Selamat Datang

Kamis, 03 April 2008

MANAJEMEN PENDIDIKAN


DIMENSI-DIMENSI PENDIDKAN
Oleh: Ujang Nurochmat

Berbicara masalah pendidikan berarti membahas dimensi-dimensi yang membangun struktur atau anatomi pendidikan, komplek dengan berbagai isu dan persoalan yang tidak akan ada habis-habisnya. Pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Mencermati definisi pendidikan tersebut, muncul pemetaan dalam pikiran kita sebuah jaringan yang saling terkait, saling mendukung, dan saling kebergantungan. Tidak ada satu aspek dianggap lebih penting dari aspek yang lain. Semua berperan membangun anatomi pendidikan. Dan semuanya ditata dan dioptimalkan sebagai pengawal keberlangsungan proses pendidikan.
Bahkan sebagai kegiatan atau proses yang dinamis, pendidikan akan terus berubah tatanannya dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan perubahan ini bukan hanya pada materi kurikulum, atau temuan metode belaka, melainkan juga pada hakekat tujuan. Mengingat pendidikan ditujukan untuk menyiapkan peserta didik dalam rangka menghadapi hidup dan kehidupannya di masa kini dan masa datang. Satu hal yang tidak akan berubah yaitu bahwa pendidikan dibutuhkan oleh mahluk yang bernama “manusia” selama-lamanya sampai akhir hayat (long life education).

Lalu, dimensi-dimensi apa sajakah yang membangun atau mempengaruhi tatanan dunia pendidikan itu? Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis akan menjelaskan satu demi satu dimensi-dimensi pendidikan dan aplikasinya.

1. Dimensi Sosial dan Kultur
Sebagai mahluk sosial, manusia bergaul dengan sesamanya dalam arti bukan hanya sekadar berkomunikasi, melainkan juga berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi manusia merupakan kebutuhan dasar setiap individu dalam peranannya sebagai mahluk sosial (homo sapiens). Manusia membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kita tahu bahwa manusia, menurut Maslaw mempunyai kebutuhan mulai dari kebutuhan psikologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi jika berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara di sisi lain, ada dorongan internal manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya oleh diri sendiri. Biarpun keinginan untuk mandiri itu sangat kuat, namun pada kenyataannya juga membutuhkan bantuan orang lain melalui pembelajaran.
Yang paling menonjol dimensi sosial dalam pendidikan adalah adanya interaksi orang dewasa yang sadar tujuan untuk melakukan transformasi terhadap anak didik. Dengan demikian, jelas bahwa dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, manusia memerlukan orang lain sebagai medianya dengan cara berinteraksi, transformasi dalam sebuah proses yang disebut pendidikan.
Muncul pertanyaan,”Mengapa sekolah-sekolah di Indonesia lambat majunya dan tertinggal dari institusi sosial lainnya dalam arus perubahan? Padahal, sekolah adalah penentu perubahan sosial (agent of social change) sejak berdirinya dalam sejarah manusia. Ini tidak perlu terjadi jika para pendidik dan peserta didik memahami makna perubahan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman yang tidak dapat dielakkan. Jadikan pendidikan sebagai lingkungan kontemporer.
Aplikasinya, pendidikan seyogyanya menyadari akan kepentingan aspek-aspek sosial sebagai salah satu titik tumpu pelaksanaan proses pendidikan. Karena bagaimanapun peserta didik adalah mahluk sosial yang belum matang secara psikologis.
Tidak dapat disangkal lagi bila budaya sebagai salah satu instrumen pendidikan. Pendidikan sebagai produk olah pikir manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk melang-gengkan tradisi kultur yang secara filosofi diyakini memiliki nilai-nilai luhur bagi keluarga, komunitas, suku, bangsa, atau manusia secara keseluruhan. Untuk melestarikannya, maka nilai-nilai tradisi, kultur yang berlaku itu ditransformasikannya kepada generasi penerusnya. Jadi, pendidikan di samping sebagai produk budaya, juga merupakan alat pelestari budaya. Itulah sebabnya budaya merupakan dimensi yang turut mewarnai pendidikan. Sehingga tiap negara memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda bergantung way of life, filosofi, dan budaya masing-masing. Hal ini menjadi salah satu alasan yang merekomendasikan sistem pendidikan dilaksanakan secara desentralisasi oleh masing-masing daerah.
Tasmara (2002:161) menyatakan tentang kandungan utama yang menjadi esensi budaya, yaitu:
a. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya.
b. Adanya pola nilai, sikap, tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karya dan karsa, sistem kerja dan teknologi.
c. Budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan, serta proses seleksi terhadap norma-norma.
d. Adanya interdependensi yaitu saling ketergantungan baik sosial, maupun, non sosial.


