oleh: U. Nurochmat
Aku memang bodoh karena mimpi
masa depanku ada kamuku
yang larung pada alir sejarahku
nyanyikan cinta yang dulu pernah kita bicarakan
saat-saat embun masih bergantung pada malam
Aku masih ingat
gaun putihmu memaksa bisik hitamku
bila kupu-kupu kuning gemulai di putik bunga merah
yang rengkuh pesona sepi
Aku memang bodoh bila kau senyum
selalu saja sihir itu bangkitkan riuh hutan cemara
atau derai hujan senja
menebar, harum
Pada apa mesti kuadukan
sepiku sepimu yang tak gunduk di bukit penantian
atau tak hampar di lembah kepasrahan
cicipi sisa desah yang layu tak berkesudahan
Itukah kamu? Yang tersenyum menyapa terik kota?
Itukah kamu? Yang memaksa deritaku mengunyah rasa?
Tak sepi, tak pasti,
Tak tak tak, tak mati.
22 Desember 2008
Aku memang bodoh karena mimpi
masa depanku ada kamuku
yang larung pada alir sejarahku
nyanyikan cinta yang dulu pernah kita bicarakan
saat-saat embun masih bergantung pada malam
Aku masih ingat
gaun putihmu memaksa bisik hitamku
bila kupu-kupu kuning gemulai di putik bunga merah
yang rengkuh pesona sepi
Aku memang bodoh bila kau senyum
selalu saja sihir itu bangkitkan riuh hutan cemara
atau derai hujan senja
menebar, harum
Pada apa mesti kuadukan
sepiku sepimu yang tak gunduk di bukit penantian
atau tak hampar di lembah kepasrahan
cicipi sisa desah yang layu tak berkesudahan
Itukah kamu? Yang tersenyum menyapa terik kota?
Itukah kamu? Yang memaksa deritaku mengunyah rasa?
Tak sepi, tak pasti,
Tak tak tak, tak mati.
22 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar