Dan wakilmu yang setia, arloji itu
Berhitung-hitung dengan angkuhnya

(Sebelum Tidur)

25. U. Nurochmat

RANTING DI TEPI KUBURAN

Adalah bulan sepotong semangka
Sinarnya temaram di ranting cempaka
Nun di atas dahan kiara tua
Burung hantu mengusir senja

Gundukan kubur rebahan waktu purba
Desis kelelawar getarkan jiwa
Ranting tua tak lagi bertahta
Esok lusa waktunya kan tiba

Seulas kisah kubenamkan
Pada helai waktu yang jenjang
Desah napas kian tertahan
Menanti sang detik detak terhenti

(Tak Perlu Bertanya Lagi)



Buat: Anak-anakku yang tajam dengan puisi

Senin, 26 Oktober 2009

BUNDA
Karya Tasya Noveria

Bundaku...
Engkau mengandungku selama 9 bulan
Dengan susah payah kau melahirkan dan mendidikku
Segenap tenaga, cinta dan kasih sayang kau berikan untukku

Oh Bunda...
Selama ini engkau telah merawatku
Dengan penuh kasih sayang
Engkau berjuang dalam setiap rintanganDemi anakmu

Namun...
Aku belum sempat membalas semua kebaikanmu
Ketika aku ingin membalas kebaikanmu
Kau telah pergi, meninggalkan diriku

Ya Tuhan...
Mengapa ini terjadi padaku
Serasa tak adil bagiku
Ya Tuhan...
Aku sangat menyayangi bundaku
Berikan dia tempat yang terbaik disisimu

BUNDA

Kami Tak Perlu Bertanya Lagi

KAMI TAK PERLU BERTANYA LAGI
U. Nuruochmat

Kami tak perlu kaget lagi
Ketika empat lelaki
Mengusung serpihan daging orang mati
Korban ledakan bom peradaban keji.

Kami tak perlu menangis lagi
Bila sore nanti iring-iringan peti jenazah
Menuju kuburan di ujung kota
Melintasi hati yang kian sepi

Kami hanya bisa menyapa
Lewat kaca-kaca buram
Atau jendela
Pada anak-anak remaja
Yang membawa batu, katapel, atau senjata

Dan sorot mata yang lelah
Tetap membalas
Dengan seruan nama Tuhan
“Semoga kau besok lewat kembali, Nak!”

Karena entah berapa entah
Remaja-remaja itu
Beberapa hari yang lalu
Beberapa minggu yang lalu
Bulan
Tahun
Puluhan tahun
Pulang diusung teman-teman yang masih bertahan
Berselimut bendera kebangsaan
Dengan wajah tenang

Kami tak perlu menghitung lagi
Beberapa generasi kami yang sahid
Suami, anak, keponakan, kakak,
Adik, mertua, istri, cucu, tetangga
Dan entah berapa entah
Kami harus terus menyaksi
Barisan batu nisan di hari-hari nanti

Kami tak perlu bertanya lagi.



September 2007

Naskah Drama 2

LIDAH TAK BERTULANG
Karya: Drs. U. Nurochmat

Pelaku:
1. Irma : Pelajar SMP
2. Esti : Pelajar SMP
3. Janet : Pelajar SMP
4. Reni : Pelajar SMP (siswa baru)

Drama berlangsung dengan latar di sebuah warung yang mangkal di pinggir jalan di depan sekolah. Namun warung tersebut masih tutup. Pagi itu cukup cerah ketika Lena, Esti, Janet, dan seorang siswi baru sedang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Irma datang tergopoh-gopoh karena kesiangan.