2. Dimensi Proses Belajar yang Efektif
Dalam proses pendidikan terdapat di dalamnya proses belajar. Ada tiga elemen yang perlu diperhatikan dalam proses belajar yaitu siswa (learner), proses belajar, dan situasi belajar. Ketiga elemen ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Peserta didik atau siswa adalah subjek ajar yang berkepentingan memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan sesuai dengan kebutuhannya. Tanpa subjek didik, proses belajar tidak pernah ada. Masalah ada atau tidak ada orang dewasa/guru tidak akan mengubur proses pendidikan atau pembelajaran. Karena itu, pengetahuan tentang peserta didik seharusnya mendapat perhatian khusus dalam dunia pendidikan. Di samping keunikannya sebagai mahluk individu, peserta didik juga adalah mahluk sosial yang sedang tumbuh kembang. Apabila pertumbuhan dan perkembangannya tidak disadari oleh orang dewasa (guru/orang tua/masyarakat), maka siap-siaplah komuni-tas bangsa manusia itu menghadapi generasi penerusnya yang jauh di luar harapan bangsanya.
Elemen berikutnya adalah proses belajar. Elemen ini sangat menentukan keberhasilan mengantarkan peserta didik menuju ke kedewasaan. Keberhasilan proses belajar itu ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku hasil interaksi transformasional dengan “hal” yang dipelajarinya. Perubahan tingkah laku bisa dilihat dari gejala learner menjadi tahu dari tidak tahu sebelumnya, atau jadi terampil dari tidak bisa sebelumnya.
Yang ketiga adalah elemen situasi belajar. Elemen ini berhubungan dengan latar terjadinya proses belajar, yakni latar waktu, tempat, kondisi fisik, motivasi, dan sebagainya yang mendorong atau menginspirasi seseorang mau belajar dengan atau tanpa pengaruh orang-orang di sekitarnya.

Situasi belajar yang kondusif akan membuat siswa nyaman, bergairah saat melakukan proses belajar. Situasi belajar dapat direkonstruk. Di sinilah peranan guru hadir sebagai katalisator, motivator, mediator, atau mungkin hanya sekadar “tukang parkir” dalam arti membimbing siswa memanfaatkan situasi belajar secara optimal agar menghasilkan asupan berupa materi pendidikan secara maksimal dan bermakna.
Aplikasi dimensi proses belajar yang efektif berarti mendorong guru untuk merencanakan, mempersiapkan, menyusun, dan melaksanakan situasi belajar yang menstimulan peserta didik (leaner) untuk bereaksi secara positif. Guru yang kreatif, inovatif memiliki kecenderungan untuk mencari strategi pembelajaran dengan memberdayagunakan potensi-potensi yang ada di sekitarnya. Bagi sang inovator ini, sumber ajar tidak hanya dari guru, apapun yang ada di sekitar dapat dimanfaatkan oleh siswa sebagai bahan ajar yang relevan.
Selain bakat, rasa kecintaan terhadap profesi, dan kesadaran akan peranan, dan fungsinya, guru perlu membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tugas yang diembannya, yaitu sebagai pendidik dan pengajar, dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Diharapkan dirinya dapat menjadi guru yang tablig, amanah, fatonah, dan sidiq. Pendidikan wajib memahami dan menyadari fungsi strategi belajar.

