Selamat Datang

Minggu, 15 Oktober 2017

Cerita Mini

KABAR

Kang Sabar agak ragu saat kakinya memasuki pekarangan rumah Mas Madraji. Di bawah pohon jambu batu yang sudah licin karena sering dipanjati anak-anak itu tampak Ida, Ratih dan teman-temannya sedang bermain tanah. Mbak Tarmi sendiri tidak tampak selain jemuran yang melintang dari pohon jambu tadi ke tiang bambu yang dibuat Mas Madraji beberapa waktu yang lalu.
Kang Sabar masih gelisah berdiri dekat patok bambu sisa pagar yang hampir habis diambili anak-anak atau pengembala kambing yang lewat. Pandangannya jauh melintasi pohon-pohon tebu yang belum tinggi. Pikirannya galau. Gemerisik daun-daun tebu menyapa hembusan angin. Matahari sesekali redup ditabiri awan. Tenggorokan Kang Sabar terasa kering walau hanya sekadar untuk meludah.
Kalau lagi di pabrik biasanya Mas Madraji suka perhatian. Dia akan menyodorkan botol mineralnya yang biasa digunakan membawa air the dari rumah. Kadang kalau kebetulan ada rezeki, Mas Madraji tidak segan-segan membelikan Kang Sabar dan Pardiman masing-masing sebungkus ancemon yang biasa dijual Mbok Darojah di bawah pohon kersen di depan gerbang pabrik.
Ida menyadari kehadiran teman bapaknya itu. Dia lama memerhatikan Kang Sabar. Ia merasa heran, biasanya Kang Sabar datang kalau bapaknya ada di rumah. Biasanya Kang Sabar suka langsung ke rumah tidak berdiri di sana. Patahan genting yang dipegangnya terjatuh. Lalu dipungutnya kembali.
“Kang Sabar!” tegur bocah 9 tahun itu sambil menggenggam pecahan genting. Ingusnya mengering di pipinya yang tembem.
Kang Sabar menoleh dan tersenyum lirih. Keraguan kian menggelayut membebani bahunya. Sehelai daun jambu kering luruh tertiup angin terus jatuh di kening gadis kecil yang masih berdiri di hadapan Kang Sabar.
“Bapak nggak ada!” serunya, ”Belum pulang!” tambah Ida. Tangannya menja-tuhkan pecahan genting itu ke atas tumpukan tanah yang tadi dibuat gunung-gunungan. Rupanya Ida langsung bermain sepulang sekolah seperti kebanyakan anak kampung Sukagenah, terlihat dari baju pramukanya.
“Ibu ada?” Kang Sabar mencoba mencari tahu.
Mungkin kalau Ida sudah besar, akan kaget mendengar pertanyaan teman bapaknya itu. Biasanya Kang Sabar akan langsung ke rumahnya. Tetapi Ida belum sejauh itu berpikir. Dia menjawab bahwa ibunya ada di rumah.
Kang Sabar tidak berhasil mendengar jawabannya. Anak itu sudah tenggelam lagi dalam keasikan bermain bersama teman-temannya. Sejenak Kang Sabar menoleh ke arah jalan. Debu warna coklat susu berputar-putar membentuk pusaran kecil seakan mengejar sebuah sepeda yang muncul dari fatamorgana. Sepeda yang dikayuh seseorang bercaping. Setelah sampai, Pardiman menghentikan sepedanya dengan ban depan persis di hadapan Kang Sabar.
Kang Sabar bergeming.
“Mbak Tarminya ada, ga?” tanya Pardiman dalam sengalan napas yang payah.
“Kamu aja, ya!” bujuk Kang Sabar, ”Aku ndak tega,” sahut Kang Sabar.
“Tadi katanya kamu sanggup. Tapi ya, sudah, aku juga ga apa-apa,” keluh Pardiman sambil menyenderkan sepedanya pada pohon nangka yang menaungi mereka. Sejenak Pardiman berdiri di samping sepedanya yang teronggok tak berdaya. Dengan capingnya dia kibas-kibaskan di depan dadanya mengusir rasa panas yang menyempurnakan musim kemarau kala itu. Perlahan pandangannya membawa hati Pardiman ke arah rumah Mas Madraji. Lalu berhenti. Kali ini matanya tak mampu menyembunyikan perasaannya saat Mbak Tarmi muncul.