Adegan I
IRMA : (heran melihat teman-temannya malah berkumpul di warung Pak Edi) Hei, kok, masih pada mejeng di sini? (memandang ke arah kiri panggung) lho, sekolah kita sepi? (Esti tidak jadi menjawab karena Irma langsung memotong) Sebentar-sebentar … (meletakkan telunjuk menyilang di bibirnya seraya berpikir) Ini pasti ulah guru-guru kita. (menatap satu persatu teman-temannya dengan hati-hati) Mereka sedang rapat, kan?
ESTI : Memangnya kemarin kamu tidak membaca pengumuman di mading? Ketua kelas kita saja mengumumkan di depan kelas.
IRMA : Gimana mau baca? Aku kan nggak masuk sekolah.
JANET : Makanya kalau sekolah yang rajin, sehingga tidak ketinggalan informasi.
IRMA : (Menyadari ada anak baru, Irma meliriknya) Ini siapa, ya?
ESTI : Oya, aku sampai lupa. Kenalkan, ini Reni. (pada siswi baru) Ren, kenalkan ini teman kita Irmawati. (Irma dan Reni bersalaman)
RENI : Reni Ambarsari.
IRMA : Irmawati. Kamu siswa baru di sini? (Reni mengangguk dengan ramah) pindahan dari mana?
RENI : Aku pindah dari Bandung. Dari SMP Negeri 2.
ESTI : Kalian berbincang-bincang dulu, ya! Aku kangen sama toilet dulu.
JANET : Huh, dasar beser! (mengiringi kepergian Esti)


Adegan II
JANET : Nah, sekarang mumpung lagi libur. Kita adakan acara perkenalan dengan Reni, bagaimana?
IRMA : Tepat! Tapi sayang, ya, Reni jadi belum bisa berkenalan dengan teman-teman sekelas kita, dan juga guru-guru kita. (berwajah menyesal).
JANET : Itu, kan, masih banyak waktu. Besok juga bisa. (wajahnya mendadak ceria) Nah, bagaimana kalau kita ajak Reni ke Monas? Kita makan-makan di sana?
IRMA : Tapi siapa yang bayar?
JANET : Tenang saja! Kan, ada aku. (bergaya bos).
IRMA : Kalau hari ini nggak libur, kamu pasti bisa disambut meriah oleh teman-teman dan guru di sini, Ren. Nanti kamu akan berkenalan dengan guru paling angker di sini. Namanya Pak Nurdin.
RENI : (tersenyum penasaran) Memang ada?
IRMA : Di Bandung pasti nggak ada. Guru ini galaknya nggak ketulungan. Kalau ngajar, nggak ada siswa yang berani berulah. Kalau salah sedikit saja, langsung segala caci maki berhamburan dari mulutnya yang item, tebel, tertutup kumis. Kaca mata tebalnya yang melorot akan terguncang-guncang. Pokoknya seru. Lucunya lagi, kalau dia marah, suka terbatuk-batuk kecapean. (Janet tidak kuat menahan tawa, sementara Reni hanya tersenyum)

Adegan III
Esti datang lagi dan duduk menjejeri Reni.
IRMA : (Tidak peduli atas kedatangan Esti dan melanjutkan ceritanya). Kamu juga bisa melihat kepalanya yang botak dan licin, bahkan tuh, kepala bisa dipakai main pingpong, kali. (Janet semakin terbahak-bahak sementara Reni tetap tersenyum).
ESTI : (ingin tahu) Siapa, Ir?
IRMA : Pak Nurdin, guru Matematika kita.
ESTI : Apa? (kaget) Ir!
IRMA : Nih, aku sebutkan teman-teman yang sudah jadi korbannya … (menengadahkan telapak tangannya untuk menghitung, lalu merenung) Pokoknya 90 persen murid di sini pasti sudah pernah kena marahnya.
ESTI : Irma!
IRMA : Nah, Esti juga pernah disuruh berdiri dengan tangan direntangkan dan kaki diangkat sebelah. Sadis, kan?
ESTI : Ir, sudah, dong! Tidak baik menjelek-jelekkan guru. Nanti kualat kamu!
IRMA : Alah, nggak dijelek-jelekkan juga, memang sudah jelek, kok.
JANET : Lagian, bisa aja si Irma bikin orang ketawa. (Masih dengan sisa tawanya) Sudah, ah, tar keburu siang. Gimana acaranya? Jadi tidak?
ESTI : Acara apa?
JANET : Kita mau ngajak Reni jalan-jalan ke Monas. Di sana kan, ada bakso yang enak. Kamu harus ikut! Ini, kan, acara penyambutan teman baru kita.
ESTI : Bagus. Boleh. Aku setuju.
RENI : Tapi, maaf, saya tidak bisa ikut. Lain kali saja, ya? Soalnya saya di sini numpang di rumah Ua. Tidak enak, kan, baru dua hari sudah berani kelayapan.
IRMA : Memang kamu tinggal di daerah mana?
RENI : Saya tinggal di Benhil. Nanti sewaktu-waktu main bersama Esti. (bersiap-siap) Saya pamit dulu, ya. Di rumah banyak pekerjaan.
ESTI : Berani sendiri?
RENI : Berani. Naik 213, kan? (Esti tersenyum) Assalamu alaikum!
ESTI, JANET, IRMA: Waalaikum salam.
IRMA : Salam buat Uanya, ya!
RENI : Insya Allah, nanti saya sampaikan. (keluar panggung sebelah kanan)