3. Dimensi Ekonomi dan Finansial
Proses pendidikan tidaklah mungkin terlepas dari dimensi ekonomi dan atau finansial (economic and financing dimensions). Dikatakan demikian karena antara pendidikan dengan kondisi ekonomi masyarakat memiliki hubungan yang konklusif. Saling mempengaruhi. Bila taraf pendidikan suatu bangsa tinggi, ada kecenderungan income per kapitanya juga tinggi yang berarti Gross national productions (GNP)-nya pun tinggi. Atau dibalik, jika kesejahteraan suatu bangsa tinggi, maka cost untuk pendidikannya pun dianggarkan cukup besar. Kondisi seperti ini akan memberi peluang untuk memperoleh pendidikan yang maksimal.
Pemerintah yang menyadari pendidikan sebagai kata kunci dalam membangun bangsa, akan menganggarkan pendidikan sebagai sektor pengobat keterpurukan suatu bangsa. Dengan demikian, secara kausalitas, pembangunan di bidang pendidikan akan berdampak positif terhadap perkembangan aspek lain, termasuk ekonomi di dalamnya. Selain itu, memang sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab bersama masyarakat menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar rakyatnya. Maka wajar jika sekolah digratiskan sebagai investasi terhadap pembanguan bangsa. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kemampuan keuangan yang ada.
Jadi dunia pendidikan sudah sepatutnya sejak awal diprioritaskan sebagai program nasional yang tidak perlu diragukan lagi untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan bangsa. Hanya negara-negara yang menempatkan pendidikan sebagai panglima pembangunanlah yang berhasil mengentaskan kesejahteraan bangsanya. Karena pendidikan memberi solusi terhadap problema kehidupan kini dan akan datang. Tidak dapat dibayangkan kondisi suatu bangsa yang menempatkan pendidikan sebagai program urutan kesekian di bawah program strategi keamanan, atau yang lainnya.

4. Organizational Behaviour in Educations
Lembaga pendidikan sebagai sebuah organisasi yang memiliki suatu tujuan yang dinamis, akan mendorong para pelaku pendidikan untuk mengadaptasi setiap aspek yang diarahkan pada pemenuhan tuntutan pendidikan. Para pelaku pendidikan yang berlatar belakang berbeda-beda, jabatan berbeda, motivasi, dan kondisi ke-diri-an turut mewarnai perilaku organisasi pendidikan.
Benturan-benturan kepentingan baik yang disebabkan kesalahpahaman, sistem komunikasi yang kurang baik, atau iklim kerja yang kurang nyaman, baik secara vertikal maupun horizontal akan mempengaruhi perilaku organisasi secara keseluruhan. Kehadiran kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan dimungkinkan dapat memberi solusi baik diminta atau tanpa diminta. Karena apabila dibiarkan berlarut-larut, konflik tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap harmonisasi hubungan antaranggota baik secara tim, maupun secara organi-sasi.
Begitupun dengan keberadaan peserta didik yang memiliki lokus, dan watak berbeda sudah seharusnya dipandang serius sebagai bahan kajian para pendidik sehingga proses pendidikan dapat bermakna sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Kini situasi pendidikan harus menyenangkan. Institusi harus menanamkan enjoy learning pada pelaku pendidikan. Sikapi setiap masalah yang menyangkut anak dengan kedewasaan sebagai guru. Maka jika hubungan antarelemen pendidikan berlangsung secara harmonis, setidaknya dapat diminimalisir aspekaspek yang menghambat atau menjadi ancaman.
Aplikasinya tentu para pemegang keputusan dalam dunia pendidikan harus melakukan pembinaan hubungan sosial internal antaranggota baik dalam kapasitasnya sebagai pejabat, atau kapasitasnya sebagai sesaman manusia.

