KABAR
Kang Sabar agak ragu saat kakinya memasuki pekarangan
rumah Mas Madraji. Di bawah pohon jambu batu yang sudah licin karena sering
dipanjati anak-anak itu tampak Ida, Ratih dan teman-temannya sedang bermain
tanah. Mbak Tarmi sendiri tidak tampak selain jemuran yang melintang dari pohon
jambu tadi ke tiang bambu yang dibuat Mas Madraji beberapa waktu yang lalu.
Kang Sabar masih gelisah berdiri dekat patok bambu
sisa pagar yang hampir habis diambili anak-anak atau pengembala kambing yang
lewat. Pandangannya jauh melintasi pohon-pohon tebu yang belum tinggi.
Pikirannya galau. Gemerisik daun-daun tebu menyapa hembusan angin. Matahari
sesekali redup ditabiri awan. Tenggorokan Kang Sabar terasa kering walau hanya
sekadar untuk meludah.
Kalau lagi di pabrik biasanya Mas Madraji suka
perhatian. Dia akan menyodorkan botol mineralnya yang biasa digunakan membawa
air the dari rumah. Kadang kalau kebetulan ada rezeki, Mas Madraji tidak
segan-segan membelikan Kang Sabar dan Pardiman masing-masing sebungkus ancemon
yang biasa dijual Mbok Darojah di bawah pohon kersen di depan gerbang pabrik.
Ida menyadari kehadiran teman bapaknya itu. Dia lama
memerhatikan Kang Sabar. Ia merasa heran, biasanya Kang Sabar datang kalau
bapaknya ada di rumah. Biasanya Kang Sabar suka langsung ke rumah tidak berdiri
di sana. Patahan genting yang dipegangnya terjatuh. Lalu dipungutnya kembali.
“Kang Sabar!” tegur bocah 9 tahun itu sambil
menggenggam pecahan genting. Ingusnya mengering di pipinya yang tembem.
Kang Sabar menoleh dan tersenyum lirih. Keraguan kian
menggelayut membebani bahunya. Sehelai daun jambu kering luruh tertiup angin
terus jatuh di kening gadis kecil yang masih berdiri di hadapan Kang Sabar.
“Bapak nggak ada!” serunya, ”Belum pulang!” tambah
Ida. Tangannya menja-tuhkan pecahan genting itu ke atas tumpukan tanah yang
tadi dibuat gunung-gunungan. Rupanya Ida langsung bermain sepulang sekolah
seperti kebanyakan anak kampung Sukagenah, terlihat dari baju pramukanya.
“Ibu ada?” Kang Sabar mencoba mencari tahu.
Mungkin kalau Ida sudah besar, akan kaget mendengar
pertanyaan teman bapaknya itu. Biasanya Kang Sabar akan langsung ke rumahnya.
Tetapi Ida belum sejauh itu berpikir. Dia menjawab bahwa ibunya ada di rumah.
Kang Sabar tidak berhasil mendengar jawabannya. Anak
itu sudah tenggelam lagi dalam keasikan bermain bersama teman-temannya. Sejenak
Kang Sabar menoleh ke arah jalan. Debu warna coklat susu berputar-putar
membentuk pusaran kecil seakan mengejar sebuah sepeda yang muncul dari
fatamorgana. Sepeda yang dikayuh seseorang bercaping. Setelah sampai, Pardiman menghentikan
sepedanya dengan ban depan persis di hadapan Kang Sabar.
Kang Sabar bergeming.
“Mbak Tarminya ada, ga?” tanya Pardiman dalam sengalan
napas yang payah.
“Kamu aja, ya!” bujuk Kang Sabar, ”Aku ndak tega,” sahut
Kang Sabar.
“Tadi katanya kamu sanggup. Tapi ya, sudah, aku juga
ga apa-apa,” keluh Pardiman sambil menyenderkan sepedanya pada pohon nangka
yang menaungi mereka. Sejenak Pardiman berdiri di samping sepedanya yang
teronggok tak berdaya. Dengan capingnya dia kibas-kibaskan di depan dadanya
mengusir rasa panas yang menyempurnakan musim kemarau kala itu. Perlahan pandangannya
membawa hati Pardiman ke arah rumah Mas Madraji. Lalu berhenti. Kali ini
matanya tak mampu menyembunyikan perasaannya saat Mbak Tarmi muncul.
“Bu, ada Kang Sabar!” seru Ida ketika melihat ibunya
muncul dari samping rumahnya.
“Aih, kenapa pada berdiri di situ? Mari masuk. Bapak si
Idanya mana?” tanya Mbak Tarmi heran karena biasanya mereka suka datang bertiga
bersama suaminya.
Kang Sabar dan Pardiman saling menatap. Senyumnya yang
baru saja dipamerkan tidak tampak lagi. Awan beriringan ke selatan. Dua ekor
burung berkejaran di antara ranting pohon perdu yang meranggas di sisi kebun
tebu.
Ya, kebun tebu satu-satunya sumber penghidupan penduduk
kampung Sukagenah. Karena pabrik gulalah yang membuat jalan desa ini berkulit
aspal walau kini sudah banyak terkelupas dan bergelombang. Malah nyaris
sebagian sudah kembali menjadi jalan tanah seperti dulu.
“Man?”
Kang Sabar dan Pardiman bergelut dengan pikiran
masing-masing. Sebagian jiwanya berada di antara kerumunan ratusan teman-teman
buruhnya yang berteriak-teriak menyuarakan hati nuraninya. Dan bisa jadi demo
buruh ini yang pertama terjadi di pabrik gula ini. Mereka terlalu nrimo akan kebijakan-kebijakan
perusahaan yang kurang merakyat. Tetapi itupun tidak sepenuhnya merupakan
kesalahan pihak manajemen. Pabrik gula ini terus merugi karena kalah saing
dengan impor gula olahan yang awalnya diperuntukkan bagi perusahaan makanan,
tetapi kenyataannya, diolah pula jadi gula konsumsi. Di sisi lain, pasokan
bahan baku, berupa tebu kurang, sehingga jangankan untuk memperoleh keuntungan,
untuk menutup biaya produksi saja tidak mencukupi. Dan kini, muncul ditandatanganinya
SKB 4 Menteri. Hampir seluruh buruh pabrik di negeri ini turun ke jalan
menyuarakan hati nurani. Sementara pihak manajemen tidak kalah persiapan,
setelah kemarin melihat satpam perusahaan setengah hati menghalau pendemo, kali
ini mereka menyewa preman dari kota. Bentrokan pun tidak terelakan.
Bekas genangan darah Mas Madraji di mulut gerbang
pabrik justru menambah gelora semangat para buruh menuntut pembatalan SKB 4
Menteri itu. Bahkan bertambah anarkis ketika para preman bayaran pabrik kian
bringas. Polisi mengamankan beberapa
pelaku dan saksi yang menghajar kepala Mas Madraji dengan balok, pentungan,
atau linggis. Sedangkan Mas Madraji dilarikan ke Puskesmas oleh beberapa
kawannya, di antaranya Kang Sabar dan Pardiman, namun jiwanya tidak tertolong.
Kang Sabar dan Pardiman hanya saling berpandangan
bingung, padahal kabar kematian Mas Madraji yang kini terbaring di puskesmas
kecamatan adalah milik Mbak Tarmi, Ida, dan Ratih. Angin kering menyapa hambar kepada
mereka. Seekor kepodang melesat di antara gemerisik gesekan daun tebu.
Subang, 10 Desember 2008
U. Nurochmat
2 komentar:
Bagus
Bagus banget
Posting Komentar