Adegan IV
ESTI : Kenapa harus repot-repot menitip salam buat uanya pada Reni?
JANET : Memangnya kamu mau menyampaikannya? Pasti uanya punya anak yang ganteng, kan?
IRMA : Diam-diam rupanya teman kita ini punya simpanan. (senyum menggoda)
ESTI : Uanya tidak punya anak, kok.
IRMA : Terus kenapa nggak perlu titip salam sama Reni?
ESTI : Setiap hari juga kita ketemu sama uanya Reni.
IRMA : (Semakin heran) Di mana?
ESTI : Ya, di sekolah kita. (Memasang tampang tanpa beban). Uanya Reni itu … Pak N u r d i n !!! (Melongok, kaget, terpana sehingga tidak bisa berbicara apa-apa).
JANET : (Menarik bahu Esti yang tetap bertampang tanpa beban) Gila, kamu, Es! Kenapa tidak dari tadi, kamu ngasih tau?
ESTI : (Melirik ujung jari-jari tangan Janet yang menempel di bahunya, lalu menatap Janet sejenak) Kamu tadi tidak ingat ketika aku berkali-kali memotong ucapan dia (menunjuk ke arah Irma yang dengan lemas duduk di bangku panjang).
JANET : Terus bagaimana, dong, jalan keluarnya? (menghiba pada Esti).
ESTI : (Melangkah ke depan dengan tangan mengepal dan tegak) Begitulah mulut. Jika kita tidak dapat menjaganya, maka akan lebih tajam dari mata pedang. Bahkan ada pepatah: Mulutmu harimaumu.
IRMA : (Wajah putus asa, suaranya lemah). Esti, sahabatku, tolonglah aku! Aku harus bagaimana?
JANET : Jika cerita itu sampai ke telinga Pak Nurdin, oh, aku tidak bisa membayangkan Irma akan dicoreti wajahnya dengan spidol. Lalu disuruh teriak-teriak keliling kelas dengan kalimat,”Pak Nurdin, saya memang bermulut ember!” Dan itu disuruhnya dilakukan berulang-ulang sampai jam pelajaran matematika selesai, oh! (lirih).
IRMA : Janet! (Membentak, hampir menangis) Jangan kamu takut-takuti aku seperti itu! Tanpa kamu takuti juga, aku sudah ketakutan.
ESTI : Berdoa saja, semoga Reni tidak menyampaikannya. Jadikan ini sebagai pelajaran buat kita agar bisa memelihara lidah.
IRMA : Baiklah, aku mau bertobat (berlari ke arah kanan)
JANET, ESTI : Ir, tunggu! (berlari mengejar Irma).