5. Dimensi Politik
Sistem pendidikan sebenarnya merupakan strategi politik suatu bangsa dalam membangun negaranya. Maka rasanya mustahil bila pendidikan bersih dari pengaruh politik. Dapat kita perhatikan, bagaimana perkembangan dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, dari masa ke masa. Kontrol pemerintah yang sedang berkuasa akan turut mewarnai dunia pendidikan. Terlebih lagi saat sistem pemerintahan didominasi secara absolut oleh sebuah rejim, dunia pendidikan Indonesia berubah menjadi wadah pembentukan sikap mental yang diarahkan pada kepentingan penguasa.
Beruntung sekarang setelah ada otonomi daerah, sistem pendidikan cenderung diarahkan untuk membentuk insan Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya yang berguna bagi dirinya, masyarakat, dan negaranya. Pada konsep ini pendidikan diharapkan sudah bermanfaat sejak kini, sejak diterima oleh setiap peserta didik.
Sayangnya, secara faktawi, masih banyak kebijakan-kebijakan yang prematur, terkesan grasa-grusu. Banyak pula kebijakan yang dimaksudkan untuk mengamankan posisi dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangannya. Akibatnya yang repot adalah para pelaksana di lapangan. Ada kalanya mereka baru saja mempelajari kebijakan tersebut, dalam waktu yang relatif singkat sudah diganti oleh kebijakan baru. Sebagai contoh riil, penerapan kurikulum. Dapat kia bayangkan kurikulum yang diluncurkan pada tahun 2004 itu sudah mengalami banyak perubahan materinya, perangkatnya, sarana-prasarananya, bahkan namanya pun berganti-ganti dari KBK, Kurikulum 2004, Kurikulum 2004 yang diperbaharui, dan sekarang KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Betapa hebatnya para pemikir pendidikan di Indonesia. Tidakkah dengan berganti-ganti kebijakan yang (maaf) kurang strategis itu akan menghambur-hamburkan sumber daya? Kita ambil contoh, dulu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama disingkat SMP, lalu berubah dengan keputusan menjadi SLTP, dalam waktu tidak lama kembali lagi menjadi SMP. Silakan Anda hitung, berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh bangsa ini hanya untuk mengubah huruf-huruf tersebut. Katakanlah untuk satu sekolah harus mengganti stempel, papan nama, kop surat, kop amplop, map, atau atribut lain yang kelihatannya sepele tetapi memerlukan biaya. Lalu kalikan dengan sekian puluh ribu sekolah yang tersebar di tanah air.
Aplikasi dimensi politik ini, diharapkan para pemegang kekuasaan memberi otonomi kepada instansi pendidikan untuk mengembangkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik di wilayahnya masing-masing tanpa mengancam kesatuan nasional. KTSP merupakan salah satu bentuk menerapan sistem otonomi di bidang pendidikan. Walaupun agaknya perlu ditinjau ulang dengan masih mempertahankannya sistem ujian negara.

6. Dimensi Hukum dan Profesionalisme
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah pembekalan life skill kepada siswa agar memiliki kemampuan atau daya juang dalam menghadapi kehidupannya. Dalam agama Islam dijadikan sebagai kalimat doa yakni “Robbana atina fi dunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah, wa kinaa adzabannar”. Artinya bagaimana generasi penerus kita terlepas dari jerat hukum. Baik hukum negara, hukum masyarakat yang tidak tertulis, baik berupa adat kebiasaan, maupun etika moral, dan tentu saja hukum agama.
Dengan demikian, dalam pendidikan para pelajar dibekali oleh orang dewasa (pendidik) tentang kesadaran hidup sesuai dengan norma hukum. Dan sebagai sebuah proses, pendidikan juag diatur dengan hukum berupa peraturan yang mengikat stake holder dalam rangka membangun proses pendidikan yang harmonis dan teratur. Uraian ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan tidak terlepas dari peraturan, perundangan, dan atau hukum sebagai alat pengatur tata laksana pendidikan.