“Bu, ada Kang Sabar!” seru Ida ketika melihat ibunya muncul dari samping rumahnya.
“Aih, kenapa pada berdiri di situ? Mari masuk. Bapak si Idanya mana?” tanya Mbak Tarmi heran karena biasanya mereka suka datang bertiga bersama suaminya.
Kang Sabar dan Pardiman saling menatap. Senyumnya yang baru saja dipamerkan tidak tampak lagi. Awan beriringan ke selatan. Dua ekor burung berkejaran di antara ranting pohon perdu yang meranggas di sisi kebun tebu.
Ya, kebun tebu satu-satunya sumber penghidupan penduduk kampung Sukagenah. Karena pabrik gulalah yang membuat jalan desa ini berkulit aspal walau kini sudah banyak terkelupas dan bergelombang. Malah nyaris sebagian sudah kembali menjadi jalan tanah seperti dulu.
“Man?”
Ada nada perintah dari kerongkongan Kang Sabar. Dia gamang mendengar tanya Mbak Tarmi. Dia tidak tahu harus menggunakan kata yang mana dan dengan cara bagaimana agar Mbak Tarmi tidak runtuh dengan berita yang akan disampaikan ini. Lututnya gemetar, Pardiman tidak sanggup lagi berdiri tegak. Ia limbung. Untungnya, sebelum terjatuh, dia segera jongkok, berpegangan pada watangan sepeda ontelnya. Matanya sudah mulai basah. Pardiman hanya memutar-mutar rantai sepedanya. Kang Sabar masih berpikir sambil meluruhkan kulit-kulit tua dari pohon nangka. Sementara Mbak Tarmi tampak membersihkan meja dengan taplak meja yang tak lagi utuh. Dua kursi kayu berdampingan dengan mejanya di teras berlantai tanah. Mbak Tarmi seperti biasa ramah kepada kedua sahabat suaminya itu.
Kang Sabar dan Pardiman bergelut dengan pikiran masing-masing. Sebagian jiwanya berada di antara kerumunan ratusan teman-teman buruhnya yang berteriak-teriak menyuarakan hati nuraninya. Dan bisa jadi demo buruh ini yang pertama terjadi di pabrik gula ini. Mereka terlalu nrimo akan kebijakan-kebijakan perusahaan yang kurang merakyat. Tetapi itupun tidak sepenuhnya merupakan kesalahan pihak manajemen. Pabrik gula ini terus merugi karena kalah saing dengan impor gula olahan yang awalnya diperuntukkan bagi perusahaan makanan, tetapi kenyataannya, diolah pula jadi gula konsumsi. Di sisi lain, pasokan bahan baku, berupa tebu kurang, sehingga jangankan untuk memperoleh keuntungan, untuk menutup biaya produksi saja tidak mencukupi. Dan kini, muncul ditandatanganinya SKB 4 Menteri. Hampir seluruh buruh pabrik di negeri ini turun ke jalan menyuarakan hati nurani. Sementara pihak manajemen tidak kalah persiapan, setelah kemarin melihat satpam perusahaan setengah hati menghalau pendemo, kali ini mereka menyewa preman dari kota. Bentrokan pun tidak terelakan.
Bekas genangan darah Mas Madraji di mulut gerbang pabrik justru menambah gelora semangat para buruh menuntut pembatalan SKB 4 Menteri itu. Bahkan bertambah anarkis ketika para preman bayaran pabrik kian bringas. Polisi mengamankan  beberapa pelaku dan saksi yang menghajar kepala Mas Madraji dengan balok, pentungan, atau linggis. Sedangkan Mas Madraji dilarikan ke Puskesmas oleh beberapa kawannya, di antaranya Kang Sabar dan Pardiman, namun jiwanya tidak tertolong.
Kang Sabar dan Pardiman hanya saling berpandangan bingung, padahal kabar kematian Mas Madraji yang kini terbaring di puskesmas kecamatan adalah milik Mbak Tarmi, Ida, dan Ratih. Angin kering menyapa hambar kepada mereka. Seekor kepodang melesat di antara gemerisik gesekan daun tebu.
Subang, 10 Desember 2008

U. Nurochmat