Selesai


Jakarta, 27 Juli 2006

Naskah Drama

FOGING
U. Nurochmat

Pelaku:
1. Wahyu : Tukang sol sepatu
2. Raban : Pesuruh di balai desa
3. Bi Acih : Pedagang di warung
4. Atin : Pelajar SMP, anak Bi Acih
5. Hasan : Mantri kesehatan

Latar:
Panggung menggambarkan suasana warung Bi Acih pada suatu siang. Jam dinding di warung itu cukut jelas terlihat menunjukkan waktu pukul 13 lewat 7 menit. Di depan warung dekat tiang teronggok pikulan sol sepatu milik wahyu. Wahyu sendiri sedang sibuk mengunyah goreng pisang.sementara Raban sedang meniupi kopi yang dihidangkan Bi Acih.Sedangkan Atin, yang masih berseragam sekolah, sedang mencuci gelas dan piring kotor di samping warung. Bi Acih sedang menggoreng pisang.

Adegan 1

01. WAHYU : (Mulutnya masih disesaki kunyahan goreng pisang) Jadi, selanjutnya bagaimana kalau begitu?
02. RABAN : (Mengaduk-aduk kopinya dengan sendok. Agak malas menjawab) Ya, nggak tahulah. Tapi denger-denger, Senin besok akan dimusyawarahkan lagi.
03. BI ACIH : (Tanpa menghentikan pekerjaannya, menoleh sebentar) Wah, penduduknya keburu banyak yang mati kalo begitu. Masalah kecil saja, musyawarahnya harus beberapa kali.
04. ATIN : (Membawa piring dan gelas yang sudah selesai dicuci lalu berhenti di samping ibunya) Tadi di sekolah Atin sudah ada yang dipulangkan karena sakit. Katanya sih, kena DBD.
05. RABAN : Ya, gak tahu, itu urusan Pak Lurah, Tin. (menyeruput kopi) Saya, kan, cuma pesuruh. Maunya kita memang ingin serba cepat, tapi urusan para pejabat, kan tidak sesederhana itu. (kepada Wahyu) Betul, kan?
06. WAHYU : (tersenyum menyindir) ya, memang. Apalagi ini urusan nyawa, Kang! Kalau aparatnya gesit, tentu gak begini. Cuma ngurus pengasapan nyamuk saja perlu musyawarah berhari-hari.

Adegan 2
(Atin keluar panggung arah kanan)

07. BI ACIH : Di Kampung Jongos saja sudah disemprot kemarin.
08. RABAN : Lain, Bi. Desa mereka, kan, pake iuran dari masyarakat. Jadi dananya bukan dari kas desa.
09. BI ACIH : Aih-aih, kamu ini, bagaimana, Ban? Kampung kita juga iuran. Kalau gak salah, Pak RT yang nagihin dua minggu yang lalu.
10. RABAN : (mengambil pisang) Ya, gak tahulah, kalau begitu.
11. WAHYU : Kang Raban ini pegawai desa, tapi tidak tahu. Jangan-jangan Kang Raban tidak ikut iuran, ya?
12. BI ACIH : Ya, nggaklah!
13. RABAN : (tersenyum malu)

Adegan 3
(Hasan datang dengan pakaian dan tas dinasnya. Dia tampaknya sudah biasa mampir di warung Bi Acih)

14. RABAN : (Girang melihat kedatangan Hasan) Nah, Pak Hasan, nih, yang mengerti masalahnya. Kamu boleh tanya lebih banyak kepada Beliau.
15. HASAN : (Duduk di samping Raban) Apa, sih? (tersenyum) Minum saja belum, sudah dituduh mengerti. Coba Mas Raban ceritakan dulu, apa persoalannya?
16. WAHYU : Aku yang ngomong! (sambil mengubah posisi duduknya) Di beberapa kampung sudah banyak yang terkena demam berdarah, Pak.
17. HASAN : (Hanya melirik dan tersenyum. Perhatiannya segera beralih kepada Bi Acih) Tolong buat es teh manis, Bi.
18. WAHYU : (Tidak terpengaruh untuk melanjutkan pembicaraannya) Beberapa minggu yang lalu Pak RT memberitahukan bahwa pengasapan di kampung kita ini akan dilaksanakan sekarang, tapi, kata Kang Raban, belum bisa dilakukan. Nah, kenapa, tuh, Pak?
19. HASAN : (Menerima segelas teh manis dari Bi Acih) O, begitu. Mungkin belum ada biayanya?
20. BI ACIH : Sudah, Pak Mantri. Malah sudah lama.
21. HASAN : Ya, mungkin, peralatannya yang belum ada. Kalaupun ada, mungkin belum giliran kita karena keterbatasan peralatan, atau karena prosedur.

Adegan 4
(Atin datang sudah berganti pakaian)
22. HASAN : Lagi pula masalah demam berdarah tidak akan selesai danteratasi hanya dengan foging. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan bersama.
23. ATIN : Betul Pak Mantri. Kata Pak Guru juga ada cara lain yang dapat kita lakukan, yaitu 3M, menguras, mengubur, dan menutup barang-barang yang menampung air.
24. HASAN : Tuh, kalau sekolah begitu. Biar masih anak-anak, sudah banyak tahu.
25. RABAN : Benar, ya. Saya menyesal dulu nakal, jadi SD aja gak tamat. Nasibnya, ya, begini … jadi tukang sapu kantor desa.
26. WAHYU : Sama, saya juga cuma jadi tukang sol.
27. HASAN : Tapi, ingat! Menyesal kemudian tiada guna. Jadi tidak perlu kita menyesali nasib berkepanjangan. Sekatang syukuri saja yang sudah ada. Barang siapa yang pandai bersyukur, niscaya Allah melipatgandakan kenikmatannya. (semua mengangguk-angguk puas dan mengerti. Hasan meminum teh manisnya).
28. BI ACIH : Pak Hasan belum menerangkan alasan foging di kampung kita belum dilakukan.
29. HASAN : Pertama, mungkin biaya belum ada. Kalau sudah ada, kedua, mungkin peralatan terbatas. Ketiga, prosedur atau strategi pengasapan mengharuskan kampung ini ditunda penyemprotannya.
30. WAHYU : (Heran sampai mulutnya agak menganga) Maksud Pak Hasan, mm … apa tuh, tadi yang terakhir? Mmm … (memejamkan mata mengingat-ingat)
31. ATIN : Prosedur dan strategi?
32. WAHYU : (girang) Nah, itu! Produser dan apa tadi?
33. RABAN : Energi! (yakin) Duh, payah, nyebutnya aja gak bisa!
34. ATIN : (Tersenyum bersama Hasan, dan Bi Acih) Bukan, Bang! Tapi Prosedur dan strategi.
35. HASAN : Begini, (memindahkan letak gelasnya) prosedur artinya aturan atau petunjuk tatacara melakukannya. Sedangkan strategi itu taktik agar pengasapan benar-benar efektif artinya berhasil dengan baik.
36. WAHYU : Mengerti, gak? (kepada Raban)
37. RABAN : Ala, seperti kamu mengerti aja. (melanjutkan minumnya).

-=oOo=-
21 April 2005
U. Nurochmat

Senin, 19 Januari 2009

RINDUKU MELAUT DI CINTAMU


Adakah keindahan yang melebihi senyum manismu?
Jika ada, berarti itu kebohongan yang terkemas khayalan
karena kau adalah segalanya bagiku.

U. Nurochmat

Minggu, 18 Januari 2009

32. U. Nurochmat


BERBURU CINTAMU

oleh Ujang Kasarung pada 13 Oktober 2010 jam 11:43

Kuberburu di savana menguning,

kau berlari bagai rusa di Kalahari,

sementara pikiranku terus mewiridkan

harapan selama perburuanku.

Ya, 18 tahun aku tak pernah kehabisan harap

walau selama itu pula

aku harus memulai kembali ke titik awal.

Adakah kau menolehku dari sela-sela ilalang

yang menusuk-nusuk betismu?

Sudahkah kau catat jejak

saat akan kurengkuh cintamu?