7. Dimensi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sebagai agen perubahan, sudah menjadi keharusan dunia pendidikan melakukan penelitian untuk meningkatkan kinerjanya sebagai model pengembangan sumber daya manusia sekaligus sebagai bahan ajar yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan tugas, peranan dan fungsinya dalam mengembangkan sumber daya manusia yang siap bersaing dalam menghadapi tekanan perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta era globalisasi.
Dunia pendidikan modern tidak “hanya” berfungsi sebagai wadah mentrasfer nilai-nilai kultur belaka. Karena para ahli pendidikan modern memandang dunia pendidikan juga sebagai pusat atau agen perubahan.
Peserta didik memiliki dua sisi yaitu sebagai pelestari kultur bangsa, dan sebagai pembaharu kultur bangsa. Maka dari itu, guru setidaknya memiliki wawasan yang luas tentang karakteristik kultur bangsanya, juga kapabelitas teknologi masa kini. Diharapkan tidak ada guru yang berpandangan kolot bagai katak dalam tempurung. Tentu saja tuntutan semacam ini imbasnya pada institusi sebagai lembaga pendidikan untuk menyediakan perangkat teknologi yang dibutuhkan proses pembelajaran.

8. Dimensi Teknologi Informasi
Abad ke-20 disebut-sebut sebagai abad informasi. Pendapat ini muncul setelah informasi dirasakan begitu penting sebagai sumber daya seperti sarana dan prasarana, tenaga, dan sebagainya. Informasi adalah data yang telah diambil kembali atau diolah atau sebaliknya untuk tujuan informatif, atau kesimpulan argumentasi sebagai dasar ramalan pengambilan keputusan. (Robert G. Murdick, John E. Roos/James R. Claggell). Sedangkan yang dimaksud dengan teknologi informasi meliputi seluruh jenis teknologi yang memroses data, dan informasi seperti telepon, satelit, radio, dan komputer.(Ade Cahayana).
Perkembangan teknologi informasi turut mempengaruhi sistem pendidikan baik nasional, maupun internasional. Setiap aspek yang terkait dengan pendidikan, tata nilai, dan sistem juga berubah akibat dampak dari perkembangan teknologi informasi. Bahkan saat ini, terutama di perkotaan, internet sudah jadi sumber pembelajaran yang handal. Kecenderungan pemanfaatan internet (dunia maya) semakin hari semakin meningkat. Sehingga masyarakat pemerhati pendidikan dapat menarik kesimpulan bahwa lembaga-lembaga pendidikan sudah saatnya melibatkan diri sebagai pemeran dalam dunia maya tersebut. Jangan kaget, jika suatu ketika (ramalan penulis) bangunan sekolah itu sudah tidak ada lagi karena transformasi pendidikan dilakukan melalui internet. Setiap siswa dapat mengakses dan memiliki e-mail. Gurunya bahkan bukan hanya e-mail, mereka sudah buka warung berupa blog yang bisa dikunjungi oleh para siswanya.
Kenyataan seperti ini sudah seharusnya disadari sebagai sebuah fenomena yang perlu ditanggapi oleh setiap pelaku pendidikan. Diharapkan sekecil apapun fenomena itu, jika bermanfaat untuk kemajuan pendidikan itu sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengelak.
Namun demikian, masih banyak para pelaku pendidkan yang masih skeptis terhadap perubahan teknologi. Seakan-akan perubahan yang diberlakukan itu sebagai sebuah hambatan. Padahal jika diselidiki, respons negatif itu didasari oleh lemahnya pengetahuan, atau keterampilan yang terkait dengan teknologi tersebut. Masalah demikian tentunya harus ditangani secara arif dan bijaksana oleh para pemimpin pendidikan agar masalah tersebut dapat diatasi dan energinya dapat diubah menjadi energi positif.
Di sisi lain dunia pendidikan pun harus memenuhi kebutuhan proses yang terus berubah dengan menyediakan sarana, prasarana, media, tenaga ahli, serta sumber daya lainnya, termasuk pelatihan guru. Aplikasi semacam ini menegaskan bahwa pendidikan tidak akan bisa memisahkan diri dengan perkembangan teknologi yang justru merupakan hasil proses pendidikan.
Jakarta, 5 Oktober 2007
U. Nurochmat



DAFTAR PUSTAKA


Komariah, Aan. 2004. Visionary Leadership, Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurkolis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Atmowirio, Soebagio. 2000. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Pustaka Antara.

Tidak ada komentar: