oleh: U. Nurochmat
Ada secoret rindu mengisah pada sejarah
meringkih nuansa jingga
melumur rapuh seluput biru
pada mega yang bermunazat pasrah
O, kuntum yang masih mengharum
gelisahku melebam penantian
tertatih-tatih mengeja kasih sayang
yang kuselami pada setiap ceruk darahmu.
Sore pun duduk di pantai Losari
Anak-anak berlarian meraih mimpi
Nyambi ngunyah pisang pepe sisa tadi
Kuturuti hangat bekas dudukmu di sampingku
bahkan kau tega sisakan senyum
pada semburat lembayung.
O, kuntum yang masih mengharum
harapku masih menggulung
berkejaran dengan gelombang Selat Makassar
sementara angin kering berlari
sembunyi di Karebosi
Ya, aku masih ingat
pada gelakku saat kita saling mendukung
di sepanjang Jalan Penghibur
Saat itu jam berhenti berdetak di Sungguminasa
membasuh tangis di Takalar
Sore pun kembali harum pada dinding penantian.
Pantai Losari, 4 April 2010
Senin, 30 Agustus 2010
Rabu, 04 Agustus 2010
30. DINDING ANAKKU
oleh: U. Nurochmat
menaung tanpa tiang...
Kukabarkan pada anak-anakku
yang berlarian di pematang
Lalu angin bertasbih
gunung berdzikir
mangagungkan dinullah
Ya, Tuhan... belum banyak
yang bisa kudekap
karena mataku terlalu penuh
dinding anakku.
Terimalah Tuhan... istigfarku.
Petir, 4 April 2000
29. TAK
oleh: U. Nurochmat
Aku memang bodoh karena mimpi
masa depanku ada kamuku
yang larung pada alir sejarahku
nyanyikan cinta yang dulu pernah kita bicarakan
saat-saat embun masih bergantung pada malam
Aku masih ingat
gaun putihmu memaksa bisik hitamku
bila kupu-kupu kuning gemulai di putik bunga merah
yang rengkuh pesona sepi
Aku memang bodoh bila kau senyum
selalu saja sihir itu bangkitkan riuh hutan cemara
atau derai hujan senja
menebar, harum
Pada apa mesti kuadukan
sepiku sepimu yang tak gunduk di bukit penantian
atau tak hampar di lembah kepasrahan
cicipi sisa desah yang layu tak berkesudahan
Itukah kamu? Yang tersenyum menyapa terik kota?
Itukah kamu? Yang memaksa deritaku mengunyah rasa?
Tak sepi, tak pasti,
Tak tak tak, tak mati.
22 Desember 2008
Aku memang bodoh karena mimpi
masa depanku ada kamuku
yang larung pada alir sejarahku
nyanyikan cinta yang dulu pernah kita bicarakan
saat-saat embun masih bergantung pada malam
Aku masih ingat
gaun putihmu memaksa bisik hitamku
bila kupu-kupu kuning gemulai di putik bunga merah
yang rengkuh pesona sepi
Aku memang bodoh bila kau senyum
selalu saja sihir itu bangkitkan riuh hutan cemara
atau derai hujan senja
menebar, harum
Pada apa mesti kuadukan
sepiku sepimu yang tak gunduk di bukit penantian
atau tak hampar di lembah kepasrahan
cicipi sisa desah yang layu tak berkesudahan
Itukah kamu? Yang tersenyum menyapa terik kota?
Itukah kamu? Yang memaksa deritaku mengunyah rasa?
Tak sepi, tak pasti,
Tak tak tak, tak mati.
22 Desember 2008
27. LELAKI DI GERBANG SENJA
oleh: U. Nurochmat
mengeja senyum di tepi makna
Pipimu keriput dipapar usia
gigimu tanggal dikunyah masa
oh, lelaki di gerbang senja
kau sampirkan mimpi di kemboja
pada minggu-minggu pertama
di musim pancaroba
Lalu siapa yang kau idamkan
makan sop dalam mangkuk yang sama
atau bersanding di trotoar kota?
semenjak kau lalui sejarahmu yang tersisa
Kini kau bawa segala duka
bertemu dengan mimpi
di gerbang senja.
Stasiun Cikini, 2 Juli 2010
26. KUSAM
oleh: U. Nurochmat
Sinarnya kusam sisa penantian
Kutak mungkin memalingkan jiwa
Karena padamu kutitip rasa
Ada bulan menangis di pelukan
wajahnya kusam jejak kepalsuan
Kutak mungkin memalingkan cinta
karena dirimu belahan jiwa
Ada bulan mengurai jarak
Pada sejarah yang kian berarak
Memetik hati yang lama berderak
mengais asa yang makin berserak.
Jakarta, 27 Juli 2010
Langganan:
Postingan (Atom)